Connect with us

REVIEW

Tujuh +1 Alasan Mengapa #PakaiKain

Published

on

18 Maret 2019


Oleh: Nurdiyansah Dalidjo
Penulis adalah peneliti lintas isu dan salah satu inisiator Kain Kita.


 

BELAKANGAN SAYA SEDANG gencar-gencarnya memamerkan potret diri dan teman-teman mengenakan kain tradisi. Juga membagikan video tutorial mengenai bagaimana cara mengenakan kain -tanpa harus dijahit- melalui berbagai media kampanye, termasuk media sosial. Banyak teman merespon secara positif. Sebagian mengapresiasi dan sebagian lain bertanya-tanya.

Tak sedikit yang memuji dengan mungkin mengernyitkan dahi. Ada apa dengan kain? Anak muda pakai kain di kota? Mengapa penting pakai kain?

Kecintaan saya pada kain sudah dipupuk cukup lama. Saya tak begitu ingat kapan persisnya. Tapi saya ingat momen ketika ibu memberikan oleh-oleh sehelai kain tenun dari Kanekes (Baduy), Banten sekitar hampir sepuluh tahun lalu. Saat itu, saya begitu kagum. Kemudian, beberapa tahun setelahnya, saya bekerja selama tiga tahun di Miyara Sumatera Foundation . Ini adalah  organisasi yang didirikan Irma Hutabarat untuk pelestarian alam dan budaya Sumatera. Bukan kebetulan kalau salah satu program budaya yang saya koordinatori, terkait dengan kain, baik itu riset dan publikasi maupun kampanye.

Sejak itu, relasi saya dengan kain kian menguat.

Kecintaan pada kain dan ketertarikan pada studi tentang kain (textile studies) terus tumbuh. Berlanjut bahkan ketika saya tak lagi bekerja di organisasi kebudayaan itu. Saya beberapa kali dipercaya Museum Tekstil Jakarta untuk terlibat dalam kegiatan riset dan publikasi serta seringkali memandu diskusi-diskusi seputar kain.

Di awal tahun 2018, pertemanan saya dengan Cassandra Grant semakin intens. Bersama Cass -sapaan akrab Cassandra, kami menginisiasi lahirnya Kain Kita (Kain by Indonesia). Ini merupakan gerakan kolektif dan independen yang bekerja untuk upaya-upaya terhadap pendokumentasian cerita-cerita lisan (storytelling) tentang kain tradisional maupun kain adat di Indonesia. Saya dan Cass punya mimpi yang sama: bahwa pengumpulan data dan informasi kebudayaan adalah hal yang penting. Kami memulainya dengan satu langkah yang kecil.

Tentu saja, saya bukan kolektor karena saya tak punya ambisi untuk mengoleksi sebanyak mungkin kain. Saya juga bukan pegiat fesyen. Namun saya ingin berbagi pandangan pribadi tentang kain dan mengapa merasa penting untuk mempromosikan anak muda pakai kain.

 

1. Estetika

Buat saya, ini hal paling sederhana untuk saya utarakan. Kain tradisi, baik tenun, batik, jumputan/pelangi, kulit kayu, songket, dan lain-lain, merepresentasikan tidak hanya kecakapan terkait material dan teknik, melainkan juga ekspresi seni personal (para pembuat kain) dan kolektif (kelompok perempuan atau perempuan adat sebagai seniman). Ya, kain melambangkan keindahan. Warna-warni serta corak pada kain memberikan banyak inspirasi dan kekaguman. Setiap motif punya cerita. Meski tak selalu makna itu dapat diutarakan, namun sebagai sesuatu yang dibuat dengan tangan, kain sebagai produk seni maupun kerajinan, mempunyai nilai estetis yang istimewa.

 

2. Keberlangsungan seni tradisi

Kain tradisi adalah bagian dari kesenian tradisional yang telah bertahan selama berabad-abad. Sejarah kain merupakan sejarah peradaban manusia. Sebagai seni, kain punya sifat yang dinamis dan terus berkembang. Di tengah modernitas dan kemajuan industri sandang (pakaian), kain-kain tradisi masih bertahan. Ada banyak kain yang mengalami penyesuaian dari situasi-situasi kontemporer, namun tak sedikit pula yang akhirnya berujung pada kepunahan. Saya tak ingin mengglorifikasi kesedihan soal itu sebab mungkin menjadi hal yang wajar ketika sesuatu kehilangan konteks, maka ia tak lagi punya makna atau alasan untuk tetap ada. Bagi saya, terus berupaya menjadikan kain tradisi sebagai keseharian, adalah upaya mengkontekstualisasikan tradisi kain untuk terus ada dan berkelanjutan. Sebab, sebagai bagian dari kebudayaan, kain tak sekadar perlu dilestarikan, tapi juga dimajukan.

Seorang penenun sedang menenun kain Toraja di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. (Foto: Nurdiyansah Dalidjo)

 

3. Subjek kajian budaya

Ya, alasan ketiga ini adalah soal peminatan saja. Saya tertarik dengan studi kebudayaan (cultural studies). Saya menemukan ada banyak hal terkait kebudayaan yang terekam pada kain. Di Indonesia, tradisi kain tentu tak terlepas dari pengaruh-pengaruh masyarakat atau bangsa lain di dunia, baik itu keragaman teknik maupun motif. Seperti halnya songket (kain dengan benang emas atau perak) yang merekam perpaduan budaya Melayu dan Tionghoa, begitu pula dengan kekayaan motif batik di kawasan pesisir yang mewujudkan karakter dan percampuran masyarakat. Lebih jauh lagi, kain juga memiliki variasi motif yang serupa dengan kebudayaan Dongson (Era Perunggu) di Indocina ribuan tahun Sebelum Masehi. Bagi komunitas adat, kain adalah material penting dalam seluruh ritual/upacara terkait siklus kehidupan. Kain merupakan komoditi dan memainkan peran penting dalam banyak hal. Bagi saya, kain seolah menjelma layaknya “kitab” serta subjek yang hidup di mana ia dapat mengutarakan kisah-kisah melampaui zaman.

 

4. Pemberdayaan dan penguatan ekonomi perempuan

Pada umumnya, kain dibuat (ditenun) oleh perempuan. Sebagai suatu komoditi, kain memegang peran dalam urusan perdagangan. Tentu bukanlah hal yang baru untuk kita tahu bahwa jual-beli kain, adalah hal yang begitu wajar dan telah terjadi sejak dulu. Aktivitas itu terhubung langsung dengan kondisi ekonomi perempuan dan rumah tangganya. Di banyak tempat, seperti Pulau Sumba, mama-mama (kelompok perempuan) banyak memanfaatkan uang dari hasil penjualan kain yang mereka buat untuk membiayai sekolah anak. Begitu pula di Jawa di mana usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) batik, telah terbukti mampu menghidupi banyak perempuan dan keluarga secara ekonomi. Kita tahu soal jual-beli kain memang masih menghadapi banyak tantangan, termasuk aspek etika (perdagangan yang adil/fair trade). Itulah sebabnya mengenakan kain yang dibeli secara langsung dari para pembuat kain atau gerai yang kita ketahui prosesnya, menjadi amat krusial untuk membuat kita menjadi pembeli yang berkesadaran terhadap etika. Bahwa membeli dan mengenakan kain yang didapat dengan cara yang baik, adalah dukungan bagi pemberdayaan dan penguatan ekonomi perempuan.

 

Aleta Baun (Foto: AMAN)

5. Resistensi perjuangan perempuan

Cerita tentang kain — di banyak tempat di Indonesia — adalah cerita tentang resistensi perjuangan gerakan perempuan. Kain membuat saya terkenang tokoh-tokoh perempuan pejuang. Itulah yang sekaligus juga merawat semangat resistensi saya. Di Molo, NTT, saya akan selalu ingat perjuangan Mama Aleta Baun melawan tambang di wilayah adatnya di Gunung Mutis pada pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an . Ia tak hanya mengorganisir masyarakat adat untuk berdemo, tetapi melibatkan para perempuan adat untuk melawan tambang lewat aktivitas menenun. Ia dan masyarakat adat di sana menang dan berhasil mengusir perusahaan tambang. Kain juga menegaskan ikatan masyarakat adat terhadap Sang Pencipta, leluhur, wilayah adat, maupun kebudayaan dan kelangsungan hidup. Hal yang sama kini juga masih dilakukan oleh para perempuan adat di Rendu, Nagekeo, NTT. Aksi masyarakat menolak pembangunan Waduk Lambo telah berujung pada praktik intimidasi dan kekerasan. Ketika banyak lelaki ditangkap dan tokoh-tokoh adat dimanipulasi, adalah perempuan yang masih bertahan di garis depan. Mereka telah membangun pos di lokasi proyek sebagai bentuk protes damai (tanpa kekerasan) di mana mereka menganyam dan menenun menghadapi aparat bersenjata.

 

6. Pengakuan hak perempuan adat

Sayangnya, hak masyarakat adat yang sesungguhnya telah disebut secara jelas oleh konstitusi kita (Pasal 18B ayat (2) UUD 1945), hingga kini pun belum sepenuhnya diakui oleh negara. Saat ini, Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat masih belum juga disahkan. Walau Indonesia telah memiliki kebijakan khusus atau Undang-undang (UU) terkait hak asasi manusia (HAM) dan hak perempuan, tapi belum mampu mewadahi konsep mengenai “hak kolektif” yang ada di masyarakat adat. Belum lagi menyoal mengenai “hak perempuan adat” di mana “hak” yang dibicarakan itu tak melihat perempuan sebagai individu, tetapi sebagai kelompok (masyarakat adat). Hak perempuan adat itu terkait dengan pengetahuan kolektif perempuan adat, wilayah kelola kolektif perempuan adat, serta otoritas diri dan peran strategis perempuan adat di dalam komunitasnya. Salah satu hal yang merekam hak perempuan adat itu, adalah kain. Kecakapan perempuan adat dalam menenun adalah bagian dari pengetahuan, material kain yang diperoleh dari kebun kapas atau kebun pewarna alam menegaskan wilayah kelola perempuan adat, dan kain sebagai material dalam upacara adat merupakan juga perwujudan dari otoritas perempuan adat secara sosial dan spiritual.

 

7. Wadah alternatif gerakan (kepedulian) anak muda

Terakhir, adalah alasan yang kemudian membuat saya dan teman-teman lain di Kain Kita untuk bergerak. Ya, karena kain, saya dan banyak kawan muda lainnya kemudian mengorganisir diri. Kami memulai langkah yang kecil untuk suatu mimpi. Mimpi terhadap keberlangsungan tradisi kain dan  -yang lebih penting lagi-  kondisi yang lebih baik bagi perempuan sebagai penenun (pembuat kain). Termasuk di dalamnya adalah pengakuan hak perempuan adat maupun penguatan kondisi ekonomi perempuan. Kain adalah ruang dan peluang. Kami mengenakan kain sebagai media untuk bercerita tentang banyak hal sekaligus mengutarakan alasan-alasan yang telah saya tulis di atas. Dengan memakai kain, saya memulai interaksi dan obrolan dengan orang-orang baru atau kawan-kawan lama. Kain menjalin hubungan-hubungan. Dan itu memberikan saya ruang dan peluang untuk membangun perubahan secara kolektif, khususnya di kalangan anak muda.

 

Penulis dengan kain tenun asal Alor, Nusa Tenggara Timur (Foto: Nurdiyansah Dalidjo)

+1 Saya merasa keren pakai kain

Tentu saja, dari semua alasan yang mungkin terkesan ribet, politis, ideologis, atau apa pun itu, saya cuma ingin menegaskan hal yang selama ini - secara jujur pastinya- dirasakan. Bahwa dengan mengenakan kain, membuat saya merasa lebih keren. Kata “keren” bisa saja bermakna banyak hal. Maksudnya adalah bahwa saya menyukai kain dan lalu diekspresikan pada tubuh saya  -dengan  mengenakan kain. Hal tersebut membuat saya menjadi lebih nyaman dengan diri dan tubuh saya sendiri. Walau itu terlihat aneh atau sangat ‘kuir’ (queer), ya saya cuma mau bilang bahwa setiap dari kita adalah unik dan itu akan selalu mengundang orang merespon pula secara unik (“aneh”). And I am also a queer, so what!

Memakai kain bagi saya, lebih dari sekadar bagaimana saya ingin merepresentasikan apa yang saya anggap estetis, tetapi juga politis. Ya, memakai kain adalah sikap politis untuk saya menampilkan alasan-alasan ideologis. Sebab, apa yang kita kenakan sebagai sesuatu yang personal pun memang politis.

Dan pendapat seorang kawan yang saya kenal cukup lama dan resisten terhadap apa yang dia percaya, pernah bilang hal sederhana, tapi bermakna. “Pakai kain itu keren!” katanya. Orang itu adalah Rahung Nasution.(*)

 

* * *

#PakaiKain adalah sebuah kampanye yang dilakukan Kain Kita untuk menggalakkan dukungan anak muda bagi para penenun atau pembuat kain sekaligus menunjukkan kebanggaan terhadap seni dan budaya tradisional. Melalui kampanye #PakaiKain, Kain Kita berusaha menginspirasi anak muda untuk memecah stigma bahwa mengenakan kain adalah sesuatu yang terkesan kuno, ribet, formal, dan tak modis. Ikuti perjalanan mereka menelusuri beragam cerita menarik tentang kain dan para penenun (pembuat kain) melalui Medium, Instagram, Twitter, dan YouTube.

 


Editor: Andre Barahamin


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *