Connect with us

REVIEW

Tiga Interval di Kota Tanpa Sejarah Rasa

Published

on

26 Februari 2019


Oleh: Andre Barahamin


 

JAKARTA MENURUT SAYA, adalah rumah bagi berlaksa manusia dengan lidah tuna sejarah. Di kota ini, kita akan dengan mudah menemukan restoran Manado salah kaprah, rumah makan Padang tanpa identitas, tempat yang menyajikan sagu dengan buruk, dan masih banyak lagi dosa-dosa serupa.

Catatan ini makin panjang jika ditambah dengan fakta psiko-geografis -meminjam istilah para Situationiste Internationale– di mana gerai-gerai makanan cepat saji (fast food) menjamur tanpa komposisi di sudut-sudut kota. Sebuah ikhtiar yang dibangun di atas pondasi keinginan warga kota ini untuk menjadi serupa dengan keturunan kriminal berwajah pucat dari utara. Manusia-manusia tanpa masa lalu dan ingatan kuliner karena nenek moyang mereka tersesat di laut dan kehilangan akal sehat karena wabah penyakit. Kutukan dewata saat para begundal ini menjalani petulangan paling bodoh yang pernah dicatat oleh buku-buku sejarah.

Obsesi menemukan sumber emas coklat yang pada akhirnya membuat orang-orang terbuang ini terdampar di pulau asing dan semena-mena memberikan nama seturut kesombongan mereka yang tuna sejarah. Anak cucu dari para barbar yang menetap dan mengokupasi tanah ulayat orang lain karena terusir dari kampung halaman, lalu bertingkah seperti tuan tanah dan membantai masyarakat adat di sana.

Mencontoh budaya kuliner imperialis mereka yang buruk adalah salah satu kebiadaban yang dilanggengkan dengan sengaja di Jakarta.

Persoalan lain, agak sulit bagi lidah sombong saya untuk puas dengan tempat kuliner di Jakarta. Sebab sejak lama saya meyakini, kuliner di ibukota dibangun dengan pondasi kemampuan meramu ala kadarnya dan cinta setengah hati saat memasak. Itu alasannya mengapa saya percaya bahwa hutan beton tersubur di Indonesia ini memang hanya cocok sebagai tempat untuk mengumpulkan depresi dalam hati sebelum memutuskan bunuh diri.

Namun, ibarat neraka yang dihuni oleh para pengembara penuh gairah, di celah-celah kebisingan dan kemacetan yang menyedot usia, Jakarta masih memiliki beberapa tempat yang layak dijadikan terminal melepas rindu bagi lidah yang hampir sekarat. Tempat-tempat ini adalah anomali di tengah gemerlap cahaya kota yang menyedot batu bara dengan rakus dan membiarkan anak-anak Kalimantan Timur tewas di lubang tambang. Kedai-kedai yang dengan teguh menjalankan tradisi meramu makanan layaknya bercumbu penuh gairah berbalur dengan keringat dan sensasi menjumpai leluhur di balik tiap adukan dan campuran rempah.

Titik-titik yang absen dari brosur-brosur mewah milik para borjuis karbitan yang merasa telah merengkuh dunia, padahal otak mereka sedang berhalusinasi karena terlalu banyak mengkonsumsi mecin.

 

KULINER #00: SROTO

Anda pernah dengar kata “Sroto”? “Sroto” adalah kata lain dari “soto”. Penyebutan dengan menambahkan “r” biasanya dilakukan orang-orang Sokaraja. Salah satu daerah di Banyumas, Jawa Tengah. Terletak sekitar 8 km perjalanan ke arah timur dari Purwokerto. “Sroto” adalah salah satu monumen kuliner Sokaraja, selain gethuk goreng.

Di Indonesia, ada banyak jenis “sroto” alias “soto” ini. Dua nama untuk satu menu kuliner yang acapkali salah dipertukarkan dengan “coto” yang berasal dari bagian selatan di Pulau Sulawesi. Kesalahan ini biasanya dilakukan oleh mereka yang berasal dari kasta lidah tanpa sejarah. Namun, ada beberapa tempat mencicipi “sroto” yang menurut saya dapat jadi oase di gersangnya padang kuliner Jakarta. Salah satunya adalah RM. Sroto Eling-Eling Banyumas.

Beralamat di Jl. Tebet Utara 1 No.48C, Tebet Timur, Tebet, Jakarta Selatan. Kalian bisa menemukannya di Google Map dengan mudah.

Sroto daging mereka adalah kombinasi daging sapi, tauge pendek, bawang goreng, irisan daun bawang dan kerupuk cantir. Krupuk ini berbahan dasar ketela pohon. Bentuknya hampir sama dengan krupuk untuk soto pada umumnya, tapi rasanya jelas tidak akan bisa ditiru. Dengan kuah bening yang diseduh dari bumbu bawang putih, serai, kemiri, merica dan lengkuas. Harum dan gurih. Layak buatmu bahagia dan lupa betapa bangsatnya jalanan Jakarta meski akhir pekan.

Tempat ini begitu taat dengan tradisi.

Sambal padanan “Sroto” tentu saja merupakan perpaduan kacang tanah yang digoreng lalu diulek dengan bumbu cabai dan bawang putih serta sedikit gula merah. “Sroto” di tempat ini adalah karunia. Apalagi jika anda jadikan ketupat sebagai tandemnya. Ketupat yang diiris agak kecil dan tentu saja menggunakan daun kelapa yang masih muda dan bukan plastik sebagai bahan pembungkusnya.

 

KULINER #01: COTO

Berasal dari Makassar, di ujung selatan pulau Celebes. Makanan ini mulanya dikenal dengan nama Coto Mangkasara. Kuliner ini mulai dikenal sejak kerajaan Gowa, yang saat itu berpusat di Sombaopu. Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya sekitar tahun 1538 M.

Jika merujuk pada proses pembuatannya secara tradisional, Coto Makassar secara khusus diolah dalam kuali tanah liat yang disebut korong butta atau uring butta.
.
Selain daging sapi, Coto harus dilengkapi dengan Rampah Patang Pulo (40 jenis rempah) yang terdiri dari kacang, kemiri, cengkeh, pala, foeli, serai yang ditumbuk halus, lengkuas, merica, bawang merah, bawang putih, jintan, ketumbar merah, ketumbar putih, jahe, laos, daun jeruk purut, daun salam, daun kunyit, daun bawang, daun seledri, daun prei, cabe merah, cabe hijau, gula talla, asam, kayu manis, garam, pepaya muda yang digunakan untuk membuat tekstur daging lebih lembut saat digigit dan kapur untuk membersihkan jerohan.

Kau menghitung dan tidak genap 40? Tentu saja, sebab Rampah Patang Pulo adalah metafora. Jangan terlanjur mengartikannya secara harafiah.

Pembeda utama Coto bagi saya adalah kuah kental dengan rasa yang khas.

Di periode 2006-2008, saat masih iseng-iseng belajar soal tradisi kuliner di Sulawesi dan sangat sering mengunjungi Makassar, saya menemukan fakta bahwa banyak para peramu Coto yang percaya bahwa ramai ragam bumbu berfungsi sebagai penawar zat kolesterol yang terdapat dalam hati, babat, jantung, limpah dan tentu saja daging. Dari penuturan mereka juga, saya mendapatkan cerita bahwa Coto adalah ikhwal berkembangnya “soto” di daerah Jawa setelah diperkenalkan para pelaut Makassar yang singgah di pantai utara Jawa.

Klaim ini tentu saja masih prematur dan butuh studi mendalam untuk membuktikannya.

Salah satu yang bisa digunakan sebagai rujukan adalah Nusa Jawa: Silang Budaya yang ditulis oleh Dennys Lombard. Di dalam buku ini, Lombard menulis bahwa Coto pada dasarnya sama dengan Soto. Makanan ini merupakan salah satu kekayaan kuliner yang dibawa serta para perantau Cina yang datang pada abad ke-16. Awalnya, disebut “caudo”. Bagaimana penyebutan itu berevolusi hingga menjadi Coto? Jangan tanya saya.

Di Jakarta, tidak mudah menemukan warung atau resto yang menjual Coto yang enak. Selain dimasak secara serampangan, banyak Coto di Jakarta mengabaikan prinsip “Rampah Patang Pulo” yang tidak lain adalah nyawa kuliner ini.

Menurut saya, salah satu tempat Coto layak dikunjungi adalah RM. Daeng Memang yang terletak di Jalan Ampera Raya No.17Y, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tempat ini mulai buka tahun 1992 dan merupakan salah satu Coto terbaik di ibukota menurut lidah saya. Meski tempat itu kini seperti digencet kafe dan resto modern di kedua sisinya dengan atap yang legam karena asap.

 

KULINER #02: SOTO BETAWI

Di antara sekian banyak varian soto, jenis ini adalah yang paling bungsu. Membuktikan bahwa kota ini selalu buruk dalam urusan perut, namun merupakan tempat terbaik untuk belajar membenci diri sendiri.

Meskipun baru, catatan tentang Soto Betawi cukup terbatas. Dari Wikipedia, disebutkan bahwa penggunaan terma “Betawi” untuk jenis soto ini pertama kali dipopulerkan oleh Lie Boen Po. Seorang penjual soto di THR Lokasari atau Prinsen Park. Nama Soto Betawi mulai populer dan banyak digunakan luas setelah Lie Boen Po tutup usaha di tahun1991. Meskipun sebenarnya, sudah banyak penjual soto sejenis di seantero kota ilutif ini.

Dalam proses penyajiannya, Soto Betawi biasanya di sajikan ke dalam mangkuk dengan beberapa bahan tambahan seperti, bawang goreng, irisan tomat, irisan daun bawang dan daun seledri. Soto Betawi ini biasanya di hidangkan bersama nasi, sambal, acar, minyak samin, jeruk nipis dan emping.

Salah satu tempat yang menurut lidah saya menyajikan Soto Betawi yang nikmat adalah Warung Soto H. Maruf. Berdiri sejak 1940, sajian Soto Betawi di tempat ini layak diacungi jempol. Warung yang terletak di Komplek Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya No. 73, Cikini, Jakarta Pusat, memiliki paru goreng yang akan membuatmu percaya bahwa Jakarta hanya akan menghancurkan mimpi-mimpimu.(*)

 


Editor: Gratia Karundeng

 

Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *