REVIEW
Tidak Akan Ada Joker di Jakarta
Published
5 years agoon
By
philipsmarx3 November 2019
Oleh: Andre Barahamin
Di kota besar seperti Jakarta, depresi mental bukan hal serius. Di Jakarta, menjadi gila adalah biasa.
BAGI MEREKA YANG tinggal di kota-kota maju dari negara Dunia Pertama, Joker mungkin dipandang sebagai sesuatu yang bisa disebut “normal”. Depresi mental sebagai akibat langsung dari relasi yang penuh dengan kekerasan fisik yang terus-menerus, dan akhirnya mendorong seseorang ke dalam labirin khayalan mungkin hanyalah bagian “realitas sehari-hari” yang sering dapat ditemukan dengan mudah di mana-mana beserta dengan model penanganan yang telah disediakan sebagai antisipasi. Namun, hal ini akan terdengar sama sekali berbeda jika Anda berbicara dengan seseorang dari negara Dunia Ketiga. Ketika kehidupan kota di negara tropis dan seluruh rasa sakitnya dibuat dengan sesuatu yang sedikit berbeda dari apa yang coba diwakili oleh Gotham.
Sebagai contoh, mari kita bicara tentang Jakarta, ibukota sekaligus hutan beton terpadat Indonesia.
Populasi dengan lebih dari 10,5 juta orang, yang belum termasuk jutaan orang lain yang masuk dari kota-kota satelit sekitarnya di pagi hari. Orang-orang inilah yang memenuhi gerbong-gerbong kereta dan jalan-jalan setiap hari, lalu secara sadar menjejalkan diri mereka sendiri dalam kondisi yang lebih buruk daripada deret tumpukan barang eceran di gerai-gerai minimarket. Mereka kemudian beranjak meninggalkan kota pada malam hari, dengan bau badan, kemeja basah kuyup, wajah lesu dan menutupi wajah mereka dengan masker murah yang dibeli dengan ilusi untuk menangkal polusi udara.
Sementara sebagian besar lain mereka yang merupakan pekerja kerah putih yang mendapatkan beberapa hak istimewa berkat latar belakang pendidikan mereka – yang dengan pongah mendaku sebagai sapioseksual – berhasil mendapatkan pekerjaan di perusahaan menengah dengan ruang kantor yang dilengkapi dengan AC di dalam gedung pencakar langit atau kotak-kotak temporer di ruangan sewa dari ruko-ruko bertingkat di seluruh kota. Mereka adalah kelompok yang memiliki kemewahan untuk pergi ke bioskop dan menonton Joker, ditemani minuman bersoda dan popcorn, yang setelahnya akan diikuti dengan posting media sosial dan pembaruan tentang bagaimana kesan mereka terhadap film.
Sebagian kecil dari kelompok ini biasanya akan mencari beberapa ulasan di jagad internet untuk memastikan bahwa Joker cocok untuk status sosial mereka sebelum memutuskan kemudian untuk pergi dalam kelompok kecil atau pasangan masing-masing setelah jam kerja usai.
Kelompok menengah inilah – yang anehnya tidak memiliki basis historis dalam pengertian kelas sejati dalam teori-teori filsafat, adalah barisan manusia yang dengan angkuh mendeklarai untuk menarik garis batas antara diri mereka dengan politik. Pernyataan mereka dapat dirangkum dalam adagium: “Kami tidak tertarik pada politik.”
Inilah manusia-manusia yang secara umum dapat dikategorikan ke dalam kelompok yang sering terganggu oleh protes massa yang dianggap memperlambat laju mobilitas mereka. “Orang-orang yang berdemonstrasi hanya membuat kemacetan semakin parah,” kata mereka.
Secara ahistoris tak peduli dengan fakta bahwa delapan jam waktu kerja mereka, standar upah minimum, asuransi kerja, transportasi umum yang layak diakses dan manfaat lainnya merupakan hasil langsung dari perjuangan panjang pekerja. Buah dari rangkai protes, pemogokan dan blokade pabrik-pabrik. Sebagian dari mereka dengan bangga akan mendelegasikan masalah dan keterlibatan politik mereka ke tangan para politisi korup dan menutupi diri mereka dengan pemikiran: “Kami tidak punya pilihan lain.” Sebagian lainnya akan secara apatis memilih absen dari segala jenis peristiwa politik, menunggu dan mengamati dari kejauhan sembari di saat yang bersamaan menolak tawaran untuk mengedukasi diri mereka secara politik dan dengan tekun kesadaran politik mereka selalu di bawah level tolol.
Sementara mayoritas penduduk Jakarta, baik yang secara resmi terdaftar oleh Negara atau mereka yang terpaksa bermigrasi demi mencari kehidupan yang lebih baik atau mengejar impian ekonomi, adalah lapisan terendah di struktur piramida kehidupan urban. Anda dapat menemui mereka di jalan-jalan – mengemis, mencari-cari plastik untuk dijual, menjual barang-barang eceran secara acak, menjadi pengatur lalu lintas dadakan, pengamen keliling dengan keterampilan musik terbatas dan suara yang luar biasa mengerikan, mendorong gerobak yang menjual makanan cepat saji khas Indonesia, atau menduduki trotoar untuk membuka warung makanan temporer mereka.
Inilah mayoritas yang mengisi daerah kumuh di Jakarta – terutama tinggal di bantaran sungai. Sanitasi yang buruk, udara yang apek dan bau, bangunan tinggal yang berhimpitan, dan tidak adanya sumber air bersih yang memadai, adalah hal-hal yang telah dianggap bagian dari takdir hidup sebagai penghuni ibukota yang ‘kurang beruntung’. Setiap hari, mereka dapat diusir dan rumah mereka dapat dihancurkan atas nama perencanaan kota.
Pagi hari mereka biasanya dimulai dengan kombinasi mematikan kopi instan murah yang diseduh dalam gelas plastik dan makanan goreng panas yang dibungkus dengan kantong plastik. Jenis diet karena desakan ekonomi yang dilihat secara menjijikkan oleh kalangan terdidik.
Dua kelompok sosial yang disebutkan di atas adalah wajah asli Jakarta. Kota yang penduduknya telah berhasil melampaui sikap apatis. Setiap warga Jakarta telah membuat perjanjian damai spiritual dan politik dengan polusi udara buruk yang dihirup setiap hari. Kemacetan telah diadopsi sebagai anak kandung dari hidup harian, dan mereka yang mengeluhkan ketidakberesan dipandang sebagai orang lemah yang tidak pantas menjadi bagian dari ibukota.
Jadi, ketika Arthur Fleck mengajukan pertanyaan “apakah hanya saya atau semakin gila di sana?”, warga Jakarta dapat dengan mudah menjawabnya: keduanya terjadi. Iya benar. Bahkan faktanya, Jakarta tak lama lagi akan segera melampaui Gotham.
Jika Anda sudah berkeliling di Jakarta, kita dapat dengan mudah melihat tanda-tanda di mana klub meditasi, studio kebugaran dan yoga, dan tempat hiburan buatan seperti kelas memasak atau arena olahraga dalam ruangan sekarang makin menjamur di setiap sudut kota. Menjadi sehat secara fisik adalah satu-satunya kompensasi atas ketidakmampuan untuk seseorang untuk memberi makan kewarasan di dalam setiap jiwa mereka.
Di Jakarta, yang paling religius adalah kuliah tentang cara-cara pendek untuk menjadi kaya atau rute tercepat ke surga. Keduanya ditayangkan dengan simultan di TV nasional. Sementara itu, sentimen konservatisme agama makin mendapatkan panggung, statistik kemiskinan meningkat ke level brutal, pelecehan seksual terhadap perempuan semakin umum, dan ironisnya kehidupan di Jakarta tampak normal seakan-akan tidak ada yang terjadi.
Namun, jangan menilai bahwa Jakarta akan berwajah muram seperti Gotham.
Jakarta jauh lebih baik dari Gotham dalam aspek membuat dirinya jauh lebih buruk. Jika Gotham masih dapat membual tentang langit biru, warna langit pagi dan sore Anda di Jakarta hanya monokrom yang merupakan campuran surga dari asap beracun dari knalpot mobil, sepeda motor, ditambah dengan polusi pembangkit listrik tenaga batubara yang ramai berada tak jauh dari ibukota. Warna langit di Jakarta tidak hanya akan mengaburkan mata tetapi juga kesadaran. Jika Gotham masih diberkati dengan hujan, di Jakarta itu berarti bencana bagi banyak orang. Banjir di beberapa bagian kota yang tidak hanya akan menghanyutkan barang, tapi juga menyapu bersih semua harapan yang masih Anda miliki.
Jika di film Joker, Fleck masih memiliki petugas layanan sosial sebagai boneka manusianya untuk diajak bicara, sebagai orang Jakarta Anda tidak akan memiliki siapa pun selain diri Anda sendiri. Sebabnya sederhana. Di kota ini, depresi mental belum dianggap sebagai masalah serius dan harus ditangani dengan pendekatan medis profesional. Indonesia, adalah salah satu negara dengan pelayanan kesehatan yang terburuk di dunia. Jika ada yang modern, harganya terlalu mahal untuk diakses karena layanan tersebut bukan untuk Anda yang miskin. Adalah pemandangan umum melihat seseorang meninggal sebelum mendapatkan perawatan medis di Jakarta. Normal melihat bagaimana malaikat maut terpaksa mencabut nyawa seseorang karena ia tak mampu mengurus surat-surat dan membayar biaya administrasi.
Karena itu, saya hanya tersenyum sinis saat menonton Joker. Membayangkan jika Fleck tinggal di Jakarta, ia dan ibunya akan berakhir tinggal di daerah kumuh dan biaya pengobatannya puluhan kali lipat jauh lebih mahal dari upah sebagai badut sewaan. Dengan Jakarta sebagai kotanya, Fleck tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk menjadi Joker.
Di Jakarta, Fleck hanya akan berakhir sebagai manusia kasta paling hina karena menderita penyakit mental. Jika dia cukup beruntung, Fleck akan dibelenggu ke tempat tidur atau blok semen. Tidak akan ada sedikitpun peluang bagi Fleck untuk mendapatkan pekerjaan di Jakarta dengan riwayat kesehatan sebagai orang cacat mental. Di Jakarta, Fleck tidak akan mendapat pekerjaan jika pernah diinapkan di rumah sakit jiwa. Setelah nama Anda terdaftar di sana, itu sinonim dengan selamanya diusir dari masyarakat.
Jadi, dengan Jakarta sebagai latar, membayangkan Fleck memiliki kesempatan untuk melakukan open-mic untuk mengejar karir sebagai komedian sambil bekerja sebagai badut sewaan terasa sebagai komedi itu sendiri.
Mutasi Fleck menjadi Joker dimungkinkan karena ia memiliki Gotham sebagai kotanya. Joker tidak akan – dan tidak bisa membiarkan dirinya sendiri – dilahirkan di ibu kota Dunia Ketiga. Sebuah kota di mana energi untuk kehidupan telah berhasil diserap dan bermutasi menjadi kurangnya pilihan selain terus hidup.
Di Jakarta, gelak tawa tanpa jiwa Arthur Fleck tidak akan terlihat oleh sorot cahaya lampu. Sebabnya, Jakarta pernah memiliki senyum mematikan dari The Smiling General yang memimpin pembantaian brutal untuk membuka jalannya menuju kekuasaan di pertengahan dekade 1960-an.
Sebaliknya, Jakarta bisa mengajarkan Fleck tentang bagaimana caranya menjadi lebih tertekan, terisolasi, kesepian dan delusional sambil memiliki senyum tersinis yang bisa ia bayangkan. Di saat yang sama, Jakarta akan membuat Arthur tetap bernapas sambil menyaksikan dirinya disiksa secara mental. Jakarta tidak akan memakan Fleck hidup-hidup, namun akan membentuk dan mengajari dia bagaimana caranya menjadi tubuh tanpa jiwa. Manual untuk menjadi manusia yang terpojok dan tak memiliki bantuan yang dapat dijangkau dan ketakutan glamor yang akan mencegah seseorang untuk mengakhiri hidup.
Fleck akan menemukan bagaimana nomor darurat yang tercantum di mana-mana berada di luar jangkauan dan hanya ada untuk pegawai kerah putih dan bukan untuk proletar kerah biru.
Jika pembunuhan terhadap tiga karyawan Wayne Enterprise terjadi di Jakarta, Fleck tidak akan bertemu dengan pasangan detektif polisi yang baik. Di Indonesia, mereka tidak akan datang dengan sopan lalu mengetuk pintu rumah Anda, menunggu dengan sabar, menghubungi anda lalu meninggalkan pesan di ponsel Anda. Tidak ada skenario kunjungan ramah sembari mengajukan beberapa pertanyaan sopan yang bagus di rumah sakit saat ibu anda terkapar hampir mampu.
Sebaliknya, skenario paling mungkin di Jakarta adalah polisi akan menangkap Anda terlepas dari fakta bahwa bukti masih kurang. Mereka akan memukuli anda dengan bahagia dan tanpa lelah sebelum membuat Anda menandatangani surat pengakuan bersalah. Jika pembunuhan tersebut terjadi di Jakarta, beberapa hari setelah pembunuhan, tidak akan ada badut di seluruh kota karena itu artinya mereka secara sukarela menawarkan diri untuk menjadi sasaran mudah bagi kebrutalan polisi.
Ingat, Jakarta adalah kota yang di masa lalunya pernah menjadikan dirinya sebagai lapangan luas perburuan dan pembantaian sekitar 4.000 orang. Orang-orang bertato yang nyawanya dihabisi oleh kelompok eksekutor yang dibentuk pemerintah.
Karena itu, sekali lagi: mutasi Fleck menjadi Joker dimungkinkan karena ia memiliki Gotham sebagai kotanya. Sebuah kota yang merosot ke dalam kekacauan tetapi entah bagaimana masih memiliki demokrasi yang entah bagaimana terasa lebih baik daripada yang dimiliki Jakarta saat ini.
Itu mengapa, terasa lucu bagi saya jika kemudian Joker bagi banyak orang dianggap mewakili kondisi depresif hidup di kota besar seperti Jakarta. Adalah konyol untuk membaca ulasan-ulasan yang tersebar di Indonesia, yang meresmikan film ini sebagai salah satu cara untuk mulai berbicara tentang penyakit mental di ruang publik. Mengabaikan fakta bahwa wacana di ruang publik hanya mungkin jika ada kebebasan berpendapat tanpa khawatir dituduh dengan UU ITE, atau aksi kekerasan pembubaran diskusi-diskusi publik terbuka yang dilakukan oleh polisi, tentara atau milisi.
Menjadi loncatan tidak masuk akal bagi saya jika mendiskusikan soal depresi mental dan pencegahannya tanpa menyoroti tentang buruknya tanggung jawab negara dalam menyediakan layanan kesehatan yang terjangkau secara ekonomi, adil dan bebas dari diskriminasi. Juga tentang bagaimana ketidakadilan dalam ekonomi dan kemiskinan dalam penampilannya yang paling brutal di sudut-sudut Jakarta.
Usai menonton film ini, saya memahami bahwa Joker tidak akan pernah bisa lahir di Jakarta. Tempat yang memiliki kombinasi paling brutal antara depresi mental yang bercampur dengan sikap anti-politik seseorang di lapisan terendah dalam kasta ekonomi. Joker tidak akan mungkin lahir di tengah masyarakat yang akan lebih masuk akal yang apatis, pasif dan hidup dengan teror harian untuk kemudian melakukan tindakan kekerasan dan mendaulat seorang pembunuh sebagai pahlawan.
Di Jakarta, Joker tidak akan sempat lahir dari lapisan terendah dalam piramida masyarakat yang sangat individulistik, dengan sengaja menjadi bodoh dan tak berjiwa. Melihat dan menonton Joker dari Jakarta tidak akan bermakna apapun.
Film ini menurut saya hanyalah panggung untuk memamerkan kemampuan akting yang dimiliki Joaquin Phoenix. Wajah Joker ala Phoenix mungkin tidak memiliki make-up tebal seperti film-film Joker lainnya. Tetapi melihat tubuhnya yang kurus, dengan tulang punggung yang menonjol, Phoenix menjadikan Flek pra transformasinya sebelum Joker sebagai malaikat yang jatuh, dengan sayap yang dibiri, penuh luka dan sudah setengah jalan menuju liang kubur. (*)
Editor: Gratia Karundeng
Foto: Film Joker tahun 2019 (Sumber: youtube.com)