REVIEW
The Hu, Hunnu Rock dan Eksotisme Mongolia
Published
6 years agoon
By
philipsmarx11 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Kuartet rock asal Mongolia yang kini jadi sensasi baru di Youtube.
KEPADA PARA pecinta musik rock di Indonesia, bersiap-siaplah menyambut fenomena baru.
Kali ini, kuartet pahlawan berasal dari Mongolia. Negeri yang bagi sebagian besar di Indonesia hanya diakrabi karena Gengis Khan dan cucunya, Kubilai Khan sering disebut sekilas dalam buku-buku sejarah lawas. Ini adalah negeri para nomad penunggang kuda terbaik yang menjadi pusat Kekaisaran Mongol pada abad ke-13 namun akhirnya takluk oleh Dinasti Qing sejak akhir abad ke-17. Sebagian besar wilayah Mongolia memiliki tanah yang gersang berupa padang rumput dengan pegunungan di bagian barat dan utara dan Gurun Gobi di selatan.
Uni Soviet kemudian datang “menyelamatkan” Mongolia dan membantu terbentuknya Mongolia merdeka pada tahun 1921. Kemerdekaan yang tidak pernah diakui Cina, sebelum negeri itu juga akhirnya berubah haluan menjadi negeri komunis setelah kemenangan Partai Komunis Cina. Di tahun 1949, Cina secara resmi mengakui Mongolia sebagai negara berdaulat.
Namun dukungan Uni Soviet tak berlangsung lama karena menyatakan diri bubar di awal dekade 1990-an. Sebagai akibatnya, pengaruh budaya Barat mulai membanjiri Mongolia dan pada akhirnya ikut mempengaruhi musik dan para musisinya. Kepada National Public Radio (NPR), kandidat doktor di bidang etnomusikologi dari Universitas Chicago, Thalea Stokes, mengatakan bahwa orang Mongolia tidak hanya mengambil unsur-unsur dari musik Barat atau sekedar menyalin. Sebaliknya menurut Stokes, mereka menggunakan beberapa elemen dari musik asing tersebut dan membuat musik asli mereka sendiri.
“Jadi ini bukan musik rock yang dilakukan oleh orang Mongolia. Ini musik rock Mongolia,” kata Stokes.
Kuartet ini menyebut diri mereka “The Hu” yang dalam bahasa Mongolia secara harafiah dapat diartikan sebagai manusia, dan menamakan musik yang mereka mainkan sebagai “Hunnu Rock”. Dalam sebuah wawancara radio -yang transkripnya dapat anda temukan di halaman Facebook mereka, produser The Hu secara singkat menjelaskan konsep dan visi band tersebut dan apa yang mereka sebut dengan “Hunnu Rock”.
Hunnu sendiri adalah nama dari kekaisaran kuno yang eksis sekitar tahun 210 SM di wilayah Asia Tengah yang di masa kini dikenal sebagai Mongolia sekitar 210 SM. Di barat, mereka dikenal sebagai orang Hun sementara orang Cina menyebut mereka Xiongnu. Tokoh-tokoh penting dari kerajaan ini termasuk: Modun Shanyu dan Atilla. Lirik mereka sangat politis dan mengglorifikasi budaya nomaden orang-orang Mongolia di masa lalu. Di saat yang bersamaan juga melayangkan kritik kepada kaum muda yang alpa dengan sejarah.
Menggabungkan instrumen tradisional Mongolia, morin khuur alat musik berbentuk seperti biola dengan dua dawai yang dilengkapi ukiran kepala kuda yang dimainkan dengan menggunakan busur, sejenis harpa tiga dawai yang disebut tumur khuur yang dimainkan seperti gitar dan gitar tradisional Mongolia dua dawai yang dikenal sebagai tovshuur sembari diiringi dentuman bass dan drum.
Mereka juga bernyanyi dengan teknik Mongolia tradisional yang yang melibatkan pembuatan beberapa nada serak secara bersamaan. Suara yang mereka hasilkan mengingatkan saya pada alat musik tradisional Aborigin yang disebut didjeridu.
Budaya musik Mongolia yang lekat dengan cara hidup pastoral tampak jelas dalam dua lagu yang telah dirilis ke publik sejauh ini. Morin khuur misalnya menghasilkan suara mirip biola dan dapat digunakan untuk meniru suara kawanan kuda. Sementara teknik menyanyi yang digunakan tentu saja terinspirasi dari cara para penggembala Mongolia di masa lalu yang mampu memproduksi suara rendah di saat yang bersamaan dengan suara yang bernada lebih tinggi.
Mereka yang bukan berasal dari Mongolia namun pernah mendengarkan atau bahkan tertarik dengan musik negeri ini, pasti akan dengan mudah jatuh cinta pada The Hu. Sebab band ini seperti kombinasi sempurna dari unsur tradisional dan modern, serta perpaduan yang tepat antara kultur musik Timur dan Barat.
Band ini menghabiskan tujuh tahun untuk menyiapkan menyusun album pertama. Rencananya album tersebut akan segera diluncurkan saat musim semi tahun ini. Mereka berencana memberi judul Gereg, yang merupakan penyebutan sejenis paspor diplomatik yang digunakan pada masa Genghis Khan. Untuk album tersebut, idenya adalah menemukan, mempelajari, dan menggabungkan sebanyak mungkin budaya musik Mongolia ke dalam gaya rock modern, kata produser sekaligus penulis lagu Dashdondog, yang lebih dikenal dengan nama Dashka.
Keempat anggota The Hu semuanya belajar musik dan memainkan alat musik tradisional Mongolia di Mongolian State Conservatory, sekolah musik terbesar di negeri itu yang berada di Ulan Bator, ibukota negara. Nyamjantsan, yang lebih dikenal dengan Jaya (35 tahun), bahkan masih aktif mengajar di sekolah musik tersebut.
Kepada NPR, Temuulen alias Temka (28 tahun), yang memainkan tumur khuur, mengatakan bahwa popularitas internasional yang kini mereka raih adalah sesuatu yang telah mereka prediksi sebelumnya, meski yang terjadi tetap saja di luar ekspektasi mereka. Anggota band lain adalah Enkhsaikhan yang dikenal dengan nama panggung Enkush, yang berperan sebagai penyanyi tenggorokan dan pemain morin khuur. Sementara vokalis utama The Hu bernama Galbadrakh memiliki alias Gala (29 tahun).
Sejauh ini baru merilis dua lagu ke publik melalui Youtube -dibuka dengan track berjudul “Yuve Yuve Yu” pertama kali mengudara pada 27 September 2018, sebelum disusul “The Wolf” yang rilis pada 16 November 2018, namun The Hu telah menjadi sensasi internasional di tengah para metalhead. Dua lagu tersebut sejauh ini telah ditonton hampir 10 juta kali -Yuve Yuve Yu bahkan sudah diputar lebih dari enam juta kali.
Banyak komentar membanjiri laman Facebook dan akun Youtube The Hu. Mulai yang dari sekedar menyampaikan pujian hingga mereka yang penasaran kapan band ini akan meluncurkan album. Walau jelas bahwa lagu-lagu mereka hanya akan ditulis dan dinyanyikan dalam bahasa Mongolia, tapi hal tersebut tampaknya belum menjadi penghalang bagi The Hu mendapatkan lebih banyak pendengar dan penggemar dari luar Mongolia.
“Ketika kami melakukan ini, kami hanya mencoba untuk mengekspresikan hal-hal yang indah secara spiritual tentang musik Mongolia. Kami yakin kami akan menjangkau lebih banyak orang melalui musik kami,” kata Temka ketika diwawancara NPR.
“Tapi kami tidak berharap secepat ini. Begitu banyak penggemar bermunculan di mana-mana, bahkan di seluruh dunia,” sambung Gala
Menurut Kip Hutchins, kandidat doktor antropologi budaya dari Universitas Winsconsin, popularitas yang begitu cepat diraih The Hu bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Hutchins berpandang bahwa daya tarik utama The Hu dan band-band rock Mongolia lainnya adalah tampilan visual mereka. Pilihan The Hu untuk merekam video klip mereka di danau dengan batu-batu kapur berukuran raksasa, padang rumput dan padang pasir dianggap sebagai bentuk persetujuan sekaligus perwujudan dari stereotip yang selama ini ada di dunia Barat mengenai Mongolia.
Bagi saya, respon luas yang diterima The Hu dari para metalhead dan pendengar musik rock di Barat menjadi gambaran bagaimana masa lalu tentang budaya nomadisme serta eksotisme para penunggang kuda di padang rumput yang memanggul busur dan anak panah telah berhasil diromantisir. Dan hal ini terjadi jauh sebelum kemunculan The Hu. Romantisme tersebut tidak lepas dari kecenderungan industri hiburan di Barat -termasuk di dalamnya tentu saja adalah Hollywood- untuk membangun mitos terkait segala sesuatu yang berada di Timur dan belum dipahami sepenuhnya oleh pengetahuan Barat. Hal ini juga yang terjadi terhadap Mongolia dan sejarah mereka.
Budaya nomad yang menawarkan kehidupan yang bebas, dinamis, sederhana dan dekat dengan alam hadir sebagai kontras dari kehidupan dunia pekerja yang stagnan, tanpa kemerdekaan dan begitu terikat dengan properti dan siklus hidup harian yang monoton. Kehidupan di alam bebas bagi anak-anak muda di Barat adalah bentuk kehidupan ideal yang tidak bisa mereka rengkuh, hingga dengan terpaksa harus menunggu hari libur sebelum kemudian bisa merasakan “eksotisme” Timur. Rasa haus tersebut bersahutan dengan industri pariwisata yang menawarkan negara-negara dunia Ketiga yang berada di Timur sebagai tempat untuk menenangkan diri, menemukan kembali ketenangan dan berbagai omong kosong lainnya.
The Hu bukan satu-satunya band Mongolia yang berhasil menarik perhatian internasional baru-baru ini. Sebagai contoh, kita bisa menyebut band folk rock Altan Urag, yang musiknya digunakan dalam film Mongol yang rilis di 2007. Juga ada band musik asal Beijing bernama Hanggai yang memainkan musik yang kurang lebih mirip dengan The Hu.
Namun upaya The Hu untuk mengombinasikan alat musik dan teknik bernyanyi tradisional ke dalam musik yang sepenuhnya ditemukan di Barat dan mengubahnya menjadi ala Mongolia, merupakan sesuatu yang menurut saya patut mendapatkan apresiasi. Mungkin, inilah pelajaran berharga dapat dipetik para musisi yang menilai alat-alat musik tradisional dan sejarah musik kita tinggal artefak dan yang terbaik adalah segala sesuatu yang berasal dari Barat. The Hu bagi saya hadir untuk mengingatkan bahwa matahari selalu terbit di Timur.(*)
Editor: Gratia Karundeng
You may like
-
Doraemon: Sahabat Orang-orang Jepang Setelah Kalah Perang
-
Cina Menutup Tibet dari Pengunjung Asing
-
UU Pengakuan Orang Ainu sebagai Orang Asli Segera Disahkan
-
Mencabut Tiga Nyawa di Tahun Baru Cina
-
Dituduh Mata-mata, Warga Negara Australia Ditangkap Cina
-
Refleksi Masyarakat Adat Lewat Film Seediq Bale (Bag.2)