CULTURAL
Tumotombol: Foso, Rerumeta’an dan Tanggung Jawab Kelangsungan Hidup
Published
2 years agoon
20 November 2022
“Tumotombol, sosok penting dalam masyarakat adat Minahasa yang mengajarkan tentang pentingnya pengetahuan, pengalaman, kesungguhan serta kebersihan hati, dan membuang ego ketika mengerjakan sebuah tanggung jawab.”
Penulis: Rikson Karundeng
SETIAP masyarakat adat di wilayah Nusantara, mewarisi banyak tradisi turun-temurun dari para leluhur. Di antaranya ritus, tata cara upacara keagamaan. Dalam masyarakat adat Minahasa, Sulawesi Utara, ritus itu disebut foso.
Foso adalah ekspresi religiusitas tou (orang) Minahasa. Bagian penting dari upaya untuk memelihara hubungan yang baik dengan Kasuruan Wangko (Sang Sumber Segala Sesuatu), tou wo se mananouw (sesama manusia dan makhluk lain yang terlihat maupun yang tidak terlihat), dan dengan kayobaan (dunia atau alam). Foso merupakan sebuah wadah pewarisan pengetahun tentang hidup dari generasi ke generasi.
Dalam catatan orang-orang Eropa yang datang ke Minahasa sejak abad ke-16 hingga abad ke-19, masyarakat di wilayah utara Selebes ini sangat religius. Itu terlihat dalam keseharian mereka. Mulai bangun tidur hingga berbaring waktu malam, sejak lahir hingga meninggal dunia, selalu diwarnai dengan ritus. Tidak mengherankan jika J.C. Neurdenburg berkata bahwa orang Minahasa sangat beragama. Sebab hampir semua sektor kehidupan ditandai dengan upacara. Pengalaman yang ia saksikan di Tanah Minahasa itu ditulisnya dalam Mededelingen vanwege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 27 (1883).
Religiusitas orang Minahasa yang sangat kuat juga dibenarkan Nicolaas Graafland. Seorang penulis yang menjelajah dan mendokumentasikan banyak hal tentang Minahasa di pertengahan hingga penghujung abad XIX. Pada bukunya De Minahasa (1864), ia menjelaskan bahwa orang Minahasa telah terbiasa menghubungkan semua, segala hal kepada agama atau menghubungkan agama kepada semua. Pendeta asal Negeri Belanda ini menegaskan, orang Minahasa, berdasarkan pendiriannya, agak bersifat agama.
Macam-macam ritus dan tata caranya, yang dipraktekkan orang Minahasa sejak masa lampau, sempat didokumentasikan oleh P.N. Wilken tahun 1863, N. Graafland sejak tahun 1865, J. Louwerier tahun 1883, dan banyak penulis lain yang datang ke Tanah Malesung (sebutan untuk Tanah Minahasa di masa lampau) di masa itu.
Di tengah gempuran zaman, hantaman gelombang globalisasi, stigmatisasi penganut agama mainstream, foso–foso itu tetap bertahan. Banyak masyarakat adat Minahasa yang sampai saat ini masih tetap hidup dan menghidupi foso yang dianggap menghidupkan ini.
PERAN PENTING TUMOTOMBOL
Foso biasanya dipimpin oleh seorang Walian atau imam, yang kini disebut juga Tonaas (tou nga’as, manusia berpengetahuan). Namun selain Tonaas, ada sosok penting lain yang biasanya berperan dalam pelaksanaan foso. Dialah Tumotombol.
“Tumotombol bermakna ‘penopang’. Ibarat rumah panggung, ia harus memiliki penopang agar bisa berdiri kokoh,” kata Rinto Taroreh, salah seorang Tonaas yang biasa memimpin berbagai upacara adat di Minahasa.
Dari zaman para leluhur, ketika foso mulai menjadi ekspresi keagamaan ‘Tou Malesung’, peran Tumotombol begitu penting. Kehadirannya tak bisa diabaikan, dan tak bisa tidak dalam setiap upacara. Sebuah tanggung jawab yang sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat. Dialah yang mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan pelaksanaan foso.
Stiven Sumual, salah satu sosok yang kini secara sadar memikul tanggung jawab sebagai seorang Tumotombol. Ia selalu terlihat dalam setiap upacara adat yang digelar sejumlah komunitas adat. Di antaranya ‘Komunitas Waraney Wuaya’.
“Saya menjalani tugas panggilan menjadi Tumotombol sudah hampir dua puluh tahun. Ini tanggung jawab dan harus dijalankan dengan kesungguhan hati, sebagai wujud syukur bagi Opo Empung dan bagi para leluhur yang mewariskan pengetahuan itu,” tutur Sumual.
Setiap pelaksanaan upacara adat, Stiven bertanggung jawab untuk mengambil sirih, pinang, kower atau bambu khusus yang digunakan dalam upacara, hingga tahapan ‘ba lapas’ atau menata satu per satu semua simbol persembahan dan penghormatan kepada Sang Khalik serta para leluhur. Simbol-simbol syukur dan permohonan ini akan diatur di alatar yang tersedia atau disiapkan.
Syarat penting menjadi seorang Tumotombol, selain siap menjalankan tugas dengan tulus ikhlas, ia harus memahami semua hal terkait dengan tata cara foso.
“Tugas ini tak bisa dilakukan sembarang orang. Harus mereka yang benar-benar memahami setiap tata cara dalam pelaksanaan foso,” kata Josua Wajong, pemuda adat asal Tomohon yang selama hampir sepuluh tahun belakangan mempertetapkan hati menjadi seorang Tumotombol.
Sesuai pengalaman para Tumotombol, jika mereka membuka hati, waktu akan memroses mereka untuk mengenal dan memahami setiap tata cara dalam foso–foso di Minahasa yang sangat beragam. Pengetahuan itu akan bisa mereka dapatkan dari para Walian atau Tonaas, dari para Tumotombol yang lebih dahulu memberi diri, maupun dari para leluhur secara langsung.
MEMAHAMI RERUMETA’AN
Seperti Stiven dan Josua, seorang Tumotombol harus mengerti cara mempersiapkan rerumeta’an, simbol persembahan di atas altar dan segala sesuatu yang akan digunakan dalam proses foso. Lebih dahulu tentu mereka harus memahami makna dari setiap simbol itu.
Para Tumotombol paham cara memotong bambu yang benar. Bambu untuk kower itu biasanya diambil dengan cara sekali potong, lalu bagian pinggir dibersihkan.
“Makna dari simbol sekali tebas itu, jika kita telah memilih jalan, tak boleh ragu-ragu. Artinya, kita harus mempertetapkan hati ketika melaksanakan proses foso. Tak bisa ada kebimbangan dan keraguan,” kata Rinto Taroreh.
Sementara, membersihkan bagian pinggir dari bambu yang diambil adalah simbol pembersihan. Baik yang mengambil dan yang membersihkan kower, maupun yang akan terlibat dalam foso nanti, harus melayakkan diri untuk menghadapi foso.
“Proses ini mau menegaskan, semua yang akan terlibat dalam foso harus benar-benar bersih hatinya dan penuh ketulusan dalam menyatakan syukur dan permohonan kepada Sang Khalik dan para leluhur,” jelas Taroreh.
Ketika bambu dipotong satu persatu sesuai ruas bambu, hal lain yang harus diperhatikan adalah tidak boleh terbalik. Posisi kower harus berdiri seperti ketika ia tumbuh. Maknanya, kehidupan terus bertubuh, pembaharuan harus terus dilakukan, bukan sebaliknya. Cara memotong bagian atas kower harus di–sambow.
“Sambow maksudnya dipotong miring seperti tangan yang meminta ke atas. Sebuah simbol permohoan doa, berkat dan umur panjang,” kata Taroreh.
Selain kower, bahan-bahan lain yang digunakan dalam foso memiliki makna khusus. Pinang yang akan digunakan misalnya. Ketika diambil, tidak bisa dijatuhkan ke tanah. Harus dipetik langsung di atas pohon. Proses itu bagian dari simbol penghormatan tapi pinang itu sendiri merupakan simbol kehormatan. Biasanya ia dipakai untuk menjemput sesakey atau tamu. Di samping itu, pinang dipercaya sebagai obat.
“Bagi orang Minahasa, samua buah-buahan yang bisa dikonsumsi tidak dijatuhkan ke tanah, dipercaya akan mendatangkan kebaikan,” ujar Taroreh.
Sementara, sirih juga digunakan sebagai obat. Dalam foso dia bagian dari pinang sebagai simbol penghormatan.
Kapur makan yang digunakan juga memiliki banyak makna. Kapur biasanya dari kerang yang dibakar, kemudian diproses. Para leluhur menggunakan kapur sebagai pembersih dan pengawet. Contohnya, ketika proses pembalseman jenazah di masa lampau, para leluhur menggunakan kapur usai jenazah dimandikan. Fungsinya agar tidak berbau.
“Dahulu ketika menenun, kain yang telah jadi dan diwarnai dengan pewarna alami akan dicelup ke dalam air dengan menggunakan kapur. Fungsinya untuk mengikat warna,” ungkap Taroreh.
Bahan lain adalah nasi yang dibungkus dengan daun. Daun untuk membungkus nasi yang digunakan dalam foso harus dipilih yang terbaik. Sebab padi, beras yang kemudian dimasak menjadi nasi, selain penghormatan, itu simbolisasi kemakmuran dan kesehatan.
Telur ayam kampung menjadi salah satu simbol penting dalam foso. Ibarat tumbuhan, ia adalah suru’, sumber kehidupan awal. Seperti pada hewan, telur adalah awal mula kehidupan.
Tugas penting lain ketika usai mengambil semua bahan yang dibutuhkan adalah menata rerumeta’an. “Pada proses ini dibutuhkan pengetahuan, pengalaman dan hati yang bersih dari Tumotombol,” sebut Taroreh.
Usai semua persiapan tuntas, Tumotombol akan melakukan sebuah tahapan yang disebut ‘mengalei’, sebelum menyerahkan proses jalannya foso selanjutnya ke Walian atau Tonaas. Dialah yang akan memohon kepada Sang Khalik dan para leluhur agar menerima simbol persembahan yang telah diletakkan, mengundang kehadiran Sang Kahlik dan para leluhur untuk menjadi bagian dari prosesi itu, sekaligus memberkati syukur dan permohonan yang akan dipanjatkan masyarakat yang hadir dalam upacara adat itu.
“Tumotombol bukanlah seorang pembantu, tapi sahabat dari Tonaas. Bagian dari ketonaasan itu. Bahkan dia sendiri sesungguhnya adalah seorang Tonaas atau orang berpengetahuan,” tegas Taroreh.
Tumotombol sosok yang memiliki pengetahuan tentang foso. Mulai dari persiapan, pengambilan bahan-bahan dan semua kebutuhan untuk upacara adat, sampai menyiapkan upacara. Dia adalah pembuka rangkaian upacara adat.
Selain menyimpan dalam ingatan semua doa, syair-syair yang akan diungkapkan dalam setiap tahapan persiapan foso, hal terpenting adalah bagaimana seorang Tumotombol mempersiapkan hati yang bersih, tulus dan penuh kesungguhan untuk mempersiapkan segala sesuatu dalam upacara adat. Sebab kesiapan hatinya diyakini akan menentukan apakah foso itu berkenan di hadapan Sang Khalik dan para leluhur. Termasuk akan sangat menentukan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat yang menggelar foso.
“Tomotombol, sosok penting dalam masyarakat adat Minahasa yang mengajarkan kepada kita tentang pentingnya pengetahuan, pengalaman, kesungguhan serta kebersihan hati, dan membuang ego ketika mengerjakan sebuah tanggung jawab,” tandas Taroreh. (*)
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa