Connect with us

FEATURE

Tran dan Rusuk Babi

Published

on

4 Februari 2019


Oleh: Andre Barahamin


Riset-riset PKI dibumihanguskan dan warisan pengetahuan mereka terlarang. Marxisme dianggap sebagai wabah dan direduksi menjadi lelucon paling brutal ala Magnis Suseno.

 

MEDIO OKTOBER 2014. Saya masih menetap di Hue, Vietnam. Menyewa sebuah rumah kecil dengan dua kamar berukuran kecil. Dengan dapur yang agak luas. Di sinilah saya menyambut seorang kawan yang datang.

Ia berbaik hati membawakan dua buku yang ditulis oleh Tran Duc Thao. Dua buku yang sudah cukup lama saya cari. Sebagai ucapan terima kasih, saya meminta agar ia mau duduk dan mencoba rusuk babi bumbu Manado yang saya masak. Karena kedua buku yang ia antar sangat bernilai, maka menyajikan kuliner yang pengetahuannya saya dapatkan dari dapur masa kecil, mungkin adalah gestur terima kasih yang pas. Bumbu pedas yang menyengat ketika ditumis, dipadankan dengan kangkung dan bunga pepaya.

Ibu saya mengajarkan bahwa memasak adalah ibadah kepada Tuhan dan cara menghormati sesama manusia. Dan saya jelas sangat menghormati orang yang telah mau mewujudkan mimpi saya jadi nyata.

Dua buku tersebut ditulis di periode awal Tran mulai jadi etnolog. Catatan-catatan awalnya mengenai Vietnam. Banyak yang belum tahu siapa Tran di Indonesia. Padahal, di dekade 50-an dan 60-an, idola para hipster filsafat hari ini seperti Derrida dan Lyotard atau Althusser merujuk Tran.

Informasi soal siapa itu Tran Duc Thao memang sangat jarang. Salah dua yang menjadi rujukan saya adalah tulisan Silvia Federici yang berjudul Viet Cong Philosophy: Tran Duc Thao dan karya Shawn McHale yang diterbitkan Journal of Asian Studies pada Februari 2005 yang berjudul “Vietnamese Marxism, Dissent and the Politics of Postcolonial Memory: 1946-1993”.

Dari dua sumber tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa Tran lahir di Ha Noi, ibukota Vietnam yang terletak di bagian utara pada tahun 1917.

Dari Federici, saya mengetahui bahwa Tran dahulu sempat menimba ilmu di Ecole Normale Superieure sekitar tahun 1936. Tran mendapatkan beasiswa setelah menamatkan sarjana mudanya di Vietnam yang saat itu masih menjadi koloni Prancis. Masa ia bersekolah inilah yang membuka jalan perjumpaannya dengan Merleau-Ponty yang kemudian menjadi awal ketertarikan Tran dengan fenomenologi. Di tahun 1951, Tran menerbitkan karya utamanya yang berjudul Phenomenologie et Materialisme Dialectique. Karya Tran ini hingga kini masih dipandang sebagai salah satu kritik terbaik atas fenomenologi Husserlian.

Semasa di Prancis, Tran juga terlibat aktif dalam kegiatan politik anti-kolonialisme. Aktivitas ini membuatnya harus mendekam di penjara selama tiga bulan di tahun 1945 karena dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negara. Ia juga sempat bekerja dengan Jean-Paul Sartre dan Merleu-Ponty sebagai salah seorang kontributor jurnal Le Temps Modernes, meski Tran tidak bersepakat dengan tendensi borjuis kecil yang ada dan bersemayam di dalam paham eksistensialisme.

Tapi bukan masa-masa ia di Prancis yang menarik buat saya. Sebaliknya, periode ketika Tran pulang dan membantu Partai Komunis Vietnam (PKV). Padahal di awal dekade 50an, bukunya tentang “Dialektika Materialisme dan Fenomenologi” baru saja terbit. Sambutannya juga luar biasa. Jika bertahan di negeri para pencium ini, karir Tran sebagai intelektual dunia sudah jelas terang benderang.

Ia justru memilih pulang di tahun 1951.

Tran yang penuh semangat melihat Vietnam baru, menjalani program rektifikasi yang diwajibkan oleh PKV.

Semasa mengikuti rektifikasi, ia menanggalkan cara berpakaian ala Barat dan mendandani diri seperti layaknya petani kebanyakan. Tran gemar sekali memakai caping dan menganggap dirinya perlu banyak belajar untuk mengejar ketertinggalan. Masa-masa di Paris dalam pandangan Tran tidak berarti apapun jika ia tidak meresapi revolusi yang sedang berlangsung di negerinya. Itu mengapa ia bahkan rela untuk turun basis dan menghabiskan waktu hidup dalam keterbatasan ketika diperintahkan PKV untuk menjalani masa rektifikasi di belantara sungai Lo.

Sungai Lo adalah salah satu sungai utama Vietnam di samping Mekong. Mengaliri tiga provinsi; Ha Giang, Tuyen Quang dan Phu Tho. Tran memiliki jejak yang dapat dilacak di Ha Giang, satu dari beberapa provinsi yang berbatas darat dengan Cina. Di sini, Tran terlibat dalam upaya pembangunan infrastruktur partai dan pengolahan teknologi pertanian yang hancur berantakan pascaperang pembebasan nasional yang baru saja selesai. Filsuf penuh semangat ini menghabiskan waktunya di daerah sekitar pegunungan Mo Neo yang dingin dan disesaki nyamuk. Tapi ia tak urung meski harus tidur tanpa kelambu seperti kebanyakan petani miskin di sana.

Namun Ha Giang juga secara alami meninggalkan kesan mendalam bagi Tran. Di kemudian hari, ketertarikannya terhadap biologi, terutama flora dan fauna, secara tidak langsung dipengaruhi oleh masa-masa rektifikasi yang dijalaninya di sini. Hutan sub tropis di Ha Giang menjadi tempat tinggal untuk harimau, merak jantan, trenggiling dan burung pegar. Di sini juga terdapat sekitar 1.000 lebih jenis tumbuhan herbal yang biasanya digunakan masyarakat sekitar sebagai bahan obat atau campuran rempah ketika memasak.

Daerah ini memang memiliki rekam historis yang penting bagi Vietnam. Di Dreams of the Hmong Kingdom: The Quest for Legitimation in French Indochina, 1850-1960, Mai Na M. Lee menulis bahwa wajah Ha Giang di masa lalu adalah cerita soal pemberontakan dan sikap keras kepala untuk menolak tunduk.

Prancis menduduki wilayah ini pada tahun 1886, mendirikan garnisun militer mereka di bagian timur sungai Lô dan yang kemudian menjadi salah satu dari empat perusahaan militer besar di Indocina Prancis di Vietnam Utara pada tahun 1905. Di tahun 1901, suku Dao yang merupakan masyarakat tribal Vietnam memberontak melawan pemerintahan kolonial Prancis. Pemberontakan ini dipimpin oleh Trieu Tien Kien dan Trieu Tai Loc. Tien Kien tewas terbunuh dalam perang.

Namun pada tahun 1913, Tai Loc kembali mengorganisir pemberontakan lain dengan bantuan Trieu Tien Tien, anggota klannya yang lain. Kali ini, Prancis agak kerepotan dan perlawanan yang berlangsung selama dua tahun. Mereka mengusung slogan: “tidak untuk kerja rodi, tidak untuk pajak bagi Prancis, usir Prancis, dan kemerdekaan untuk Dao”.

Peristiwa ini dikenal sebagai “Pemberontakan Kerudung Putih”. Sebabnya, para pemberontak saat itu sering membawa bendera putih yang diukir dengan empat ideogram Quoc Bach Ky yang secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai “Bendera Putih Tanah Air”. Pemberontakan ini menyebar hingga ke Tuan Quang, Lao Cai dan Yen Bai. Pada tahun 1915, Perancis dengan kejam menekan pemberontakan, mendeportasi banyak orang Vietnam dan menghukum mati dengan menggantung setidaknya 67 orang yang dianggap sebagai tokoh utama pemberontakan.

Di tahun 1900-an, Prancis berupaya meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan dengan memberikan dukungan kepada etnis Hmong. Vuong Chinh Duc yang merupakan pemimpin klan dari suku Hmong diakui sebagai raja dan diberikan kekuasaan di daerah-daerah yang berbatasan dengan Cina. Sebagai timbal balik, Chinh Duc memberikan dukungan aktif untuk meredam pemberontakan dari suku-suku lain yang berupaya mengusir Prancis dari wilayah tersebut.

Namun aliansi ini tak bertahan lama. Chinh Duc mangkat di tahun 1944.

Vuong Chu Sen yang menggantikan ayahnya, Chinh Duc, justru memberikan dukungannya kepada Ho Chi Minh di tahun 1944. Perubahan haluan ini tidak lepas dari kenyataan saat itu bahwa kekuatan PKV telah berkembang dengan signifikan dan kekuasaan Prancis sedang berada di senjakalanya. Pilihan ini terbukti tepat karena PKV kemudian berhasil mengusir Prancis dan merebut kemerdekaan Vietnam. Masa transisi menjelang akhir kekuasaan Prancis dan periode awal kemerdekaan menjadikan wilayah perbatasan di bagian utara memainkan peranan penting. Ha Giang dan provinsi-provinsi di perbatasan bertransformasi menjadi basis utama PKV dan menjadi satu di antara sedikit wilayah di mana pondasi sosialisme Vietnam dibangun.

Inilah daerah di mana pertama kalinya Tran, sepulang merantau dari Prancis, menguji diri dan menebalkan semangatnya setelah meninggalkan kemewahan sebagai bakal filsuf level premium. Di sini, ia belajar dan menyaksikan bagaimana keterbatasan teknologi dan pengetahuan agrikultur dan kondisi morat marit pascaperang pembebasan nasional menjadi tantangan serius yang mesti segera dicarikan solusinya.

Lima tahun kemudian, ketika universitas pertama dibangun oleh PKV, Tran diberikan tanggung jawab sebagai Dekan Fakultas Sejarah.

Gedung perkuliahan untuk Fakultas Sejarah saat itu menggunakan salah satu bangunan Van Mieu di Hanoi. Van Mieu secara kasar dapat diterjemahkan sebagai kuil literatur. Dibangun pada 1070 dan terletak di bagian selatan istana Thang Long. Desainnya mirip dengan kuil Qufu yang terletak di Shandong, di bagian pesisir Cina. Fakta ini tidak mengagetkan karena Van Mieu memang pada awalnya didedikasikan sebagai penghormatan dan upaya melestarikan ajaran Konfusius.

Namun kisah hidup Tran tak berjalan mulus sesuai harapan. Tak lama mengemban amanah sebagai Dekan, Tran kemudian mesti bersitegang dengan para koleganya yang sebagian besar merupakan pemimpin utama PKV. Perseteruan ini kemudian berujung pada makin meningkatnya tekanan terhadap Tran dan berbagai intervensi yang dilakukan untuk membatasi pengaruh Tran. PKV khawatir bahwa Tran akan menjadi ancaman serius jika ia mendapatkan dukungan dari anak-anak muda.

Intelektual bengal ini kemudian dianggap sebagai musuh dalam selimut bagi PKV. Menurut McHale, penyebabnya tidak lain karena Tran adalah orang yang keras kepala dan gemar melancarkan kritik.

Ketika di akhir 1956, reforma agraria yang didorong PKV di bagian utara dan timur laut negeri itu mengakibatkan banyak petani tewas, Tran adalah satu-satunya orang di lingkaran elit Partai yang berdiri tegak dan menyatakan bahwa PKV melakukan kesalahan. Ia juga menuntut partai untuk mengurangi sentralisasi dan memberikan ruang demokrasi yang lebih luas. Tran mengambil contoh komune Paris yang merupakan model asosiasi politik yang ideal bagi kaum Marxis. Ia juga melancarkan kritik terhadap model interventif yang dilancarkan PKV terhadap integrasi komunitas-komunitas tribal yang menghuni dataran tinggi di bagian utara Vietnam.

Sikap-sikap itu yang membuat penggemar teh herbal ini kemudian diasingkan secara perlahan dan diam-diam oleh lingkaran elit PKV. Tidak ada yang berani berhadapan dengan Tran secara langsung. Tran lalu bekerja dalam sebuah penerbitan sebagai tukang alih bahasa. Ia menerjemahkan banyak karya filsafat -terutama karya Marx dan Engels- ke dalam bahasa Vietnam.

Terjemahan Manifesto Komunis dalam bahasa Vietnam adalah salah satu buah tangannya.

Meski begitu, ia tetap rajin menulis dan menghabiskan tiga puluh tahun untuk mempelajari negerinya tanpa dukungan pendanaan dari Partai. Mengesampingkan fakta bahwa Tran sebenarnya hidup dalam taraf kemiskinan yang brutal, terutama di periode invasi Amerika Serikat dilancarkan.

Perbedaan posisi analisis pada akhirnya memuncak dengan kekalahan di pihak Tran. Di akhir tahun 1958, Tran resmi mundur dari posisinya sebagai Dekan Fakultas Sejarah. Sikap itu terpaksa harus ia ambil setelah mendapatkan tekanan hingga harus melengserkan diri dari universitas. Tran juga secara sengaja diekslusi dari kegiatan akademik apapun yang ada di Vietnam. Intelektual lain enggan menjalin hubungan karena tidak ingin terkena imbas diasosiasikan sebagai penentang kebijakan partai.

Tapi Tran tidak menyerah. Ia menjadi pengelana yang secara diam-diam terus menulis. Di tahun 1973, di Paris, Prancis, atas bantuan kawan-kawannya Tran menerbitkan Recherches sur l’origine du langage et de la conscience. Buku ini adalah kombinasi mematikan psikologi dan materialisme biologis. Menggunakan Marxisme, Tran melacak soal subjektifitas dan kesadaran seseorang serta implikasinya terhadap bahasa sebagai salah satu produk kebudayaan.

Dalam buku tersebut, Tran menyajikan model materialisnya sendiri untuk peran tanda dan sinyal (semiotik) dalam kemunculan homo sapiens dari tahap primata. Model ini berupaya mengintegrasikan teori psikologi perkembangan anak saat ini dengan temuan antropologi pada hubungan antara alat, aktivitas kerja, hubungan sosial, bahasa, dan tujuan objektif kesadaran diri, sehingga menghasilkan apa yang ia sebut “semiotika kehidupan nyata”.

Manfaat tambahan dari upaya tersebut adalah Tran telah memperkenalkan kepada pembaca berbahasa Inggris dengan tradisi materialis dialektik yang dipelopori oleh antropolog Uni Soviet, Spirkin yang menulis The Origins of Man dan V. P. Iakimov dengan karyanya The Origin of Consciousness.

Karya Tran cukup berbeda dari antropologi arus utama. Dalam bukunya, pendekatan teoretisnya memiliki kesegaran yang layak dijadikan bahan studi lebih lanjut. Terutama fakta bahwa karya Tran adalah penggabungan dari kemampuan untuk menguasai psiko-linguistik ilmiah dan antropologi dengan karakteristik analisis fenomenologis.

Bab pertama buku Tran sangat berhutang budi pada analisis antropologis Spirkin tentang “indikasi gestural”. Yaitu tindakan menunjuk ke suatu objek, yang menurut Spirkin, merupakan momen awal yang sangat penting yang memungkinkan pra-hominid untuk mengembangkan perkembangan tanda-tanda linguistik. Dari sana, Tran memberikan analisis antropologis ilmiah tentang asal-usul tanda-tanda pra-linguistik primitif. Mulai dari gerakan indikatif, hingga pengembangan pengenalan diri dan referensi diri dalam proses interaksi timbal balik dan pengakuan terhadap dengan orang lain.

Fase berikutnya adalah tindakan “representasi echo”, yang merupakan upaya original Tran secara antropologis untuk menerapkan teori kesadaran diri Marxis pada konteks konkret dari aktivitas dan interaksi tribal sehari-hari pra-hominid. Dia kemudian menghipotesiskan tahap perkembangan lebih lanjut yang mengarah ke “kilasan kesadaran” yang berbeda secara kualitatif, yang disebutnya kesadaran sporadis, kesadaran individu dan kesadaran kolektif, dan yang merupakan dasar praksis untuk idealitas kesadaran.

Atau dengan sederhana dapat dikatakan bahwa buku ini memberikan unsur-unsur jawaban kreatif untuk teka-teki lama materialis-idealis mengenai asal-usul kesadaran. Jika kesadaran manusia mengandaikan representasi, dan jika kesadaran ini muncul pertama dengan produksi menggunakan alat, dan jika produksi alat itu sendiri mendahului representasi -yaitu, sebuah gambar di benak produsen tentang apa yang akan dihasilkan- maka kondisi untuk asal-usul kesadaran manusia sudah mengandaikan bentuk kesadaran yang seharusnya mereka jelaskan.

Tran memecah lingkaran ini dengan mengajukan pertanyaan dengan cara lain, seturut dengan catatan sejarah materialis: dengan menanyakan apakah representasi, sebagai prasyarat esensial dari kesadaran, ia sendiri memiliki asal-usulnya dalam bentuk-bentuk yang lebih mendasar dari kesadaran pra-representasi; dengan mengusulkan bahwa yang terakhir ada sebelum bentuk produksi manusia sepenuhnya, dan sebelum penggunaan alat. Tawaran-tawaran yang diajukan Tran inilah yang penting posisinya karena mampumemicu pemikiran untuk membuka jalan baru untuk investigasi kesadaran antropologis.

Buku ini melengkapi Phénoménologie et matérialisme dialectique yang terbit 22 tahun sebelumnya. Dua magnum opus yang mesti ditukar Tran dengan makin memburuknya kondisi kesehatan. Namun, isolasi yang dilakukan oleh para pembencinya di internal PKV membuatnya kesulitan untuk mendapatkan akses untuk perawatan.

Kondisi hidup Tran mulai agak membaik ketika ia kemudian mendapatkan pengakuan dari pemerintah Vietnam pada tahun 1980-an. Pada masa itu ia didorong oleh pemerintah untuk menerbitkan buku yang mengkritik Marxisme Althusser.

Ia kembali ke Paris di tahun 1983 untuk berobat. Dalam kondisi miskin, ia rajin mengikuti kuliah-kuliah umum yang diisi para kolega-koleganya, filsuf-filsuf yang namanya mentereng hingga kini. Semisal Jean Paul-Sartre yang yang ikut menyumbang membiayai hidup Tran selama di Paris. Selama di kota ini, Tran tinggal dengan kondisi miris di sebuah apartemen kecil yang terletak tak jauh dari Kedutaaan Besar Vietnam.

Ia meninggal sepuluh tahun kemudian, pada 24 April di Paris. Setelah terpaksa diinapkan sejak sehari sebelumnya karena kondisi kesehatannya yang makin buruk. Jenazahnya kemudian dikremasi di Père Lachaise, salah satu kompleks pemakaman terbesar yang berada di ibukota negeri asal Zinedine Zidane.

Dua buku yang saya sebutkan di atas adalah dua otokritik Tran terhadap PKV yang dipublikasikan secara terpisah di Nhan Dan, koran resmi PKV. Dua tulisan tersebut muncul setelah ia mundur dari jabatannya sebagai Dekan dan menghabiskan waktu berkelana di kampung-kampung dan menulis catatan etnografi yang mengagumkan. Dua otokritik Tran menjadi penting bagi saya, karena dua buku inilah yang menjadi menegaskan posisi intelektual lelaki pengayuh sepeda ini sebagai etnolog Marxis terkemuka di Asia Tenggara. Keduanya tidak pernah dirilis dalam bentuk resmi dan hanya tampil sebagai penjelasan Tran atas kritiknya.

Saya pertama kali mendengar tentang dua naskah ini sekitar tahun 2013. Saat itu, salah seorang kawan menggunakan Tran sebagai rujukan bacaan dalam presentasinya di sebuah serial diskusi bulanan yang diadakan tempat kami magang sebagai peneliti ingusan.

Ia memaparkan mengenai proposal pembangunan industri agrikultural di Vietnam, di awal dekade 1990-an. Reformasi pertanian yang signifikan menolong Vietnam ketika Asia Tenggara dihantam krisis ekonomi menjelang dekade itu berakhir. Catatan-catatan lapangan Tran mengenai kondisi pedesaan di negeri itu menjadi sumber material bagi lingkaran pimpinan PKV untuk merumuskan solusi menghadapi rangsekan kapitalisme. Awal dekade itu adalah masa di mana keran investasi sudah mulai masuk. Perusahaan-perusahaan bir masuk dan mengkapling kota-kota besar, industri garmen mulai membangun pabrik-pabrik raksasa mereka di daerah selatan, angka urbanisasi yang melonjak tajam dan tingginya jumlah pencari kerja, raksasa-raksasa perikanan mulai menancapkan kuku di pelabuhan-pelabuhan seiring tersingkirnya nelayan tradisional.

Itulah masa di mana Tran menjadi pijakan yang solid.

Kerja tiga dekade yang ia lakukan dalam senyap menjadi salah satu pondasi yang mengantarkan Vietnam selamat ketika Thailand dihajar babak belur dan krisis di Indonesia bermuara pada mundurnya diktator paling berdarah pasca-Perang Dingin. Dua otokritiknya di masa lalu, digali kembali oleh generasi kontemporer yang betul-betul menyadari bahwa pembacaan yang tepat atas kondisi material dapat menolong sebuah bangsa.

Di Indonesia, hal yang bertolak belakang terjadi.

Riset-riset PKI dibumihanguskan dan seluruh warisan pengetahuan mereka menjadi terlarang. Marxisme dianggap sebagai wabah. Sehingga ketika ponsel pintar semakin murah, masih banyak orang Indonesia yang percaya bahwa bumi itu datar. Di kampus-kampus terkemuka, Marxisme direduksi menjadi lelucon paling brutal ala Magnis Suseno.

Itu mengapa, ketimbang menggerutu, saya memilih menyajikan rusuk babi pedas kepada kawan yang membawakan dua buku Tran. Rusuk babi sebagai perayaan merekahnya pengetahuan. Dengan bawang merah, bawang putih, lada, cengkeh, serai, jahe, bubuk merica, cabai, dan sedikit gula merah. Itu setelah rusuk babi dipanggang setengah matang di atas api bernyala sedang. Sementara tumis kangkungnya, ditumis biasa dengan hanya menggunakan rajangan bawang putih dan sedikit jahe. Teknik memasak yang saya pelajari dari ibu saat beranjak remaja.

Semua itu saya lakukan dengan riang gembira agar ingatan selalu terjaga dan tetap mawas diri. Bahwa mempelajari sejarah dan menghindari cara berpikir penuh prasangka buruk terhadap Marxisme bukan laku yang layak ditiru.(*)

 


Editor: Gratia Karundeng

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *