CULTURAL
Toulour Waya: Sintesis Kebudayaan dengan Ekonomi Kreatif
Published
5 months agoon
5 Juni 2024
“Yah, so ini tu jalan yang torang ambe lantaran torang ada kemampuan di situ. Daripada torang tau satu hal, mar nda dilakukan, sama jo deng nyanda.”
Penulis: Gerard Beelt Tiwow
“SO MAKANG?” ucap Danny Wakulu, pria yang menjadi seniman Sanggar Toulour Waya bersama istrinya Meyne Solambela, setiap kali ada yang mengunjungi bengkel seni mereka yang berlokasi di Benteng Moraya, Tondano.
Memasuki bengkel seni yang berada di samping bangunan Tourist Information Center (TIC), Benteng Moraya, jejeran pakaian untuk tarian perang Minahasa “Kawasaran” terpampang memenuhi pelataran. Mural bertuliskan “Sei Ré’én Tuama” (siapa yang laki-laki ?), “Nyaku Wewene” (saya perempuan), “Minahasa Kinatouanku” (Minahasa tempat lahirku), “I Yayat U Santi” (acungkan pedang), “Tabéa” (salam), dan “Sigi Wangko” (hormat sebesar-besarnya), merayap di kolom-kolom besi penopang atap.
Di bagian dalam bengkel seni, ada galeri yang mereka rancang sedemikian rupa untuk memajang hasil karya tangan mereka sendiri. Etalase kaca menyimpan tengkorak-tengkorak yaki (Macaca nigra), taring babirusa (Babyrousa celebensis), taring babi hutan (Sus scrofa), kain-kain tenun dan lain sebagainya. Di dinding ruangan galeri yang berukuran dua kali lompatan orang dewasa itu, dipenuhi dengan porong atau topi kawasaran, serta miniatur kawasaran, maengket, burung manguni (Otus Manadensis), tengkorak-tengkorak anoa (Bubalus quarlesi), rusa, dan banteng, serta kerajinan lain terpajang di rak-rak.
Pelestarian Kebudayaan Melalui Karya
Pelestarian budaya adalah upaya untuk mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes, dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. Hal ini berangkat dari salah satu sifat budaya itu sendiri, yakni bersifat dinamis dan menyesuaikan dengan kondisi zaman, namun dengan mempertahankan nilai-nilai kekhasan dari adat dan tradisi yang lahir. Toulour Waya menerjemahkan pelestarian kebudayaan melalui pembuatan aksesoris, cinderamata, dan produksi pakaian Kawasaran.
“Yah, so ini tu jalan yang torang ambe lantaran torang ada kemampuan di situ. Daripada torang tau satu hal, mar nda dilakukan, sama jo deng nyanda,” ucap Meyne.
Toulour Waya sejatinya adalah sanggar seni tari Kawasaran, yang beranggotakan masyarakat di desa Liningaan dan Rerewokan, Tondano. Namun seiring berjalannya waktu, muncul ide kreatif dari Danny dan Meyne untuk juga mengembangkan kerajinan tangan tradisional.
“Torang berangkat dari latar belakang penari Kawasaran, jadi torang beking jo kerajinan yang berhubungan deng Kawasaran” lanjut Meyne.
Faktanya memang demikian, kerajinan tangan yang dibuat di bengkel seni mereka memiliki keterkaitan dengan tarian Kawasaran. Mulai dari porong (topi penari Kawasaran) yang dibuat dari gulungan rotan, dirangkai sedemikian rupa untuk menjadi bentuk topi, sebelum dipasangi bulu-bulu ekor ayam jantan, dan paruh burung taong (Rhyticeros cassidix).
Bagi kalangan penari Kawasaran, porong yang dipakai oleh penari di wilayah Tondano, memiliki keunikannya sendiri dan berbeda dengan desain porong di wilayah-wilayah lain. Bentuknya sekilas mirip dengan topi dari suku Indian di Amerika Serikat, mal rotan dan bulu-bulu ekor ayam ditata sedemikian rupa, sehingga bila diletakkan di kaki, dapat mencapai pinggang orang dewasa dan bulu-bulu ekor cenderung ditata menghadap samping dengan bentuk streamline.
Toulour Waya pun mempertahankan keunikan dari porong Kawasaran Tondano ini. Bahkan, diceritakan oleh Danny, di masa lampau, penari Kawasaran di Tondano menyelipkan pisau kecil di bagian tengah porong mereka.
Karay (pakaian) Kawasaran juga diolah dari bahan-bahan mentah. Bahan dasar pembuatan karay adalah kulit kayu. Kulit kayu yang mereka gunakan diproduksi sendiri oleh mereka yang diambil dari pohon tayapu (Trema orientalis) yang dianggap memiliki kualitas yang sangat baik. Namun akibat kelangkaan bahan dan padatnya pesanan, kulit kayu yang mereka olah, diambil dari produsen-produsen yang mengambil kulit kayu dari pohon spesies lain. Renda-renda yang berada di bagian dada, dan potongan kulit kayu yang dibuat sedemikian rupa menjadi bentuk kepala burung manguni, merupakan trademark atau kekhasan produk Toulour Waya yang juga dapat dengan mudah dikenali oleh kalangan penari Kawasaran.
Aksesoris lain seperti ika-ika atau wewingkol yang diproduksi, menyesuaikan dari keinginan dan preferensi pemesan. “Torang kalu ada yang suka ba pesan laeng le, torang beking. Selama torang mampu deng ada bahan” kata Danny.
Beberapa bulan silam, rotan yang berada di bengkel cukup banyak, sehingga rotan tersebut diolah menjadi gelang-gelang rotan dengan berbagai ukuran dan motif, serta pipa rokok yang khas olahan mereka.
Selain itu, untuk mengikuti kebutuhan pasar, mereka juga memproduksi cinderamata, baik melalui pesanan atau persediaan bengkel. Andalan dari Toulour Waya adalah miniatur Kawasaran yang disesuaikan dengan keinginan, seperti miniatur Kawasaran dengan tempat pena atau pensil, atau miniatur Kawasaran dengan variasi lampu untuk dipajang di pojok ruangan. Produk terbaru mereka adalah miniatur burung manguni, yang memiliki ukuran hampir sama dengan burung manguni asli.
Ukiran-ukiran kayu juga dapat diproduksi oleh tangan terampil mereka. Salah satu keahlian ukir mereka adalah ukiran untuk mapatu (gagang) santi atau pisau yang disesuaikan dengan keinginan dari pemesan. Kelung (perisai) untuk penari Kawasaran atau untuk ornamen ruangan juga dapat dibuat beserta ukiran-ukiran detail yang juga mengikuti keinginan pemesan. Untuk mengasah kemampuan mereka, Toulour Waya juga beberapa kali mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah atau instansi lainnya.
Komodifikasi
Dr. Ivan Kaunang dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, menggunakan istilah “komodifikasi” untuk mengidentifikasi interaksi antara kebudayaan dengan pariwisata. Menurutnya, komodifikasi merupakan gabungan dari kata komoditas dan modifikasi. Dalam konteks Toulour Waya, mereka melakukan komodifikasi kebudayaan Minahasa, dalam bentuk aksesoris, cinderamata, dan pakaian kawasaran yang ditujukan untuk pertunjukan. Sejumlah penyesuaian dalam produk-produk hasil karya mereka dilakukan untuk menarik minat pasar, dengan menggabungkan aspek tradisi. Melalui produksi tas kulit kayu, dan variasi khas Toulour Waya, membuat produk-produk mereka sangat mudah dikenal karena keunikannya.
Akan tetapi, modifikasi atas komoditas kebudayaan yang dilakukan tidak melupakan aspek-aspek fundamental yang melandasi ide kreatif mereka. Seperti mempertahankan pola dasar pakaian Kawasaran, aspek fungsional tas kulit kayu, dan lain sebagainya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sejatinya kebudayaan dan tradisi adalah komoditas pariwisata. Sehingga suatu aspek kebudayaan yang menjadi komoditas, akan mengalami sejumlah perubahan untuk menyesuaikan dengan keinginan inderawi pasar.
Salah satu contoh adalah penggunaan tengkorak hewan pada karay Kawasaran. Berangkat dari dokumentasi-dokumentasi era Kolonial Belanda, karay Kawasaran di Tondano hanya berbentuk lilitan kain tenun dan dua kain tenun yang menyilang dari bahu hingga pinggang. Seiring dengan berkembangnya zaman, karay Kawasaran pun juga berubah. Kawasaran tidak hanya sebagai tarian sakral, tetapi berkembang juga menjadi suatu tarian untuk keperluan pertunjukkan. Dengan adanya perkembangan itu, saat ini kita melihat bahwa karay Kawasaran yang dipakai sudah dipasangi dengan tengkorak-tengkorak hewan, dan berbagai ornamen lainnya. Akan tetapi, ada beberapa pandangan yang menyatakan bahwa ada alasan spiritual pribadi dari pemilik karay Kawasaran untuk menambahkan ornamen-ornamen pada karay Kawasaran miliknya.
Contoh lain adalah produksi tas kulit kayu mereka. Jelas saja pada zaman dahulu tas kulit kayu yang mengedepankan aspek praktis, akan berbeda dengan tas kulit kayu yang diproduksi yang mengedepankan aspek estetika. Hal ini pula yang menggarisbawahi bahwa sejatinya komodifikasi tidak menghilangkan aspek utama dari suatu bentuk kebudayaan, melainkan menggabungkan antara warisan tradisi leluhur dengan kemajuan teknologi, dan kepentingan ekonomi.
Mungkin akan ada yang berpendapat bahwa budaya sudah dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi sekuler-profan, namun menurut pendapat saya, sejatinya bahwa hal ini adalah bentuk pelestarian kebudayaan yang membawa berkat tersendiri bagi pelakunya, khususnya dalam ranah ekonomi.
Peduli Lingkungan
“Yah, torang apa jo tu bahan yang ada, itu tu torang beking,” tutur Danny yang diakrab disapa “Pang” karena jabatannya sebagai Panglima Pakasa’an Tondano di Organisasi Masyarakat Adat Makatana Minahasa.
“Rupa ini, cuma dari kuwang (sabut kelapa), uka (tempurung kelapa) deng bahan tiras dari baju Kawasaran,” lanjut Danny sambil menunjuk miniatur Kawasaran di rak.
“Daripada ini tiras cuma mo buang, kan sayang. Lebe bae torang kumpul vor beking sesuatu yang boleh mo tambah-tambah di sini” imbuhnya.
Memang benar bahwa dalam pembuatan baju Kawasaran, menyisakan bahan-bahan seperti potongan kain, kulit kayu, karpet yang masih dapat dipergunakan. Miniatur burung manguni juga terbuat dari bahan sabut kelapa dan miniatur Maengket dibuat dari kayu-kayu yang ditemukan di areal Benteng Moraya.
Pohon kelapa sedari dulu dianggap sebagai pohon ajaib. Akarnya dikenal sebagai bahan pengobatan yang mujarab, batangnya digunakan sebagai furnitur dan tiang rumah, daunnya dapat digunakan sebagai atap, dan buah kelapa juga bisa dikelola menjadi seribu satu hasil. Pokok pengambilan buah kelapa adalah daging, sementara tempurung, air, dan sabut adalah komoditas turunan hasil dari pengolahan buah kelapa. Sabut kelapa, selain memiliki potensi sebagai bahan baku dalam industri garmen dan tempurung kelapa sebagai bahan baku briket arang kelapa, juga memiliki potensi bahan baku untuk industri kerajinan tangan seperti yang dilakukan di Sanggar Toulour Waya.
Kain-kain sintetis yang berakhir di tempat pembuangan sampah, ditakutkan akan mencemari lingkungan, karena sifat bahan seperti polyester dan nilon membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai. Partikel-partikel halus dan pewarna sintetis dapat mencemari air tanah yang digunakan untuk konsumsi domestik. Dari data yang dikeluarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan, sampah kain menyumbang 2,5% dari total volume sampah nasional.
Target dan Pasar
Miniatur Kawasaran yang diproduksi di bengkel ini sudah mendunia. Menurut pengakuan Meyne, perempuan yang akrab disapa “Mams” ini, miniatur Kawasaran mereka sudah berada di beberapa negara, seperti Selandia Baru, di kampus Auckland University of Technology, dan Sekretariat Polynesian Panthers di Tonga.
“Baju Kawasaran yang torang beking le so sampe di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat,” ucapnya sambil terkikih.
Di bengkel ini ada sejumlah produk buatan tangan yang diproduksi oleh Danny dan Meyne, bersama teman-teman mereka di Sanggar Tolour Waya. Selain Miniatur Kawasaran, Maengket, dan manguni, mereka juga membuat pakaian Kawasaran lengkap. Mulai dari karay dan porong, beserta aksesoris-aksesoris yang disesuaikan dengan pesanan. Tidak hanya itu, ukiran-ukiran kayu, pipa rokok dari bambu dan rotan, serta wewingkol atau gelang rotan juga diproduksi di sini.
Pakaian Kawasaran yang mereka produksi sejatinya produce and request by order atau memproduksi sesuai permintaan pemesan, sehingga apabila tidak ada yang memesan, maka tidak ada karay Kawasaran yang diproduksi. Di Minahasa, hampir semua penari Kawasaran merangkai sendiri karay, porong, dan aksesoris lain yang hendak dipakai, namun ada beberapa kelompok juga yang mencari keseregaman kostum, dengan memesan langsung kepada mereka.
“Ada beberapa tumpukan atau grup tari yang khusus ba pesan lantaran dorang baru mo ba mulai, ato cuma mo tambah stok,” terang Danny.
Berbeda hal dengan aksesoris seperti kalung-kalung etnik, atau gelang-gelang rotan yang diproduksi secara massal untuk dipasarkan langsung kepada pengunjung galeri mereka. Miniatur burung manguni dan Kawasaran pun juga diproduksi massal, untuk mengantisipasi permintaan dalam jumlah yang banyak.
Salah satu strategi pemasaran yang dilakukan oleh Sanggar Toulour Waya adalah dengan memproduksi komoditas yang disesuaikan dengan segmen pasar. Ada kelompok yang memang sudah mengerti aksesoris yang diperjualbelikan, ada juga kelompok yang masih awam, yang hanya memerhatikan aspek estetika dari produk mereka.
“Torang katu sesuaikan yah, kalu vor orang-orang budaya, dorang so mangarti barang apa yang dorang mo ambe. Sementara kalu orang-orang yang awam, dorang cuma ambe apa yang dorang lia bagus,” kata Meyne.
Kehadiran Sanggar Tolour Waya memberi warna tersendiri dalam upaya pelestarian kebudayaan Minahasa. Melalui pendekatan usaha mikro, mikro, dan menengah (UMKM), kebudayaan Minahasa tidak lagi menjadi sesuatu hal yang dipandang sebagai relik masa lalu yang dipenuhi dengan mistisisme dan stigma-stigma yang menyertai. Aktivitas pelestarian kebudayaan tidak lagi hanya terbatas pada aspek intangible atau tidak dapat diukur seperti kegiatan pentas seni, dan lain sebagainya. Andil dari pelaku UMKM juga merupakan manifestasi sifat kebudayaan yang intangible menjadi tangible atau dapat diukur. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan