Connect with us

ESTORIE

Tiada Natal di Masa Perang

Published

on

5 Januari 2019


Oleh: Denni Pinontoan


Kenangan masa indah Natal bersama keluarga datang lagi saat perang sedang berlangsung.

SORE 24 DESEMBER 1958. Kampung Rasi, Ratahan, bagian tenggara Minahasa. Perang merenggut damai Natal. Orang-orang masih banyak mengungsi ke hutan dan kebun-kebun. Hanya terlihat pasukan Permesta (Perjuangan Semesta) berjaga-jaga di markasnya.

Phill M. Suluh, berusia 19 tahun asal Kakaskasen. Sejak pecah pergolakan terpaksa angkat senjata. Jadi tentara Permesta.

Sebelum perang, Phill adalah seorang wartawan koran stensilan Gema Masyarakat yang terbit di Tomohon. Ia juga pernah jadi wartawan surat kabar Suara Revolusi yang terbit di Manado. Sebelum jadi jurnalis, Phill adalah pegawai di Central Kontoor Voor de Comptabiliteit – atau Kantor Pusat Perbendaharaan Negara – di Tomohon.

Gerakan Permesta dideklarasikan pada 2 Maret 1957 di Makassar oleh sejumlah pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur. Tokohnya antara lain Letnan Kolonel Ventje Sumual. Di tahun itu, Makassar merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi. Gubernur saat itu dijabat Andi Pangerang Pettarani. Setahun kemudian, pusat pergerakan Permesta pindah ke Manado.

Sabtu, 22 Februari 1958, tentara pusat membom Manado, lalu kemudian Tomohon.

“Pada hari 22 Februari, ketika kota Manado mulai menggeliat bangun dalam rutinitas semangat Permesta, salam ‘selamat pagi’ datang bersama pesawat AURI yang menjatuhkan bom pada beberapa sasaran,” tulis Phill dalam bukunya Permesta, Jejak-jejak Pengembaraan (1997).

Studio RRI yang diambil alih oleh Permesta di Sario Manado, RS Gunung Maria di Tomohon dan sejumlah gedung vital lainnya kena bom. Rakyat di Manado dan Minahasa pegunungan segera sadar, perang akan terjadi!

Pengungsian besar-besaran terjadi. Rakyat mencari perlindungan di hutan dan kebun-kebun. Banyak anggota keluarga yang harus terpisah. Masa mencekam di Manado dan Minahasa pegunungan dimulai.

“Prahara telah datang. Kepanikan pun mulai meliputi wilayah kekuasaan Permesta. Terutama di kalangan penduduk sipil. Pengungsian mulai terjadi besar-besar, baik warga sipil maupun penduduk desa,” tulis Phill.

Phill dan begitu juga anak muda di Minahasa pada umumnya, tak pernah berharap perang terjadi. Era pendudukan Jepang yang brutal meninggalkan kesan buruk. Saat itu Phill masih kanak-kanak. Namun, apa boleh buat. Pilihan harus diambil.

“Aku kemudian terpaksa harus mengenakan juga seragam militer. Karena perawakanku agak kecil, seragam yang kukenakan agak kedodoran,” ungkap Phill.

Phill lalu menjadi tentara sekaligus wartawan. Kerjanya, selain menyusun berita, membawa naskah sekaligus korektor pada malam hari di percetakan. Sebagai tentara Phill dilengkapi dengan senjata jenis lee en field.

Namun, pada akhirnya Phill lebih banyak memegang senjata ketimbang pena. Sejak Manado, Tomohon dan beberapa tempat lainnya dibom dan diserang tentara pusat, tak ada lagi koran yang terbit. Sebabnya, menurut Phill selain suasana semakin mencekam, tapi juga habisnya bahan baku kertas.

“Aku sendiri pada waktu itu, tak punya niat memanggul senjata. Cita-citaku sangat kuat ingin menjadi seorang jurnalis,” kenang Phill.

Andai saja bukan masa perang, Phill pasti sedang berada di rumah bersama orang tuanya di Kakaskasen. Natal selalu istimewa bagi Phill.

Namun, di mana-mana, perang mengubah banyak hal. Phill terpisah dengan orang tua dan sanak saudaranya. Padahal, bagi dia ‘Hari Besar’ Natal dan Tahun Baru adalah penting dan penuh makna. Perang membuat Phill dan banyak anak muda Minahasa lainnya tidak dapat menikmati kemeriahan Natal. Kenangan masa indah Natal bersama keluarga datang lagi saat perang sedang berlangsung. Phill merasa kesepian karena jauh dari keluarga.

Di tahun 1958, meski Natal sudah menjelang, ribuan orang tetap berada di tempat-tempat pengungsian. Sementara pasukan TNI sudah berada di Noongan, Langowan. Tak jauh dari kampung Rasi, tempat Phill bersama pasukan Permesta lain berada. Pemisahnya adalah sebuah gunung. Warga menyebutnya ‘Gunung Potong’. Sejak beberapa bulan sebelumnya, tentara pusat berhasil mendesak pasukan Permesta. Itu sebabnya Phill dan kawan-kawannya terpaksa bikin markas di Rasi.

Seperti yang diduga, tentara pusat menyerang ketika Natal menjelang. Desingan bom roket tembakan artileri TNI yang berkedudukan di Noongan menghantam Ratahan dan desa Rasi. Suasana sukacita menyambut Natal sirna. Semua orang panik. Beruntung roket-roket tersebut tak mencapai sampai ke pemukiman. Tidak ada korban jiwa.

“Rupanya pasukan TNI hanya sekedar mengirim ‘Kado Natal’ pada Pasukan Permesta yang saat itu sedang siap-siap menyambut Hari Natal 1958,’ kenang Phill.

Saat malam tiba, kampung Rasi gelap gulita. Hantaman roket-roket artileri TNI di sore hari, menyisakan suasana mencekam. Warga sipil takut melakukan aktivitas di luar rumah. Sebagian lagi, bersembunyi di pengungsian. Semua khawatir dengan kemungkinan serangan susulan.

Phill melewati malam Natal dengan kenangan dan kerinduan pada orang tua dan sanak saudaranya di Kakaskasen.

“Terbayang wajah ibu dan ayahku serta sanak saudara. Kali ini aku tak dapat merayakan Natal bersama mereka. Dan inilah perayaan Natalku yang pertama tanpa mereka,’ kenang Phill.

Phill teringat masa kecilnya di Hari Natal. Lilin-lilin indah, lonceng gereja bergema. Bersama teman-teman sebaya, mereka bergandengan tangan sambil bernyanyi: ‘Ya pitoria, ya pitoria, hencere were wet bonbon.’

Di hari Natal masa damai, Phill dan teman-temannya sering berkunjung ke rumah-rumah sanak saudara. Jabat tangan sambil mengucapkan selamat Hari Besar.

“Terutama kami datangi rumah ‘Papa Ani’ dan ‘Mama Ani’ kami sambil mengharapkan angpao Natal,” kata Phill.

Sebelum Permesta dideklarasikan, keadaan Minahasa masih serba sederhana. Jalan-jalan raya di Minahasa, semisal jalan raya Manado-Tomohon-Tondano, sempit dan rusak. Di malam hari, kata Phill, suasana kampung-kampung di Minahasa gelap gulita. Kakaskasen, kampung Phill yang terletak di kaki gunung Lokon juga tak jauh berbeda. Meski begitu, suasana terasa damai. Phill mengenang bagaimana pergaulan anak-anak muda tak luput pengaruh demam lagu-lagu Barat. Elvis Presley jadi idola kaum muda. Sering diadakan pesta dansa. Peminatnya tentu saja para muda mudi.

Permesta datang dengan harapan besar.

Sempat ada pembangunan yang memberi optimisme bagi rakyat Minahasa. Rakyat dikerahkan untuk ambil bagian dalam pembangun. Jalan raya Manado-Tomohon yang sempit dan rusak dalam waktu singkat diperlebar dan diaspal. Gedung-gedung sekolah dan pasar-pasar di Minahasa dibangun. Waktu itu Kepala Daerah Minahasa (KDM) dijabat Laurens F. Saerang.

“Ia sebelumnya dikenal sebagai konglomerat yang dijuluki ‘raja besi tua’. Pria ganteng asal Langowan ini, menjadi kaya-raya setelah sukses menjadi pedagang rongsokan peralatan Perang Dunia II di Pulau Morotai, Halmahera,” jelas Phill.

Perekonomian dalam sekejap meningkat. Kopra menjadi andalan rakyat Minahasa. Kopra dijual dengan cara barter di pasar internasional. Tapi, perang mengubah segalanya.

Malam 24 Desember 1958, semua progress itu adalah kenangan bagi Phill. Tahun itu adalah Malam Natal yang sungguh menyedihkan. Tak ada gemerlap lampu-lampu ‘pohon terang’. Tak ada kue-kue enak yang dapat dinikmati. Tidak ada hidangan makanan lezat dan baju baru. Apalagi pesta dansa muda-mudi Kakaskasen seperti di masa damai.

Di tengah malam Natal yang sepi, Phill duduk di beranda rumah warga yang telah berubah menjadi markas. Dia duduk seorang diri. Mengenang perayaan Natal di masa damai.

Lalu, dari kejauhan terdengar sayup-sayup kidung Natal ‘Malam Kudus’. Sekelompok jemaat sedang mengadakan ibadah malam Natal di sebuah pondok pengungsian. Phill kemudian tenggelam dalam kenangan.

“Tanpa sadar, airmataku memanasi pipiku di malam yang semakin dingin itu. Dan inilah ‘Kado Natal’ tak ternilai yang kuperoleh malam itu,” kata Phill. (*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *