BERITA
Teror Puluhan Tahun Eksploitasi PGE Lahendong

6 Februari 2025
“Ada hal-hal yang sangat ironis, daerah tempat produksi, masa gelap gulita? Kalau jalan dari kota Tomohon ke sini malam hari, tidak ada lampu jalan. Daerah yang punya, bisa mengcover listrik di Sulteng, Kendari dan nanti sampai ke Ujung Pandang, masakan kita di sini gelap gulita?”
Penulis: Hendra Mokorowu
DATARAN sejuk di kaki Gunung Lokon, kota Tomohon memiliki potensi sumber daya alam (SDA) melimpah. Salah satunya, energi panas yang terkandung di dalam perut bumi ‘Tombulu Timu’. Energi ini pun sudah puluhan tahun ditambang di wilayah selatan Kota Religius. Tepatnya, di Kelurahan Pangolombian dan Tondangow, Kecamatan Tomohon Selatan, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
Istilah ‘memiliki’ dalam setiap narasi tentang kekayaan alam Tomohon bak bermakna fiksi. Pasalnya, manfaat nyata dari SDA energi panas bumi itu, hampir tidak dilihat apalagi dirasakan masyarakat di dua kelurahan tersebut. Ditengarai, energi panas bumi itu sudah mulai dikelola PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE) Lahendong sejak sekitar 40 tahun silam dan berlangsung hingga saat ini, tahun 2025.
Hal ironis tampak jelas bila berkunjung langsung di Tondangow dan Pangolombian. Terkini, keadaan dua kampung dan masyarakatnya biasa-biasa saja. Tidak ada kemajuan terlihat kasatmata. Namun justru rentetan persoalan bertengger, tampak tersembunyi tapi terus menjepit keberlangsungan kehidupan masyarakat setempat. Belum lagi ancaman terhadap kesehatan warga akibat dampak negatif dari eksploitasi energi panas bumi.
Jumat, 31 Januari 2025. Joni Sampul, salah satu warga Lingkungan Satu, Kelurahan Pangolombian yang terdampak, menguak kisah. Katanya, dampak negatif pasca operasional PGE Lahendong yang paling kasatmata, yaitu terjadinya korosi pada logam perabotan rumah tangga berbahan baku besi. Ia menyebut, sebelum ada PGE, tidak terjadi proses karatan. Pengalaman aneh pernah dialami tatkala Sampul masih aktif bertugas di korps Bhayangkara. Kunci borgol yang disimpan di dalam lemari, sekitar dua bulan kemudian sudah terbungkus dengan karat.
“Di dalam lemari saja bisa karat, apalagi perabotan atau benda-benda besi yang berada di luar (lemari, red). Kalau penyakit, masyarakat di sini sudah biasa kena ISPA (infeksi saluran pernafasan akut, red). Tetapi yang paling nyata itu adalah besi-besi menjadi karat. Engsel-engsel, baik di jendela maupun pintu di rumahku, sering diganti karena karat,” tutur Sampul yang merupakan pensiunan polisi.
Dampak ‘Miring’ Kehadiran PT PGE Lahendong
Di hari yang sama, tokoh masyarakat kelurahan Pangolombian, Jhon Paransi mengisahkan, PGE Lahendong ada sekitar tahun 1985. Kala itu, PGE mulai dengan tahap survei lapangan dan observasi wilayah terkandung energi panas bumi. Tentu dengan menggunakan alat pendeteksi modern di waktu itu. Di tahun itu, PGE memulai segala aktivitasnya. Eksplorasi dimulai dengan penggalian sumur bor di beberapa tempat dengan memakai peralatan seperti turbin.
Selanjutnya, warga paham sudah ada sekira lima sumur panas bumi sementara dikelola. Di masa itu, PGE sempat menemui kegagalan dalam menemukan energi panas bumi yang memadai untuk diproduksi. Namun, PGE kemudian melakukan kembali pengeboran di sejumlah titik lainnya dan berhasil mendapatkan sumber energi panas bumi yang besar.
Di era mendekati tahun 2000, yang dieksplorasi itu sudah sekitar 20 sampai 60 megawatt listrik. Sesudah itu, kekuatan listrik yang dihasilkan dari energi panas bumi terus bertambah. Alhasil, energi panas bumi bisa mengcover kebutuhan listrik di Sulut. Kemudian merambah ke Gorontalo dan akhir-akhir ini sudah sampai di Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Kendari. Bahkan, rencananya dua wilayah titik eksplorasi, yakni di kota Tomohon dan kabupaten Minahasa akan mengcover daya kelistrikan hingga ke Makasar, Sulawesi Selatan.
Paransi memandang, luar biasa potensi panas bumi di daerahnya. Tetapi ada hal yang dianggapnya sangat memiriskan. Secara konstitusional, ada undang-undang tentang Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada masyarakat. Selanjutnya, ada namanya komoditi development dan bagi hasil. Sebagai tuan rumah, dirinya merasa punya hak ulayat atas tanah untuk kekayaan.
“Meski itu milik negara, tapi secara undang-undang, sudah diatur bahwa masyarakat di sekitar lokasi pertambangan harus sejahtera. Kalau dilihat dari mulai beroperasinya pada tahun 1985 sampai 2025 ini, masih ada anak-anak di Pangolombian mau sekolah tapi tidak ada biaya. Masih ada anak-anak sekolah yang menangis karena mau makan saja setengah mati. Ini kan berarti belum sejahtera. Jadi memang ada hal-hal yang memiriskan,” cakap Paransi.
Berkaca dari program Pemerintah Republik Indonesia. Apalagi saat ini di rezim Prabowo Subianto, yang berupaya bagaimana mengangkat swasembada energi sampai ke cita-cita green energy. Ia mempertanyakan bagaimana dengan pemberdayaan masyarakat melalui potensi-potensi SDA di daerah Tomohon dan Minahasa. Paransi mempertanyakan, kenapa PGE Lahendong sampai sekarang tidak mampu membangun pendidikan anak-anak di Pangolombian.
“Di sektor pendidikan, tidak pernah ada beasiswa dari PGE untuk anak-anak Pangolombian. Banyak orang di sini cuma lulus sekolah dasar (SD). Banyak juga hanya lulus sekolah menengah pertama (SMP). Ada yang tidak sampai ke sekolah menengah atas (SMA). Ini dipengaruhi tingkat ekonomi yang masih di bawah. Secara konstitusional, sudah diatur pemerintah lewat CSR bahwa masyarakat di sekitar harus sejahtera. Mirisnya, saya dengar, di luar Tomohon justru mendapat CSR dari PGE Lahendong,” beber Paransi yang juga jurnalis senior ini.
Ia menekankan, PGE Lahendong jangan hanya mengeruk kekayaan alam Pangolombian untuk kepentingan pengusaha, para kapitalis. Untuk masyarakat saja tidak pernah ada kepedulian dan perhatian. Dirinya merasa, ada praktek yang tidak adil. Kampungnya sebagai tempat produksi energi panas bumi untuk kelistrikan malah seringkali kena giliran listrik padam.
“Ada hal-hal yang sangat ironis, daerah tempat produksi, masa gelap gulita? Kalau jalan dari kota Tomohon ke sini malam hari, tidak ada lampu jalan. Daerah yang punya, bisa mengcover listrik di Sulteng, Kendari dan nanti sampai ke Ujung Pandang, masakan kita di sini gelap gulita? Ini hal-hal yang sangat ironis kan?” celotehnya penuh tanya.
Terkait program green economy, PGE Lahendong hendaknya memanfaatkan hasil buangan panas dari geotermal untuk usaha mikro kecil dan menengah. Misalnya membuat tempat pengeringan. Memang sudah ada pemanfaatan panas bumi untuk usaha gula aren. Sedianya, buangan panas dari geothermal masih bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang lain demi kesejahteraan masyarakat.
Mengenai program bagi hasil dengan provinsi, ada aturan mainnya. Untuk presentasinya, Minahasa dan Tomohon harusnya lebih besar dari daerah lain. Ini lantaran kabupaten Minahasa dan Tomohon sebagai daerah produksi. Soal bonus produksi, ia menyentil agar itu direalisasikan secara adil. Dia telah mendengar pada tahun 2024 lalu saat debat calon kepala daerah, bonus yang diterima pemerintah kota, itu 16-20 miliar rupiah per tahun.
Contohnya, dari bonus produksi 16-20 miliar rupiah per tahun, apa yang dinikmati dan dirasakan masyarakat. Kata dia, kalau ada bantuan, itu seperti membujuk orang dengan permen supaya tidak menangis atau berteriak. Bila ada bantuan atau sentuhan modal yang bergulir, itu harusnya berkesinambungan selama PGE beroperasi di Tomohon dan Minahasa.
“Kita tidak pernah mendapat sentuhan apa-apa. Saya pikir, sebagai masukan dan informasi bahwa ada praktik yang tidak adil dari BUMN (badan usaha milik negara, red), khususnya Pertamina Geothermal Energi Lahendong,” sebut Paransi yang pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Tomohon.
Di kurun waktu selama 40 tahun, keadaan kelurahan Pangolombian tidak berkembang. Hingga 31 Desember 2025, tidak heran di kelurahan Pangolombian kalau ada warga yang kerja di luar daerah. Ketika masyarakat mau berusaha sendiri, tidak bisa. Ini karena tidak ada penguatan modal. Bahkan ada warga yang derajat ekonominya memang masih di bawah garis kemiskinan.
“Ya, masih tergolong begitu (di bawah garis kemiskinan). Padahal di kelurahan kita, punya sumber potensi besar, yaitu energi panas bumi. Sangat kontras, masih ada rumah kumuh tanpa lantai atau berlantai tanah. Itu ada dan masih masih banyak di sini (Pangolombian, red),” ungkap Paransi.
Berkaitan dengan dampak negatif, imbasnya tertuju pada lingkungan dan kesehatan warga. Jika dicek di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Pangolombian, selama satu tahun ada ratusan sampai ribuan masyarakat yang memeriksakan diri. Umumnya penyakit yang diderita adalah ISPA.
“Ini dikarenakan lingkungan udara sudah terdampak dari pengeboran panas bumi,” katanya.
Dalam hal properti, seperti perumahan atau pemukiman warga. Rerata atap di Pangolombian kini sudah beralih ke asbes. Kalau menggunakan atap seng, tidak sampai satu tahun sudah lubang karena karat. Kemudian alat-alat elektronik, kendaraan beroda empat atau dua, semua kena dengan dampak karat. Beberapa bulan lalu juga terjadi, limbah dari PGE Lahendong masuk sampai di wilayah perkebunan warga Panglombian.
“Ketika dilakukan pembukaan katup untuk penguapan, terjadi kebisingan. Ini juga termasuk salah satu pencemaran dan sangat mengganggu hajat hidup warga di Pangolombian,” akunya.
Sifat uap panas di Pangolombian berbeda dengan di Kamojang yang kering dan mudah terurai di udara. Hasil penelitian dari beberapa pihak independen, kondisi di Pangolombian ini merupakan uap basah. Jadi, setelah menguapkan atas, mencair dan jatuh ke tanaman. Bisa disimpulkan, pengaruh eksplorasi panas bumi dari sumur-sumur geothermal memengaruhi unsur hara. Baik di lingkungan, tanah maupun udara bisa tercemar.
Pemerintah pusat perlu mengkaji lebih mendalam lagi. Jangan sampai terjadi seperti di Dieng, Jawa Tengah, yang akhirnya dinyatakan sebagai bencana nasional. Di dalam perut bumi Pangolombian ini sudah banyak lubang jalur sumur bor PGE.
“Kan itu (perut bumi, red) sudah lubang di bawah sini (Pangolombian, red). Kami takutkan akan terjadi seperti di Dieng yang tenggelam dan ribuan orang jadi korban,” risaunya.
Paransi pun mempertanyakan, apa jaminan untuk kehidupan masa depan warga Pangolombian. Berbeda persoalan dengan Kamojang. Di Kamojang, PGE sudah lebih dulu melakukan eksplorasi dan beroperasi, baru kemudian masyarakat masuk. Sedangkan di Pangolombian, sudah jadi pemukiman masyarakat sudah ada jauh sebelum PGE masuk dan melakukan eksplorasi.
Sebagai masukan, dirinya sangat mengimpikan di kampungnya ada balai latihan keahlian (BLK) yang didirikan PGE Lahendong. Ini untuk melatih anak-anak generasi Muda di Pangolombian agar bisa memiliki keahlian dan dapat diberdayakan untuk bekerja di PGE. Sebab, tenaga kerja di kota Tomohon dan kabupaten Minahasa selalu terkendala dengan sertifikasi ketika melamar pekerjaan di PGE. Akhirnya, PGE Lahendong harus mendatangkan tenaga kerja dari luar Tomohon dan Minahasa.
“Karena terkendala dengan sertifikasi ini, kami sebagai masyarakat meminta kepada PGE Lahendong, dirikanlah BLK. Supaya orang-orang di sjni bisa mendapatkan sertifikasi dan layak untuk bekerja di PGE,” tandas Paransi.
Sabtu, 1 Februari 2025, Royen Wawoh, warga kelurahan Tondangow, menceritakan kecemasannya terhadap dampak lingkungan akibat pengerukan energi panas bumi di kampungnya. Sama dengan Paransi, Wawoh juga mengeluhkan tentang ancaman yang mengintai kelangsungan hidup orang Tondangow. Hal nyata telah terjadi puluhan tahun lalu. Sebelum PGE Lahendong beroperasi, masyarakat Tondangow menjadikan persawahan sebagai sumber hidup. Pasca pengeboran panas bumi, produksi persawahan turun drastis.
“Dahulu kebun sawah di Tondangow sangat produktif, sebagian dijadikan telaga untuk memelihara ikan. Gara-gara pengeboran, otomatis air permukaan tanah menurun dan sekarang hanya menjadi sawah tada hujan. Jadi, tunggu hujan dulu baru bisa menanam. Kalau musim panas, tidak bisa menanam karena sawah kering melekang,” ujar Wawoh.
Sama dengan di Pangolombian, rumah-rumah di Tondangow dahulunya beratap seng dan pasti itu akan awet selama bertahun-tahun. Tetapi, sesudah PGE beroperasi, atap seng hanya bisa mencapai usia sampai sembilan bulan. Itu pun sudah sangat karat dan berlubang-lubang.
“Contoh paling dekat, bagian dapur rumah saya atapnya memakai seng. Kondisi atap saat ini, berlubang-lubang sama seperti ayakan,” cerita Wawoh.
Kunci pintu rumah, juga engsel jendela dan pintu-pintu, semua korosi. Dalam satu tahun, bisa dua kali mengganti kunci pintu bagi yang punya uang lebih. Masyarakat yang pas-pasan, memilih menggunakan kunci pintu buatan dari kayu walau kurang aman. Sama halnya terjadi pada perabotan rumah dari besi, pasti cepat berkarat. Kondisi ini menurut Wawoh, disebabkan udara di Tondangow sudah mengandung racun yang keluar dari sumur-sumur PGE.
Di ujung keresahannya, dia pernah mendapat informasi bahwa perusahaan sering menurunkan tim yang bukan independen. Tim itu datang mengambil sampel udara untuk diuji di laboratorium. Pihak masyarakat lebih percaya pada hasil tes laboratorium ketika tim ahli yang turun merupakan independen. Masyarakat pun bisa tahu secara pasti, bagaimana kualitas udara di Tondangow, apakah sudah tercemar dengan zat kimia berbahaya atau tidak.
“Pernah juga, ada dari Unsrat (Universitas Sam Ratulangi, red) Manado yang datang ambil sampel, tapi masyarakat tidak tahu hasilnya seperti apa. Masyarakat ingin mendatangkan tim ahli independen, tapi terkendala dengan dana untuk pembiayaan,” papar Wawoh yang juga sebagai tokoh masyarakat.
Warga mengakui tidak begitu percayai dengan Tim dari Unsrat, karena mereka tahu ‘orang-orang Unsrat’ yang membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT PGE Lahendong. Mereka selama ini bekerja sama sehingga Unsrat pun ikut kebagian ‘kue’. Lembaga pendidikan kebanggaan masyarakat Sulut inilah yang melegitimasi jika aktivitas PT PGE tidak memberi dampak negatif terhadap Lingkungan sekitar.
Dia menggambarkan, sudah puluhan tahun PGE hadir, tapi kelurahan Tondangow tidak ada perkembangan. Malahan sektor pertanian mengalami penurunan produktivitas. Diakuinya, untuk penerangan di Tondangow saja, pada Desember 2024, PJU di wilayah pemukiman sudah terpasang, tapi itu program dari pemerintah kelurahan. Hal yang diharapkan, seharusnya PGE Lahendong dapat berkontribusi untuk penerangan jalan pada akses transportasi masuk keluar kelurahan Tondangow.
“Kalau malam hari, semua akses jalan masuk dan keluar Tondangow gelap gulita. Tidak ada lampu jalan. Padahal daerah kita itu penghasil listrik. Kelurahan kami lumbung energi panas yang menghasilkan listrik. Tetapi kami justru tidak merasakan listrik itu yang sebenarnya. Contohnya di Tondangow sering mati lampu, kan ini ironis,” sesalnya.
Sejumlah jalan perlintasan yang sering dilalui pegawai perusahaan, bahkan mobilisasi alat PGE Lahendong tampak tidak diperhatikan. Sampai jalan rusak pun tidak ada perhatian dari PGE Lahendong. Untuk membersihkan jalan yang sering dilalui perusahaan saja, itu dilakukan pemerintah dan perangkat kelurahan melalui program kerja bakti.
“Seharusnya PGE memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga dan membersihkan jalan. Di mana, jalan itu setiap hari dilalui para pegawai atau pun kendaraan dan alat-alat berat dari PGE Lahendong,” pinta Wawoh yang juga pernah menjadi jurnalis di wilayah Papua.
Tahun 2024 lalu, masyarakat mengeluhkan tentang kerusakan jalan pertanian usai digunakan PGE. Warga menuntut agar jalan dimaksud harus diperbaiki. Persoalan ini sempat dimediasi Kepolisian Resor (Polres) Tomohon. Masyarakat disuruh menandatangani poin-poin kesepakatan. Akan tetapi, hingga proyek selesai dan alat-alat PGE keluar dari lokasi pengeboran, kesepakatan soal perbaikan jalan tak kunjung terealisasi.
“Kan dorang (PGE, red) da se rusak tu jalan pertanian. Harusnya setelah rusak, dorang musti perbaiki kembali. Tapi cuma janji-janji manis. Itu, jalan masyarakat ka kobong. Bukang jalang perusahaan. Memang sempat ada alat berat bekerja di jalan, tapi hanya dua hari. Jalan tidak diperbaiki alias tetap rusak. Sampai hari ini, kondisi jalan pertanian tersebut masih dalam keadaan rusak,” jelas Wawoh.
Terkait soal bonus produksi operasional PGE, sesuai aturan memang wajib dilaksanakan. Sekian persen untuk pemerintah dan pemanfaatannya harus dinikmati masyarakat yang terdampak langsung. Di sini, Pangolombian dan Tondangow merupakan daerah yang masyarakatnya terdampak langsung. Wawoh meminta pemerintah daerah mesti terbuka soal ini. Apalagi diketahuinya, bonus operasional sudah masuk di anggaran pendapatan belanja daerah.
“Misalnya, wilayah terdampak di Tondangow, tapi peruntukan bonus produksinya sama rata dengan masyarakat di Taratara atau Kumelembuai. Sepengetahuan saya, dana itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk masyarakat yang terdampak, yaitu Pangolombian dan Tondangow,” ketusnya.
Wawoh menambahkan, dengan adanya Pemerintah Republik Indonesia yang baru dan pimpinan PT Pertamina teranyar, perjuangannya pun masih ada di titik harapan. PGE Lahendong bisa berkolaborasi dengan pemerintah untuk lebih memperhatikan warga Tondangow. Minimal, ekonomi masyarakat jadi meningkat dan ada perbaikan sarana prasarana infrastruktur fasilitas umum. Jangan lagi hanya menjadi ekspektasi semu.
“Kiranya sumber daya manusia (SDM) generasi muda di kampung saya bisa diberdayakan lewat pelatihan dari PGE. Mengedukasi anak-anak di kampung supaya memiliki SDM dengan keahlian, sehingga bisa masuk bekerja di PGE Lahendong. Kami juga sangat menginginkan ada peningkatan taraf hidup masyarakat, terutama anak-anak generasi penerus di Tondangow,” pungkas Wawoh.
Generasi Muda Risau
Tokoh muda kota Tomohon, Gratio Rondonuwu, mencurahkan kegelisahannya. Sebagai pemuda yang tinggal di lingkungan lingkar pertambangan non mineral, PGE Lahendong, dia merasa ada ancaman besar di masa depan. Mengancam lingkungan dan kemudian akan meneror kelangsungan kehidupan masyarakat di area pertambangan.
“Kekhawatiran tersebut ditimbulkan karena PGE merupakan perusahaan pertambangan yang mengelola sumber daya alam. Tetapi, apa pun itu, yang namanya tambang pasti akan ada dampak negatifnya bagi lingkungan dan manusia sekitar,” yakin Rondonuwu, warga Kelurahan Tumatangtang, Tomohon Selatan.
Kegamangan itu kata Gratio yang juga aktivis lingkungan dan mental ini, ketika area operasi PGE lebih luas lagi, jumlah sumur panas bumi bertambah, pasti akan membawa kerusakan-kerusakan serta dampak-dampak negatif. Berbagai dampak buruk akan dirasakan anak cucu di masa depan.
“Kekhawatiran itulah yang saat ini kami rasakan sebagai anak-anak muda,” kata Gratio dengan nada resah.
Sejauh ini, dirinya belum melihat, bahkan merasakan secara langsung tentang hal yang sudah dilakukan PGE Lahendong untuk merangkul masyarakat. Terdengar informasi, hanya beberapa area dan sejumlah ruang lingkup komunitas saja yang diorganisir atau dibantu. Lain daripada itu, mayoritas belum dan tidak pernah tersentuh. Pikirnya, ini menjadi satu masalah yang perlu diperhatikan.
Solusi Rondonuwu, PT PGE Lahendong harus menjamin, dampak-dampak kerusakan alam yang ditimbulkan akibat kegiatan eksploitasi panas bumi bisa diminimalisir. Menjamin bahwa lingkungan di kota Tomohon, khususnya di daerah lingkar tambang tidak akan rusak. Menjamin bahwa kehidupan masyarakat di masa depan tak terganggu dan tidak terancam. Hal ini perlu didiskusikan kembali. Bukan hanya dengan pemerintah, tapi bersama masyarakat yang tinggal di lingkar petambangan energi panas bumi.
“Biar ada masukan-masukan dan harapan-harapan masyarakat yang bisa didengar langsung. Sehingga ke depan akan ada tindak lanjut dari PGE Lahendong,” urai Rondonuwu yang saat ini aktif sebagai mahasiswa Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Manado (Unima).
Menanggapi sejumlah persoalan yang merupakan dampak terhadap alam, kondisi memprihatinkan yang dihadapi masyarakat di Tomohon Selatan, aktivis lingkungan Sulut, Denny Taroreh bersuara. Kata dia, jika ada bukti-bukti jelas mengenai dugaan dampak terhadap lingkungan, masyarakat bisa melakukan gugatan perdata. Semisal, mempunyai bukti substansial soal kasus korosi dan ISPA, itu bisa dilakukan class action. Menyangkut limbah geothermal yang masuk di kebun warga, Taroreh mengingatkan PGE agar jangan terjadi lagi. Apabila ada pipa yang bocor, diimbaunya PGE Lahendong segera melakukan tindakan penutupan
“Kalau masyarakat punya bukti-bukti, contohnya foto-foto sebelum dan sesudah terjadi karatan pada besi-besi. Kemudian bukti data rekam medis, berapa banyaknya masyarakat yang mengeluh terkena penyakit ISPA, masyarakat bisa langsung melakukan class action. Nah, yang paling penting itu ISPA karena penyebabnya tak kasatmata,” saran Taroreh. (*)
