GURATAN
Terkurung Baru, Baru Terkurung
Published
5 years agoon
By
daniel28 Mei 2020
Oleh: Daniel Kaligis
Regulasi, terkadang seperti terali besi, membatasi, memagari, lalu ingkar janji
PIER 52. Di situ bicara isu ‘terkurung’ dan ‘baru’. Ini bukan di Milan, Italia. Bukan pula Pier 52 di Mission Bay San Francisco. Di sini, Pier 52 di Makassar. Saya memulai percakapan telepon dengan Lomboan dari situ, 25 Mei 2020. Dia bilang ke saya, “Terkurung beta sekarang, masih belum bisa ke mana-mana karena pandemi.”
Kawan saya ini, Lomboan, bebas bicara, kemudian pernah terkurung dengan alasan regulasi karena bicaranya, dan menikmat bebas. Punya paham ‘bebas’, melancong ke mana suka, bicara merdeka menentang stigma dogma-dogma, lalu dalam suatu kurun waktu tidak terlalu lama — terperangkap situasi pandemi. Sudah pasti murung.
Sekilas itu gambarannya, mengapa saya menanya dia via telepon dari Pier 52 itu. Di Pier 52, sambil ngobrol, saya berjalan memutar lewati empat meja, menyusur tepi di bagian ujung kiri resto untuk hindari kerumunan, menaiki tangga, tuju teras. Dari situ leluasa memandang laut bersemu jingga sore yang kian tua, memandangi orang-orang duduk atau seliweran di pantai, melihat pepohon nyiur dan perahu di kejauhan.
Saya cerita ke Lomboan yang mana situasi kota Makassar mulai ramai. Bandara sudah beroperasi secara terbatas, mall sudah buka. Toko-toko nonsembako kembali bergeliat sepanjang mematuhi protokol kesehatan. Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) di sini sudah berlangsung sejak 24 April 2020 – 07 Mei 2020, kemudian disambung lagi 08 Mei 2020 – 21 Mei 2020. PSBB di Makassar sudah berujung Jumat silam, 22 Mei 2020, dan pemerintah memutuskan tidak memperpanjang PSBB.
Lomboan ada di desa Maleku, Mangkutana, sekitar 663 kilometer jaraknya dari Makassar. Lomboan menjawab, panjang lebar dia cerita, “Di sini bus antar kota belum bergerak, beta mau pakai kendaraan sendiri, capek di jalan. Jadi, beta dan keluarga di rumah saja, tidak ke mana-mana. Walaupun persediaan bahan makanan masih ada, tapi kalau terkurung, orang-orang bisa stress.”
Berapa saat terlewat, Lomboan dan saya sudahi obrolan. Saya berbalik, kembali ke meja di mana saya memesan kopi, kemudian membuka catatan, merogoh pena dari saku, memberi tanda pada beberapa titik dalam catatan itu, seraya menyeruput kopi hitam. Datang di Pier 52, saya, Vivi, Linda, dan Yune. Mereka tanya,”Siapa yang telepon tadi?” Saya jawab, “Lombo.”
Vivi, Linda, Yune, mendiskusi ‘baru’, menanya cemas, berdebat fashion, menertawai kecenderungan-kecenderungan, menyoraki isu, dan saling berbantah.
Kami menatap Jalan Pasar Ikan dan seputaran Bulo Gading mulai ditebari lampu, memandangi samudera, kapal-kapal berlabuh jauh di batas ufuk. Matahari baru saja tenggelam, sisa cahayanya menebar keemasan di riak arus. “Eh, gimana Kiki, masih di kapal,” tanya Yune. Saya menanggap, “Sama isunya dengan Lombo, sama-sama tidak bisa ke mana-mana.” Kiki, kawan saya yang juga dikenal Yune. Posisi kapal di mana Kiki bekerja berada sekitar dua mil dari pelabuhan Sukarno-Hatta, dia ada di atas kapal yang berlabuh tertahan regulasi. Saya dan kiki selalu berkomunikasi via telepon, saya selalu melihat foto-fotonya di media sosial. Dia dan kawan-kawannya di atas kapal sehari-hari memancing ikan, dan menyibukan diri dengan berbagai aktivitas.”
Jadinya saya mengurai, bahwa kapal di mana Kiki bekerja kena kebijakan skema portstay bergantian sejak April 2020 lalu. Seperti diketahui, ada berapa pelabuhan dan lokasi penyeberangan laut yang ditutup sementara, yaitu di Jayapura, Timika, Agats, Merauke, Nabire, Biak, Serui, Papua Barat Sorong, Manokwari, Kaimana, Fakfak, Wasior, Saumlaki, Namrole, Sanana, Dobo, Batulicin, Bontang, Waingapu, Larantuka, Blinyu, Tanjung Pandan, Awerange, Bitung, Letung, Tarempa.
Itu yang saya dapat datanya, menyusul data angkutan laut yang bergiliran diportstay KM Dobonsolo, KM Ciremai, KM Nggapulu, KM Dorolonda, KM Dempo, KM Labobar, KM Sinabung, KM Tidar, KM Leuser, KM Tilongkabila, KM Tatamailau, KM Sirimau, KM Bukit Raya, KM Lawit, KM Kelimutu, KM Pangrango, KM Sangiang, KM Egon, dan KM Binaiya. “Kiki ada di Tilongkabila,” kata saya. Sering bertelepon dengan Kiki, saya menanya kabar, menanya berapa lama regulasi menahan mereka untuk tidak berlayar.
Saya coba menghubungi nomor handphone Kiki, kawan saya dari Wanua itu. Terdengar nada tunda.
Medio 2013 – 2014, ketika menulis di Papua, saya sering bersua Kiki manakana kapal tempat ia bekerja sandar di dermaga. Kami bercerita, berdiskusi banyak soal tentang Wanua.
Di Pier 52 ingatan itu membuncah. Ah, kenangan Wanua sungguh melenakan. Kawan-kawan di sana ada yang memelihara ikan di kolam-kolam tepi hutan rumbia. Ada musim layangan dan warna-warni kertas-minyak berbagai motif terbang di angkasa biru yang acapkali berbaur mendung. Anak-anak di pematang menunggui, mereka menyoraki, ‘palinggir embang,’ itu sebutan mereka untuk layang-layang putus ditiup arus angin dan akan jatuh ke tanah. Pekerja ada di petak-petak mengangkat lumpur membentuk pematang goyah karena pijak kaki-kaki sering melintas di sana.
Ketika menatap langit pucat bersemu awan sore itu, mengennang tatap kawan-kawan membentur cakrawala Wanua, harap masih jauh, bola siang terik miring ke barat hendak tenggelam. Masihlah hafal nama ikan endemik yang ada di kolam-kolam di Wanua: karper, pior, kesa’, mas, wurukus, mujair–lepo, jorame.
Kenang terkurung baru melayang ke Wanua…
Di dermaga yang kini dikenal sebagai Ndari Pihebihe. Kiki dan saya, berbincang di geladak KM Nggapulu sambil mengunyah green revolution, buah-buah unggul ditetas di negeri sendiri. Mendebat ‘invertasi dan gambar horaforas’.
Dengan bahasanya, Kiki bilang ke saya, “Sejarah sesungguhnya, tak banyak yang menulis kisah Wanua, semua mengemas ‘baru’ dan terbabit hal-hal baru. Bahkan sejarah Wanua hanya omong besar di mulut pengap aroma captikus, saat tertelan dua tiga slok, torang boleh bercerita panjang lebar superhero tukang bakalae yang oleh negara tak pernah mau mengenal mereka.” Cerita kesejahteraan menderas sekuat sosialisasi masyarakat sejahtera adil dan makmur seperti mimpi tinggal landas yang hampir dapat dipastikan ketinggalan di landasan. Sementara orang-orang, ujaran, sistem negara, praksis regulasi membenturkan rakyat pada kebaruan-kebaruan isu yang hanya megah dalam wacana dan sosialisasi.
Di Ndari Pihebihe, Kiki dan saya menerawang laut lepas, sampan, Tugu Seram, Pulau Panjang, tiap sudut ramai oleh buruh dan penumpang hilir-mudik, kars dan gunung-gunung. Obrol masih ketika itu masih sama tentang Wanua dan fenomena ‘baru’: organisasi rakyat dan hutan dipangkas bagi sejumlah proposal bertajuk investasi, kemudian mengeruk perut bumi. Kami memandangi daratannya seperti badan bersambung tangan terentang. Teluk memeluk, kepala adalah puncak-puncak menjulang ribuan meter dari permukaan laut. Kondisi itu tak jauh beda dengan realita di tanah kami: julang gunung bukit jurang dan pulau, hanya yang kami tahu di tanah kami ada gunung bukit diratakan ada penimbunan dengan isu sama, investasi dan pembaruan-pembaruan tanpa ujung. Entah hal itu dimengerti penduduk Wanua.
Sebersit ingat pesan yang dikirim Greenhill, 26 Mei 2012: Wanua, “Sebuah jendela kecil untuk melihat dan mengingat tana’ dan tou Minahasa di sela-sela keriuhan kehidupan. Dengan melihat kemudian mengingat, kita diajak untuk tidak lupa siapa kita.” Waktu cepat berganti, entah hari ini pegiat Mawale Movement itu, Greenhill, masih ingat pesan yang dia cetus delapan tahun lalu itu.
Ah, tinggalkan saja ingatan itu. Riil, saya sementara ada di Pier 52 sambil meramu resume untuk artikel ini.
Vivi, Linda, Yune, masih ngobrol, lalu berfoto. Vivi, setahu saya adalah perawat, dulunya di Stella Maris, kemudian pindah ke Siloam Hospital. Linda, penggemar fashion. Yune berdagang online. Lebih tiga jam kami ngobrol di Pier 52. Saya memerhatikan orang-orang sibuk dengan gadget. Mendengar obrolan di meja sebelah, masih seputar pandemi dan kecemasan-kecemasan. Kami lalu bubar.
Ketika beranjak dari Pier 52, gerimis mulai deras. Di jalan pulang, saya membaca lagi catatan, dan menera resume untuk diskusi yang barusan lewat. Kemudian membuat status di media sosial: “Penganjur Baru — orang-orang di masa new normal — sumber-sumber terbatas, depresi, konspirasi, ancaman penyakit, phk, kdrt, stigma, isme, dst. Keseimbangan bumi sekian lama diporakporanda, konflik sumberdaya. Manusia masih berniat menjadi dominan di alam. Padahal, rumus abadi semesta adalah perubahan. Walau, kita tetap harus patuh pada regulasi yang sudah ditetapkan authority.
Mencatat pemandangan yang larut di ingatan seberapa jam berada di luar rumah hari ini: Senja dan pagi selalu beda warna. Saya masih menanak, meramu bumbu, mengangkat air, mendengar kicau merdu di tanah perkara berbelukar berpohon di belakang pemukiman yang distatusquokan, mewawancara, menulis di kertas dan portal sepurba sajak-sajak. Seperti itu mengolah tanah dan bumi, menanam, menyiangi, memetik, dan berbagi.
Baru Terkurung
Suntuk itu sudah berulang kali: Di depan laptop lagi meramu kata, pada ruang yang berapa waktu terakhir ini dengan rela harus disukai.
Biasanya, ruang ini adalah tempat berkemas. Merapikan rambut, memakai sepatu, mematut diri di depan cermin, mengangkut laptop, lalu pergi mencari ide di luar sana. Pukul 23.00 masih di 25 Mei 2020. Meraih catatan tadi sore, lalu meramu huruf membentuk kalimat. Mengirim beberapa pesan lewat messenger. Sekali lagi mengonfirmasi Lomboan.
Pertengahan Maret silam, dia balik dari Jakarta, kami berjanji ketemu untuk suatu proyek. Tapi, ketika pesawat landing, huluan dia berubah. “Beta tidak jadi nginap di Makassar, sekarang on the way Palopo, dan akan lanjut ke Mangkutana,” kata dia. Lebih dua bulan sudah aktivis kemanusiaan dan antikorupsi asal Alor, Nusa Tenggara Timur itu ‘terkurung baru’ di Luwu Timur.
Penghujung Januari 2020, seminggu saya di Mangkutana. Bersama Lomboan, semalam perjalanan dari Makassar saya mengunjungi keluarganya.
Pagi kami sampai di Maleku, keluarganya menyambut saya dengan gembira. Kami bercengkrama di ruang makan bagian belakang yang bersambung dapur. Duhai, aroma bandeng goreng, bumbu pedas, nasi sementara ditanak mengepul, dan sayuran. Ini memang kegemaran saya. Lomboan dan Manggu, istrinya, berkisah banyak hal sambil kami makan minum.
Siang harinya kami berkeliling ke Malili. Saya menyusur sungai, memotret hutan, bercerita dengan nelayan pengumpul kepiting, menyusur petak-petak sawah yang padinya menghijaumuda. Di sana mengakrabi terminologi Malili, Angkona, Tomoni, Tomoni Timur, Kalena, Towuti, Nuha, Wasponda, Wotu, dan Burau. Wilayah di ujung utara Teluk Bone itu mekar dari Luwu Utara pada medio Mei 2003, Malili ibukotanya. Luwu Timur punya luas wilayah 6.944,98 kilometer bujursangkar dengan jumlah penduduk 243.064 jiwa, sesuai sensus tahun 2017.
Kembali ke Maleku ketika senja.
Hari berikutnya saya mencari persamaan-persamaan tumbuhan yang ada di Luwu dengan yang ada di Wanua. Bersua enau, atau di Wanua orang menyebutnya sebagai seho, ternyata tetumbuhan ini punya banyak nama di berbagai tempat dan di berbagai negara.
Membuka beberapa literatur, saya menemu bahwa tumbuhan yang dikenal sebagai arenga pinnata, suku arecaceae, adalah palma terpenting setelah nyiur. Enau disebut tanaman serba guna. Orang-orang di Sumatra dan Semenanjung Malaya, menyebutnya enau sebagai nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk. Di Nusa Tenggara disebut moka, moke, tuwa, tuwak. Di Sulawesi, kami menyebutnya kawung, taren, akol, akel, akere, inru, indu. Orang Belanda mengenalnya sebagai arenpalm atau zuikerpalm. Di Inggris disebut sugar palm atau gomuti palm. Di Jerman mereka menyebutnya zuckerpalme.
Ranting kering, dedaun berhambur, tanah sepetak dengan berbagai tetumbuhan. Manggu menanam ketela di sana. Halaman cukup luas. Ada mangis, rambutan, jambu air, dan enau tumbuh di sana. Saya tertarik pada enau dan jambu air. Saya menanya jambu air pada Manggu. Dia bilang, pohon jambu air itu sudah sekian lama tumbuh di halaman rumahnya, namun belum berbuah. “Pohon ini sudah sering berbunga, hanya tidak ada yang tersisa dan bertahan jadi buah,” tutur Manggu.
Saya membaca sejarah wilayah di mana Lomboan dan Manggu sekarang menetap. Dataran tinggi di sekeliling Danau Poso adalah rumah bagi tujuh subsuku dengan hubungan kekerabatan dekat. Legenda tutur menyebut mereka turunan enam saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Mereka menggulingkan penindas mereka, ketujuh saudara tersebut memutuskan untuk berpisah dan membentuk komunitasnya sendiri. “Pakaroso Mosintuwu Naka Molanto: orang-orang Pamona, disatukan sebagai suku bangsa di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Nama Pamona dideklarasikan di Tentena, sebuah peringatan untuk deklarasi tersebut diabadikan menjadi sebuah monumen dengan nama Watu Mpoga’a sebagai pengingat asal-usul.” Demikian ditulis Albert Schrauwers – 2000, dalam Colonial Reformation In The Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892–1995. University of Toronto Press.
Bagi saya, di Maleku, adalah sejenak melupa rutinitas menulis di depan laptop, mengurung diri dari kebaruan isu yang dihentak mesin berita mengejar rating, lalu bercerita dengan orang-orang kampung sambil menera resume kisah-kisah mereka mengakali hidup di tanah mereka yang tidak lagi ‘baru’. Tanah dan ruang menjadi asing sebab regulasi-regulasi baru yang mereka sendiri tidak kenal.
Saya bersua Yudi, suku Pamona yang menentap di Maleku, Luwu Timur. Dia bercerita Tamegu, terminologi yang tiada saya kenali. “Yudi Waenggo Lara Tamegu, itu kami. Saya adalah sejarah Tamegu,” kata Yudi. Dia melanjutkan, “Nawa, ini nama terkenal di Luwu, beranak empat, Tasigi, Tajamuli, Tamegu, Makowa. Tanah kami dari Masamba samapi Rongkong Atas.
Mengingat-ingat, suaranya terbata dan kaku. Ketika gugupnya mereda, Yudi lanjut berkisah, “Dulu, Matoa Tampina berkuasa, Luwu. Babat di muara Cerekang. Sekarang semua sudah baru, orang-orang yang datang menguasai tanah,” kata dia.
Saya mengajak Yudi berfoto, dia mau. Kemudian saya bercakap dengan kerabat Yudi, mama Lampe dan mama Nontje. Mereka baru kembali dari kebun, membawa kayu bakar, ubi, dan sayur. Menanyai mereka, dijawab senyum lebar. Yudi menjelaskan, “Mama Lampe itu disebut juga Kalintu, kerabat saya semua. Anak pertamanya Normawati. Saya lahir di Bandoa, 1942.
Ingatan Yudi masih tajam, padahal usianya 78 tahun. Berjalan masih teguh, tanpa alas kaki dia.
Di sana, di Maleku, Luwu Timur, senda gurau kami berbagi. Manggu, Lomboan, anak mereka Angelo, dan saya. Siang terik berangin, 27 Januari 2020, kami memanen alpukat yang tumbuh menjulang di depan rumah Lomboan. Manggu memberi saya dua belas buah alpukat untuk dibawa ke Makassar.
Balik Makassar. Lomboan dalam beberapa kesempatan datang, kemudian pergi, ke Bali, ke Jakarta, bersua, kembali lagi ke Maleku, dan kami saling berkabar. “Ulang tahun pernikahan kami, tidak ada pesta sebab keluarga kami tidak punya dana. Tiba-tiba beta dikirimi uang oleh kakak. Uang itu kami belanjakan sembako, lalu kami bagi pada orang-orang yang membutuhkan di sekitar tempat kami tinggal,” urai Lomboan, 12 April 2020, silam.
Mendapat informasi dari pemerintah desa, Lomboan beroleh daftar orang-orang yang hendak dia bantu. Ada janda pemulung sampah plastik, berikutnya janda pekerja serabutan, ada lelaki berusaha 85 tahun yang hidup sendirian, dan buruh bangunan harian lepas. “Kami berbagi pada empat keluarga yang sungguh patut dibantu. Kami berdua, beta dan Manggu, memutuskan bertindak atas nama kemanusiaan, menolong mereka yang terkurung kebijakan tidak boleh keluar rumah terdampak pandemi. Kiranya seberapa keperluan mereka sebulan ke depan dapat terpenuhi.”
Mendengar kisah Lomboan, teringat Yudi, suku Pamona. Saya membaca kabar April silam tentang Pamona dan Luwu Timur, konflik tanah di lahan sawit. “Pekerja lapangan Sindoka yang dikawal kepolisian membongkar tanaman warga. Bagi perusahaan, warga yang masuk menduduki lahan adalah para penyerobot. Bagi warga, itu lahan garapan turun temurun mereka dan tanah negara yang terlantar. Lahan PT Sinar Indonesia Merdeka (Sindoka), Kecamatan Mangkutana, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Ada gambar menampilkan seorang pria berdiri tegak menggendong senjata laras panjang. Pakai kaos, celana hitam dan pet bertulis ‘Police’. Di bagian depan seseorang duduk berjongkok, pakai celana cokelat dan kaos abu-abu.” Seperti itu berita ditulis Eko Rusdianto di MONGABAY , 5 April 2020.
Eko Rusdianto, dalam tulisannya menyebut yang mana pada 1987, Sindoka mendapatkan Hak Guna Usaha di wilayah Mangkutana seluas 3.509 hektar dengan izin pengembangan bioetanol. Kemudian perusahaan ini menanam kelapa hibrida, namun keok oleh produksi sawit PTPN XIV tak jauh dari lahan mereka. Tahun 1998, ketika Indonesia dilanda krisis, perusahaan tak mengelola lahan.
Coba menyambung apa yang disebut-sebut mama Lampe dan mama Nontje, Yudi, dan Lomboan. Perangai lama disulap baru oleh regulasi. Terminologi new normal menderas di tanah yang menjadi asing bagi orang-orang yang menetap di situ.
Ini obrolan tak lagi baru, namum terkurung hal-hal baru. Hak Guna Usaha Sindoka sudah lama usai, dan belum diperpanjang. Dari Januari hingga April 2020, tak kurang sepuluh kali perusahaan mengobrak-abrik, menebang, merusak, mencabut tanaman-tanaman hingga ancaman kriminalisasi terhadap petani-petani di Luwu Timur. Bukan hanya Yudi yang berkisah tentang tanah yang dirampas atas nama kuasa negara dan modal yang datang ke sejumlah lokasi dengan janji-janji.
Sengketa lahan akan menjadi terminologi yang masih menghias layar new normal. Dan siapa saja akan boleh jadi ‘baru terkurung’ seperti soal-soal yang lama mendekam sebagai ‘kasus yang memang sengaja dipelihara’. “Tiga warga dibekuk karena diduga terlibat dalam sengketa lahan di Desa Loeha, Kecamatan Towuti, Luwu Timur yang berujung tewasnya seorang warga bernama Sultan. AKBP Leonardo Panji Wahyudi, Kapolres Luwu Timur, mengaku ketiganya dibekuk dalam waktu 1×24 jam.” Teks ini saya kutip dari tulisan Fitra Budin, 08 November 2019 di sindonews.com.
Jangan-jangan, Yudi menemu ‘baru’, diri dia sendiri dalam pertempuran melawan kuasa yang sudah meminggirkan hak-hak rakyat atas tanah, termasuk dia, Yudi.
Terbabit istilah, menemu baru di kebiasaan lama. Kejahatan masih mengintip dan menjadi praksis yang digemari di banyak tempat. New normal, di Wanua saya, orang-orang justru memagar jalanan, memasang portal dengan berbagai alasan. Anak-anak hilang tempat bermainnya, lalu menyandu gadget, ini pun bukan hal baru. E–learning sudah lama usianya. Kita masih meratakan hutan untuk bisnis buku. Bisnis tanah dan kesehatan justru menggerogot dengan banyak konspirasi.
Tentang new normal, kawan saya Shinta Miranda bilang, “Pada akhirnya, semua hanya istilah; herd immunity, new normal, atau lainnya. Uniknya manusia yang katanya makhluk sosial, tetap harus sendiri-sendiri menjaga ketahanan diri, bukan bagi-bagi virus atau bercengkerama dgn sesama dan para virus.” Itu status dia, 27 Mei 2020.
Laste
Saya, niscaya memoles ingatan supaya mengkilat. Kemarin, 27 Mei 1999, Slobodan Milosevic dituntut dakwaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukannya di Kosovo. Dari berapa literaur saya membaca yang mana Milošević adalah seorang Serbia Montenegro. Dia lahir 20 Agustus 1941 di Požarevac, Yugoslavia. Ayahnya, Svetozar Milošević, melakukan bunuh diri ketika Slobodan masih di sekolah menengah. Ibu Slobodan, Stanislava Milošević, menggantung dirinya sepuluh tahun kemudian.
Mengarung kenang, mengingat kata-kata Slobodan Milošević, “Kita kembali terlibat di dalam pertempuran dan menghadapi pertempuran. Bukan pertempuran bersenjata, meskipun tidak berarti pertempuran bersenjata tidak akan terjadi.” Kalimat itu diteriakkan Milošević saat mengenang enam ratus tahun Pertempuran Kosovo, Milošević berbicara di depan kerumunan massa. Lokasi di mana mereka berkumpul ‘konon’ merupakan tempat berlangsungnya Pertempuran Kosovo. Waktu menjadi amat kasib dari 1389 hingga 1989 manakala Milošević mengulang kenang: pertemputan bersenjata, pertempuran tanpa senjata.
Dalam terkurung, 11 Maret 2006, Milošević meninggal di sel tahanannya di Den Haag, Belanda.
Bumi masih bertempur, lawan pandemi. Ada sejumlah perang lainnya, bermain dalam konspirasi.
Suka laut, itu saya. Saya mengenal cerita-cerita pertempuran laut dari ayah. Hari ini ada sejarahnya: Pertempuran Selat Tsushima, ujung kenangan perang laut paling menentukan sepanjang Perang Jepang – Rusia membara dari 1904 hingga 1905. Dalam penanggalan Julian, tercatat 14 – 15 Mei 1905, perang usai dengan kekalahan Rusia. Dalam penanggalan Gregory, perang disudahi 28 Mei 1905. Inilah pertempuran laut terbesar di era kapal tempur Pra-Dreadnought. Pertempuran Tsushima dikenal di Jepang sebagai Nihonkai Kaisen.
Tentang ‘terkurung’, entah anda mengingat nama ini: Kwee Thiam Tjing.
Kwee Thiam Tjing, medio 1926, dikenai sembilan delik pers dan dikurung sepuluh bulan di penjara Kalisosok, Surabaya dan penjara Cipinang, Jakarta. Kejadian ini dicatat dalam artikel ‘Tanggal Paling Tjilaka’ di Soeara Publiek, Surabaya 05 Januari 1926. Tulisan-tulisan Kwee Thiam Tjing dimuat di berbagai penerbitan saat itu, seperti Pewarta Soerabaia, Soeara Poeblik, Sin Tit Po, Matahari Semarang, dan Indonesia Raja. Kwee Thiam Tjing mengelola ‘Pembrita Djember’. Pada pertengahan 1947 kota Malang jadi lautan api. Kwee melaporkan peristiwa itu dengan cermat. Dia juga menulis tragedi Mergosono yang boleh jadi peristiwa itu telah dilupakan orang.
Tjamboek Berdoeri, itu nama samaran Kwee Thiam Tjing. Dia meninggal 28 Mei 1974.
Debat perang, debat sejarah, debat konsensus tanggal-tanggal. Balik lagi ke kisah di atas yang dimulai dari Pier 52. Lomboan, seumpama kisah pertempuran tanpa senjata.
Mengenal Lomboan tahun silam, November 2019. Kami bertemu di M Regency Hotel, Jl. Daeng Tompo Nomor 08, Maloku, Makassar. Ketika itu, Lomboan baru saja dilepas dari Lembaga Pemasyarakatan Mola – Kalabahi, di Kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur.
Seperti yang diketahui, Lomboan pada medio 30 Juli 2018, oleh Pengadilan Negeri Kalabahi dijatuhi hukuman enam bulan penjara, dan diwajibkan membayar denda Rp 100 juta, sebab diduga menista agama.
Sebagaimana diberitakan detik.com, ‘Warga NTT Sangkal Menista Yesus: Saya Pertanyakan Agama Saya, Kok Dipenjara?’, “Lamboan dinyatakan Mahkamah Agung telah menista agama dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara. Lamboan yang juga penganut Protestan itu merasa janggal dengan putusan itu karena ia mempertanyakan keyakinan yang dianutnya yaitu kelahiran Yesus pada 25 Desember,” tulis Andi Saputra, jurnalis detikNews, Minggu, 10 November 2019.
Lomboan bilang ke saya, “Di penjara saya belajar banyak hal.”
Waktu saya ke Maleku, Manggu cerita, bahwa, ketika suaminya ditahan, dia punya kesempatan membantu orang-orang yang terkurung oleh berbagai kasus. “Kalau saya bawa makanan untuk Lomboan, saya bikin yang banyak, supaya orang-orang yang ada dalam tahanan juga boleh makan. Saya bawa pakaian dan memberikannya pada mereka. Bayangkan ada tahanan yang dari kampung, cuma punya baju di badan, pakaian dalam tidak pernah diganti, jadi saya tergerak membantu mereka.”
Manggu berkisah ke saya, airmatanya tertahan di sudut mata. Senyumnya tetap merekah.
Saya dan Lomboan sama-sama suka buku. Ketika datang di Makassar, Lomboan dan saya pergi ke toko buku, mencari beberapa literatur, berdiskusi, berdebat, mencari ‘baru’.
Manakala di Bali, beberapa saat lalu, lewat telepon Lomboan memesan buku pada saya, “Tolong carikan Sejarah Tuhan, Karen Amstrong,” kata dia.
Itulah kami, penggemar buku, penyuka baru, terkurung baru. (*)