ESTORIE
Terlena di Hoi An
Published
6 years agoon
By
philipsmarx20 Maret 2019
Oleh: Andre Barahamin
Kisah sebuah kota kecil di Vietnam Tengah yang pernah jaya di masa lalu
ADA BANYAK CARA untuk terlena di Hoi An.
Kota ini memang indah. Mungil, tapi akan memikat hatimu hingga enggan beranjak. Bahkan jauh sebelum ditetapkan sebagai Kota Warisan Budaya oleh UNESCO pada 1999, Hoi An telah pandai mendulang simpati. Sejak abad 15, kota ini telah menjadi pusat perdagangan yang menjadi sela karena posisinya yang menghadap ke Laut Cina Selatan. Philip Taylor dalam Cham Muslims of the Mekong Delta: place and mobility in the cosmopolitan periphery menulis bahwa dahulu Hoi An termasuk wilayah Champa dan melayani lintas dagang dari Jepang, kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia hingga para pelaut Eropa.
Meski hanya seluas 60 kilometer persegi, Hoi An memiliki cukup ruang bagi para pelancong untuk melepas penat, mencari kesegaran atau merehatkan pikiran. Sebagai kota yang bertulangpunggung pariwisata, kota ini menata dirinya dengan keramahan penduduknya, keindahan masa lalu yang terawat, kuliner yang menggoda lidah, biaya hotel dan penginapan yang tergolong murah serta tentu saja warung-warung kopi dengan dominasi ragam robusta sebagai menu utama.
Antara abad 7 dan 10, orang-orang Champa mengendalikan perdagangan rempah-rempah karena posisinya yang strategis. Leonard Y. Andaya dalam Leaves of the same tree: trade and ethnicity in the Straits of Melaka sempat memberikan gambaran masa keemasan di periode perdangan yang berhasil menggerek kondisi ekonomi di kota ini. Orang-orang kaya bermunculan, umumnya berlatar belakang pedagang. Bekas kota pelabuhan Cham di muara Sungai Thu Bon adalah pusat perdagangan Vietnam yang penting pada abad ke-16 dan ke-17, tempat di mana orang-orang Cina dari berbagai provinsi serta Portugis, Jepang, Belanda, dan India menetap. Selama periode perdagangan Cina ini, kota itu disebut Hai Pho (Kota Tepi Laut) dalam bahasa Cina.
Awalnya, Hai Pho adalah kota yang terbagi dengan pemukiman Jepang di seberang “Jembatan Jepang” (abad 16-17). Jembatan yang dimaksud adalah struktur tertutup unik yang dibangun oleh Jepang, satu-satunya jembatan tertutup yang dikenal dengan kuil Budha yang melekat di satu sisi.
Tapi tentu saja, sejarah awal Hoi An adalah sejarah Cham. Menurut Paul Sidwell dan Roger Blench dalam “The Austroasiatic Urheimat: the Southeastern Riverine Hypothesis” yang terbit sebagai salah satu bab di buku Dynamics of Human Diversity, orang-orang Melayu-Polinesia yang berbahasa Austronesia ini menciptakan Kekaisaran Champa yang menduduki sebagian besar wilayah yang sekarang menjadi Vietnam tengah dan selatan, dari Hue hingga luar Nha Trang. Berbagai hubungan linguistik antara Cham dan bahasa Austronesia terkait lain seperti Indonesia (khususnya Aceh), Malaysia, dan Hainan telah banyak didokumentasikan.
Pada tahun-tahun awal, My Son adalah ibukota spiritual, Tra Kieu adalah ibukota politik dan Hoi An adalah ibukota komersial Kekaisaran Champa – kemudian, pada abad ke-14, Cham bergerak lebih jauh ke bawah menuju Nha Trang. Sistem sungai digunakan untuk pengangkutan barang dari dataran tinggi menuju negara-negara seperti Laos dan Thailand dan dataran rendah.
Pada 1535, penjelajah Portugis dan kapten laut António de Faria, yang berasal dari Da Nang, mencoba mendirikan pusat perdagangan utama di desa pelabuhan Faifo. Hoi An didirikan sebagai pelabuhan perdagangan oleh Nguyen Nguyen Hoang sekitar tahun 1595. Para penguasa Nguy jauh lebih tertarik pada aktivitas komersial daripada para penguasa Trịnh yang memerintah utara.
Akibatnya, Hoi An berkembang sebagai pelabuhan perdagangan dan menjadi pelabuhan dagang paling penting di Laut Vietnam Timur. Kapten William Adams, pelaut Inggris dan orang kepercayaan Tokugawa Ieyasu, diketahui telah membuat setidaknya satu misi dagang ke Hoi An (sekitar 1619). Roland Jacques dalam Portuguese pioneers of Vietnamese linguistics prior to 1650 menyebutkan bahwa satu dari dua tempat tinggal awal para Yesuit Portugis berada di Hoi An.
Pada abad ke-18, Charles D. Benn mencatat dalam Daily life in traditional China: Tang dynasty, Hoi An dianggap oleh para pedagang Cina dan Jepang sebagai tujuan terbaik untuk berdagang di seluruh Asia Tenggara, bahkan Asia. Orang Jepang percaya bahwa jantung seluruh Asia (naga) ada di bawah bumi Hoi An. Kota ini juga menjadi terkenal sebagai saluran perdagangan yang kuat dan eksklusif antara Eropa, Cina, India, dan Jepang, terutama untuk industri keramik. Penemuan kapal karam telah menunjukkan bahwa keramik Vietnam dan Asia diangkut dari Hoi An ke Sinai, Mesir.
Pentingnya Hoi An berkurang tajam pada akhir abad ke-18 karena runtuhnya pemerintahan Nguyen. Kemudian, dengan kemenangan Kaisar Gia Long, ia membalas bantuan Prancis dengan memberi mereka hak dagang eksklusif ke kota pelabuhan terdekat Da Nang.
Da Nang menjadi pusat perdagangan baru (dan kemudian pengaruh Prancis) di Vietnam tengah sementara Hoi An adalah daerah terpencil yang terlupakan. Sejarawan lokal juga mengatakan bahwa Hoi An kehilangan statusnya sebagai pelabuhan perdagangan yang diinginkan karena pendangkalan ke muara sungai. Hasilnya adalah bahwa Hoi An hampir tidak tersentuh oleh perubahan ke Vietnam selama 200 tahun ke depan.
Di Hoi An, kita dapat menikmati kopi sembari mengawasi hilir mudik orang-orang di Faifo (Kota Tua). Atau, memilih duduk di pinggir pantai dan memandangi orang-orang berenang di laut sambil memesan makanan di berbagai jenis restoran yang tersedia di sudut kota untuk kemudian dipungkasi dengan segelas robusta.
Iya, robusta dan bukan arabika. Seperti kota-kota lain di Vietnam, ini adalah jenis kopi paling populer dan umum disajikan. Negeri berhaluan komunis ini adalah penghasil biji kopi robusta kedua terbesar di dunia. Menjadi produk andalan ekonomi dalam negeri semenjak kopi diperkenalkan oleh penjajah Prancis di akhir abad 19.
Menurut banyak sumber lokal, area robusta pertama di seantero Vietnam yang ditanami kopi adalah Bien Hoa, yang terletak sekitar 30 kilometer ke arah timur dari Sai Gon. Menurut Tim Larimer dalam Chasing Starbucks Dreams: Trung Nguyen and its Global Expansion, daerah perkebunan ini dahulu dimiliki oleh sebuah perusahaan bernama Coronel Coffee yang dimiliki seorang insinyur berkebangsaan Prancis bernama Marcel Coronel. Setelah kemenangan pasukan merah dan unifikasi Vietnam, lahan kopi lalu dinasionalisasi oleh negara pada 1975 melalui pembentukan Vietnam National Coffee Corporation yang lebih populer dengan sebutan Vinacafe.
Menyebarnya robusta ke seantero Vietnam tidak lepas dari cerita kesuksesan Vinacafe melakukan ekspor perdana pada 1978. Melihat potensi pasar kopi di dunia internasional, pemerintah Vietnam melalui Kementerian Pertanian dan Industri Makanan, kemudian melalukan ekstensifikasi yang melibatkan tenaga ahli dan kelompok petani. Lahan-lahan pertanian di daerah pegunungan kemudian dikolektifkan untuk dijadikan lahan bisnis monokultur kopi. Vinacafe kemudian membangun unit-unit usaha pembelian yang berhubungan langsung dengan petani sekaligus menyediakan jasa konsultasi dan pendampingan untuk menjaga kualitas produk.
Pemerintah komunis ini juga melakukan proteksi terhadap mata rantai perdagangan kopi di dalam negeri. Kopi robusta impor yang masuk ke Vietnam dikenakan pajak progresif yang berimplikasi pada harga jual yang mahal dengan kualitas yang belum tentu sebanding. Hal ini membuat kedai-kedai kopi kecil di negeri lebih cenderung memilih membeli dan memperdagangkan kopi lokal sehingga mempengaruhi tren konsumsi kopi di dalam negeri.
Beberapa kali mengunjungi Hoi An, saya selalu singgah di satu kedai kopi di seputaran Kota Tua bernama Dive Faifo. Kedai kecil yang tidak jauh dari jembatan kuno Jepang yang tersohor di Hoi An. Tempat ini kala malam mengubah diri menjadi bar akustik. Di siang hari, selain menjajakan kopi, tempat ini juga merupakan penyedia jasa layanan wisata menyelam.
Pemiliknya adalah pasangan ekspatriat dari Prancis. Sang suami adalah seorang bartender yang juga membuka mobile bar di depan sebuah supermarket tidak jauh dari kedai kopi ini. Sementara istrinya adalah seorang penikmat kopi asal Lyon yang akhirnya jatuh cinta dengan Hoi An.
Dive Faifo mulai menjual kopi sepuluh tahun lalu. Mulanya, kedai ini hanya menyasar para pelancong asal Eropa Barat atau Amerika Utara yang ingin menikmati kopi diseduh panas seperti Americano atau mencari Capuccino di pagi hari. Metode seduh dengan menggunakan Vietnam drip dan campuran potongan es (Cha Pe Da) bukan menu andalan karena mudah sekali ditemukan di kedai atau restoran lain. Lagipula menjelang akhir tahun ketika cuaca mulai dingin, sajian kopi dingin tidak terlalu diminati.
Saya menyukai caffe latte buatan mereka. Rasa robusta lokal yang tumbuh di daerah Tay Nguyen, sekitar Da Lat, begitu tebal terasa. Padanannya adalah busa yang dihasilkan dari penggembungan susu lokal yang diproduksi sekaligus dimonopoli oleh perusahaan bernama Afimilk. Rasanya seperti kopi susu di Indonesia. Hanya saja, tebalnya busa susu tanpa pemanis ini membuat ada legit sedikit asam yang tinggal di lidah bersama dengan pahit kopi.
Pembuatannya juga dilakukan sederhana, tanpa melibatkan mesin pembuat kopi yang canggih. Gelembung busa didapatkan dengan mengocok susu menggunakan milk froather merek Cyprus yang menggunakan tenaga baterai. Sementara bubuk kopi akan diseduh dengan air panas lalu disaring ke dalam gelas kaca.
Saya beranggapan bahwa hal-hal tersebut ikut mempengaruhi harga jual kopi yang tergolong murah namun dengan kualitas yang baik. Bersama dengan segelas kopi, mereka juga menyediakan tiga potong kue mentega berukuran kecil sebagai penganan. Berapa harga setiap gelas kopi yang ditawarkan? Kurang dari satu dolar.
Sembari menyeruput kopi, Dive Faifo juga memutar sayup-sayup musik instrumental khas Vietnam yang membantu saya dengan mudah bertukar cerita dengan istri tentang negeri ini di masa lalu. Bagi saya, kemewahan ini dengan harga yang murah untuk sekadar duduk santai dan menikmati indahnya pagi hari adalah satu dari sekian cara Hoi An memeluk dan membuatmu terlena.
Saat ini, kota ini menjadi daya tarik wisata karena sejarahnya, arsitektur tradisional, dan kerajinan tangan seperti tekstil dan keramik. Banyak bar, hotel, dan resor telah dibangun di Hội An dan daerah sekitarnya. Mulut dan perahu di pelabuhan masih digunakan untuk tujuan memancing dan pariwisata.
Ironisnya, dalam lima tahun terakhir, bisnis-bisnis kecil justru dimiliki oleh para pengusaha berkulit pucat dari Eropa atau Amerika. Mereka meminjam nama orang lokal untuk mengakali persyaratan tapi tetap memegang penuh kendali atas pengelolaan, terutama soal kontrol atas uang. Orang-orang Hoi An ditunjuk sebagai manajer, tapi tidak memiliki hak untuk menentukan besaran biaya belanja bahan baku. Upah yang dibayar ke “manajer-manajer wayang” ini juga tak jauh lebih baik dari para pegawai lain.
Praktik ini sudah dianggap rahasia publik di kota-kota tujuan wisata. Hoi An, cuma salah satunya. Termasuk Ho Chi Minh yang anehnya selalu jadi destinasi paling favorit orang Indonesia.
Mendapati fakta ini, saya merasa tak layak protes. Di Indonesia, kondisi serupa Hoi An juga terjadi dan menimpa orang-orang lokal di wilayah-wilayah yang menjadi surga para turis dari Eropa dan Australia. Saya teringat Bali, Lombok dan Sumba. Hostel, kedai kopi, restoran, studio tato bahkan jasa pemandu wisata adalah beberapa sektor usaha yang telah dimonopoli oleh para kolonial.
Ah, saya lupa. Turisme sejak awal tak lebih dari perbudakan.(*)
Editor: Gratia Karundeng