Connect with us

REVIEW

Tomohon Coffee Truck: Okupasi Ruang Publik dengan Lokalitas

Published

on

12 Januari 2019


Oleh: Andre Barahamin


Tomohon Coffee Truck tak sekedar truk-kedai kopi. Ini adalah ruang kecil untuk menginterupsi kemonotonan ruang publik di Tomohon.

 

TIDAK ADA yang menarik perhatian saya di pusat kota Tomohon.

Lagipula, kota kecil ini sejak dahulu tampak seperti terminal yang lebih sering diacuhkan ketika bus-bus jurusan Manado-Tondano melintas. Diapit empat gunung; Lokon, Mahawu, Masarang dan Empung, cuaca lembut pegunungan menyapa kulit kepala yang jengah dengan kejamnya penat daerah pantai. Meski memang, Tomohon bagi banyak orang lebih sering tenggelam oleh klaim prematur tentang kemegahan Manado yang hanya berjarak sekitar 45 menit perjalanan.

Sepuluh tahun lalu, di pusat kota Tomohon hanya ada persimpangan yang ramai. Tidak lebih.

Dahulu, terdapat sebuah bangunan poliklinik yang terasosiasi dengan salah satu rumah sakit terbesar yang terletak tidak jauh. Kini beton tanpa nyawa itu lenyap. Sebagai gantinya, pemegang kuasa pemilik tanah yang kehabisan akal, cara dan daya imajinasi hanya menggantikannya dengan satu bangunan menjulang. Dengan tinggi yang merefleksikan kreasi setengah hati, upaya penuh keragu-raguan dan pucatnya wajah urban. Mereka menyebutnya Menara Alfa Omega.

Dibentuk menyerupai Eiffel Tower, namun tanpa keanggunan.

Lalu diberi nama vulgar yang terasosiasi dengan Kristen, agama mayoritas di kota ini. Yang bagi saya tampak seperti laku nirkreatif untuk menyuap Tuhan sembari menyelimuti kemegahan diri dengan omong kosong. Tiada bedanya dengan kemewahan gedung ibadah yang kini jadi tempat mendoakan para politisi korup kembali berjaya merebut kursi kekuasaan.

Meski memang harus diakui, ada ruang publik. Zona bersama yang minimal dari segi ukuran, fasilitas dan tentu saja aktivitas. Namun yang lebih dominan tampak adalah lalu lalang kendaraan bermotor dan lebih mirip sebagai penyumbang polusi dan kepongahan modernitas. Tomohon dengan pusat kota sebagai refleksinya, tampak sedang bergegas menjadi labirin urban layaknya kota-kota besar lain. Menumpuk besi beroda empat di jalan raya, manusia yang tergopoh-gopoh mengejar tengat waktu, kemuraman hari dan lusinan kebosanan lain.

Namun ketika malam tiba, saya tak mampu menahan diri untuk datang ke sana. Menuntaskan rasa penasaran dan melihat langsung gerak aktif serta inovasi yang sedang diretas. Di bawah kusamnya desain arsitektural Menara Alfa Omega, ada harapan kecil yang sedang merekah. Pelakunya, seorang anak muda Tomohon yang masih berumur 20 tahun, di bulan Agustus 2018 yang baru saja lewat.

Bur, mendesain mobil Kijang bak terbuka milik ayahnya untuk menjadi kedai kopi berjalan. Ia menamainya, Tomohon Coffee Truck.

Arabika Minahasa Koya di Tomohon Coffee Truck (Foto: Bryan Pandeirot)

Dahulu, mobil tersebut digunakan ayahnya untuk mengangkut daging potong ke pasar tradisional atau alamat yang sudah ditentukan para pemesan. Alih fungsi dan guna mobil tersebut, dilakukannya setelah memutuskan drop out dari bangku kuliah. Kini, meski masih tetap melibatkan diri membantu bisnis keluarga di pagi hari, Bur memutuskan untuk mengadu peruntungan sendiri. Ia secara reguler membuka kedai kopi setiap malam di areal parkiran yang terletak di dekat Menara Alfa Omega. Hal ini dilakukannya sejak 8 September 2018. Dua bulan sebelumnya, Bur melandasi pondasi diri dengan mengikuti workshop seduh manual.

Bur sendiri adalah nama pemberian kawan-kawan dekatnya semasa sekolah. Diambil dari bahasa Melayu Manado, burako. Kurang lebih berarti “tak peduli” atau “cuek” dalam bahasa Indonesia. Nama aslinya adalah Cavin Wondal. Lahir dan besar di Tomohon, membuat Bur sangat bangga menjadi orang Tombulu, satu dari sembilan sub-etnis Minahasa.

Oleh orangtuanya, selulus SMA, ia didaftarkan ke Universitas Katholik De La Salle, Manado. Tapi Bur tak betah. Hingga kemudian, mencoba mediatif dengan pihak keluarga lalu memutuskan pindah kuliah di Institut Teknologi Minaesa (ITM) Tomohon. Di tempat baru ini, ia hanya bertahan beberapa bulan sebelum benar-benar berhenti kuliah.

Kecintaannya pada kopi sudah dimulai sejak kecil. Jenis robusta adalah yang pertama kali ia cicip. Layaknya orang Minahasa, Robusta memang adalah bagian sejarah di wilayah ini. Bersanding dengan cengkeh dan padi. Para pedagang Portugis yang datang sebelum Belanda, adalah yang bertanggungjawab membawa tanaman ini sekaligus tonggak mula diperkenalkannya monokultur di tanah Toar-Lumimuut.

Arabika sendiri mulai berselancar di tenggorokannya secara reguler sejak tahun 2016. Ketimbang terpesona, Bur lebih cocok disebut penasaran dengan karakter rasa jenis kopi Arabika yang berbeda dengan Robusta. Meski saat itu, belum banyak kedai kopi di Tomohon yang menjual Arabika. Robusta masih jadi raja, bersanding erat dengan susu kental manis (condensed milk) produksi Unilever, satu dari sekian raksasa Food and Beverages. Unilever adalah salah satu aktor yang ikut bertanggungjawab di balik masifnya alih fungsi hutan di Indonesia menjadi perkebunan sawit.

Di truk-kedai kopinya, Bur menjual dua hingga tiga jenis Arabika; Aceh Gayo, Toraja Pulu-pulu dan Bali Kintamani. Digilir sesuai kehendak si penyeduh. Semua kopi ini dibeli dari Elmonts Coffee & Roastery, rumah sangrai kopi yang juga menjadi tempat di mana ia menimba ilmu soal seduh manual kopi Arabika. Dari beberapa jenis biji kopi Arabika yang disajikan kepada para pelanggan, Bur selalu menjual Minahasa Koya. Arabika lokal pertama di Sulawesi Utara yang mulai dibudidayakan petani di desa Koya, kabupaten Minahasa di tahun 2012.

Oase produksi lokal di tengah gempuran Robusta yang terlanjur mendidik lidah menjadi asing dengan rasa asam kopi (acidity).

Melalui Tomohon Coffee Truck, Bur juga sebisa mungkin melakukan edukasi dan berbagi pengetahuan. Walau ia menyadari bahwa pengetahuannya tentang kopi Arabika masih jauh dari lengkap. Itu mengapa, diskusi dengan pelanggan menjadi satu paket dengan gelas kopi yang disajikan. Anggap saja ramahnya pembicaraan adalah ganti manisnya gula yang tidak akan anda temui di truk-kedai kopi ini.

Mulai buka sekitar jam tujuh malam, Bur akan menutup kedainya ketika tengah malam Cinderela sudah lewat enam puluh menit. Jika ia terlambat buka atau tutup lebih cepat, itu disebabkan hujan sudah tak mau lagi berkompromi.

Maklum saja, para penikmat Arabika yang singgah di Tomohon Coffee Truck hanya dipayungi langit malam. Penerangan ala kadarnya datang dari lampu berwarna kuning dengan watt rendah. Daya listriknya menumpang dari sebuah portal di parkiran mobil. Bur menjadi pengguna bersama warung-warung kecil lain di sekitar menara. Sepuluh ribu rupiah per minggu wajib ia sisihkan sebagai kontribusi ganti rugi.

Untuk setiap gelas Arabika, pelanggan cukup menebus dengan 18.000 rupiah. Namun untuk Arabika Minahasa Koya, 25.000 rupiah adalah harga yang dipatok Tomohon Coffee Truck. Perbedaan harga ini disebabkan oleh masih langkanya produksi Arabika Minahasa Koya. Tahun 2018 ini, hasil total panen petani bahkan tak mencapai 1 ton. Sebagian besar biji kopi tersebut diolah dengan teknik cuci basah (full washed), sementara sebagian kecil lain dicoba dengan teknik jemur kering (natural process). Belum lagi menyoal tentang peliknya upaya pendampingan petani yang sedang dirintis.

Jejeran biji kopi arabika di Tomohon Coffee Truck (Foto: Bryan Pandeirot)

Bur sendiri memandang optimis masa depan biji kopi lokal Arabika Minahasa.

Pasar dan konsumen di Tomohon, atau Sulawesi Utara secara umum sejatinya cukup potensial. Walau pengetahuan mengenai kopi masih jauh panggang dari api. Butuh kerja keras dan konsistensi untuk membagi informasi, sekaligus mendidik budaya konsumen kopi untuk menghargai produk lokal. Di sisi yang lain, peningkatan kuantitas dan kualitas produksi juga adalah pekerjaan rumah yang tidak kalah ringan. Memastikan sejak awal penanaman hingga pengolahan pascapanen, sebelum biji kopi disangrai dan akhirnya berakhir di cangkir para pelanggan.

Itu mengapa, Tomohon Coffee Truck tak hanya sekedar menjadi truk-kedai kopi. Bagi Bur, ruang kecil yang digagasnya adalah cara untuk menginterupsi kemonotonan ruang publik di Tomohon. Semacam ruang sosial yang utamanya menyasar kaum muda. Di titik ini, Minahasa Koya menjadi salam pembuka sekaligus topik utama generasinya: angkatan milenial yang kehilangan akar, budaya dan sejarah. Meski terdengar utopis, Bur menginginkan Tomohon Coffee Truck dapat menjadi kacamata bagi generasinya untuk melihat tentang bagaimana lahan-lahan pertanian yang semakin terabaikan karena menjadi petani telah menjadi tabu dan bahkan mungkin aib. Mengenai evolusi Tomohon dengah anugerah tanah yang subur namun lebih memilih berorientasi menjadi kota jasa. Sekedar geisha yang ingin menyenangkan para tamu yang datang.

Lalu jika kabut apatisme sudah perlahan menguap, maka strategi selanjutnya adalah merumuskan solusi atau langkah praktis kecil yang dapat ditempuh. Sambil mungkin berharap, ada lebih banyak yang akan ikut risau dan berbagi keresahan. Sebelum memutuskan ikut sama-sama membangun piramida realisasi mimpi.

Tomohon Coffee Truck, mungkin ingin didesain menjadi garis awal. Menggagas harapan agar tren menenggak Arabika dapat bertransformasi menjadi picu untuk gelombang perubahan sosial yang lebih besar. Gelombang anak muda yang tak alergi dan justru bangga menjadi tuan di atas tanah sendiri. Yang tak sekedar adaptif terhadap perkembangan zaman, tapi juga memiliki kearifan yang diwariskan generasi terdahulu.

Bagi Bur, truk-kedai kopi sederhana miliknya dan Arabika Minahasa Koya adalah awal. Lembar permulaan dari optimisme dan perjalanan penuh tantangan yang membutuhkan konsistensi, kedisiplinan dan stamina. Kerja panjang yang mesti dimulai oleh anak muda seperti dirinya, ketika generasi yang lebih tua kadung remuk dihajar realitas.

Ia memang masih belum melihat ujungnya. Tapi satu hal yang jelas: ia pantang urung.

 


Editor: Gratia Karundeng

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *