Connect with us

FEATURE

Tuna Aksara Dilarang Memilih!

Published

on

12 Februari 2019


Oleh: Andre Barahamin


Potensi kecurangan membayang di depan mata karena sistem pemilu yang abai. Jalan perjuangan masyarakat adat kini semakin terjal.

 

“Saya tidak bisa baca dan tulis. Jadi susah untuk memilih. Karena nanti sudah tidak lagi pakai foto kata mereka,” ujar Uri, warga Komunitas Balay Juhu. Perempuan ini adalah satu di antara ratusan orang Dayak Meratus yang tersebar di 28 Balay di Kecamatan Alai Batang Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, yang memiliki hak pilih.

Balay adalah penyebutan untuk rumah adat Dayak Meratus. Ini adalah ruang hunian kolektif yang sekaligus menjadi tempat berlangsungnya ritual bagi Dayak Meratus, sebutan lain bagi orang-orang Bukit. Hartatik dalam Jejak Budaya Meratus dalam Perspektif Etnoreligi (2017) menulis, sebelum disebut sebagai Dayak Meratus, orang-orang ini dulu dikenal sebagai Dayak Bukit. Penyebutan ini dikarenakan lokasi tinggal mereka yang berada di bukit di sepanjang perbukitan Meratus.

Mereka dikenal nomaden. Tetapi sejak tahun 2004, sebagian di antara mereka telah hidup menetap di Kampung PMT (Permukiman Masyarakat Terasing) Muara Malungai.

Di “Masyarakat Adat Dayak Kiyu Meratus, Kalimantan Selatan” -terbit sebagai salah satu bab dalam Hutan untuk Masa Depan: Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia, Andy Syahruji menjelaskan bahwa asal-usul nenek moyang Dayak Meratus berasal dari daerah dataran rendah sampai pesisir.

Setelah banyak pendatang, yang umumnya pedagang orang Banjar atau lainnya, masyarakat adat Dayak Meratus berangsur-angsur pindah ke arah hulu-hulu sungai dan pegunungan Meratus. Proses ini lebih disebabkan karena perbedaan budaya dan upaya mempertahankan diri. Konflik sosial yang berkepanjangan yang berlatar belakang isu keyakinan dan ekonomi, terutama penyebaran agama dan penguasaan lahan-lahan pertanian yang subur membuat masyarakat Dayak Meratus bertahan di pegunungan Meratus hingga kini.

Dayak Meratus memang tak pernah sepi dari konflik. Tanah adat mereka yang kaya sering menjadi incaran investasi.

Di bulan Oktober 2014, Mongabay Indonesia melaporkan terjadinya penembakan oleh Kepolisian Resor (Polres) Tanah Bumbu, Ulu Sungai Selatan yang mengakibatkan satu orang anggota komunitas Dayak Meratus tewas. Tiga orang lainnya mengalami luka serius. Peristiwa ini dipicu oleh tuduhan tentang praktek illegal logging oleh anggota komunitas Dayak Meratus di wilayah konsesi PT. Kodeko Timber, pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH).

Tuduhan ini dianggap tidak masuk akal oleh Ketua Badan Pelaksana Harian Wilayah (BPHW) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kalimantan Selatan (Kalsel), Yasir Al Fatah. “Kawasan konsesi perusahaan tersebut berada di dalam wilayah adat Batu Lasung. Masyarakat melawan karena merasa tidak bersalah mengambil kayu di atas tanah adat mereka.”

Kriminalisasi seperti itu tak berhenti. Di tahun 2017, dua tokoh adat Dayak Meratus menjadi korban kriminalisasi oleh Polres Tanah Bumbu dan Kota Baru, Kalsel.

Trisno Susilo, Sekretaris AMAN Tanah Bumbu di tangkap dan di tahan di LP Kota Baru. Trisno dituduh menduduki dan mengolah kawasan hutan yang bukan hak miliknya. Ini tuduhan lama, yang pertama kali disangkakan pada tahun 2011. Penahanan sempat kemudian ditangguhkan pada waktu itu. Setelah 6 tahun berstatus tersangka tanpa proses pengadilan, Kepolisian Tanah Bumbu kembali membuka kasus tersebut. Pemicunya adalah menguatnya perjuangan Masyarakat Adat Dayak Meratus terhadap PT. Kodeko Timber.

Pada 10 Februari 2017, Apai Trisno ditangkap dan ditahan. Empat hari kemudian, ia disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Batulicin, Tanah Bumbu, Kalsel.

Selain Trisno, pimpinan Masyarakat Adat Dayak Meratus lain bernama Manase Boekit juga ditetapkan sebagai tersangka kemarin pada 10 Februari tahun itu. Manase dituduh sengaja menyuruh, mengorganisir, menggerakan, melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Tidak hanya dengan melakukan penangkapan, anggota kepolisian bersenjata lengkap secara aktif meneror perkampungan warga di Kampung Napu, Kamboyan, Kambulang, Batulasung, Tuyan dan Alut yang bermukim di kawasan hutan adat Dayak Meratus. Targetnya adalah figur-figur kunci yang aktif menolak keberadaan PT. Kodeco Timber yang merusak kawasan hutan adat Dayak Meratus.

Selain HPH, cadangan batu bara juga menjadi sebab terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat Dayak Meratus. Berdasarkan riset Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi – Badan Geologi (PSDG) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), potensi tambang di wilayah adat Dayak Meratus terdapat di dua kecamatan; Batang Alai Timur dan Haruyan.

Di Batang Alai Timur, terdapat 15 juta ton dengan nilai panas 5.000-6.000 Kilo Kalori (kkal) per kilogram sedangkan di Haruyan terdeteksi sekitar 300 ribu ton, dengan nilai kalori mencapai 6.000-7.000 kkal per kilogram. Potensi tersebut tentu menggiurkan bagi para pecinta energi fosil.

Tahun 1995, di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, pernah terbit izin Kuasa Pertambangan (KP) batubara yang akhirnya dicabut pada tahun 2002 karena disalahgunakan. Namun saat ini, dilaporkan Kantor Berita ANTARA, ada dua perusahaan besar yang mengantongi izin dari pemerintah pusat sebagai pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Dua perusahaan tersebut yaitu PT. Antang Gunung Meratus dengan luas arealnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah mencapai hingga 3.242 hektar, dan PT. Mantimin Coal Mining yang memgantongi ijin dengan bahan galian seluas 1.964 hektar.

Meskipun rencana pertambangan batu bara ini mendapatkan penolakan dari masyarakat, namun dua perusahaan tersebut dan Pemerintah Pusat tampak tak peduli.

Di tahun 2017, Antang Gunung Meratus justru memasang patok di tanah milik warga secara diam-diam di zona wilayah yang termasuk di dalam PKP2B di tiga kecamatan; Haruyan, Hantakan dan Alai Batang Selatan. Tindakan ini direspon oleh Bupati Hulu Sungai Selatan dengan mengeluarkan surat penolakan tambang batu bara yang dialamatkan kepada Menteri ESDM pada bulan September. Namun di awal 2018, Menteri ESDM justru menerbitkan keputusan tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan PKP2B menjadi tahap Kegiatan Operasi Produksi di wilayah seluas 5.908 hektar.

Keputusan tersebut diprotes luas oleh berbagai kalangan, terutama dari perwakilan komunitas masyarakat adat. Salah satu bahan protes adalah terkait overlay peta kawasan hutan dan lokasi konsesi pertambangan batubara justru tumpang tindih berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.435/2009.

Rentetan berbagai konflik tersebutlah yang ikut membentuk kesadaran politik orang-orang Dayak Meratus.

Di Pemilu 2009 dan 2014, bersama AMAN, mereka secara sadar mengutus kader-kader terbaik mereka untuk maju sebagai calon anggota legislatif melalui berbagai partai politik yang ada. Praktek ini dibasiskan pada analisis bahwa tuntutan dan geliat perjuangan masyarakat adat hanya akan bisa dimengerti oleh mereka yang berasal dan terlibat aktif di dalam gerakan itu sendiri. Meski gagal, harapan untuk terus memperluas dan melakukan konsolidasi tidak pernah pupus.

Mereka sadar bahwa perubahan nasib masyarakat adat tidak bisa didelegasikan kepada orang-orang yang datang dari luar. Calon-calon anggota parlemen yang hanya datang ketika musim pemilihan tiba dan menawarkan berbagai janji perubahan yang sudah pasti dilupakan ketika nanti terpilih. Kandidat yang tidak pernah terintegrasi dalam dinamika perjuangan orang Dayak Meratus menegakkan hak mereka atas tanah ulayat serta seluruh sumber daya yang terkandung di dalamnya.

Tapi kini, ancaman manipulasi suara membayangi harapan warga komunitas Dayak Meratus. Sebabnya adalah model surat suara di pemilu nanti yang tidak ramah bagi mereka.

Menurut Abdi Akbar, Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat (P3MA) AMAN, kerentanan tersebut datang dari ketidakpekaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap masyarakat adat.

“Surat suara di Pemilu 2019 tak jauh berbeda dengan dua Pemilu sebelumnya. Di perhelatan Pemilu 2009 dan 2014, surat suara pemilihan calon anggota legislatif juga tidak dilengkapi dengan gambar foto. Ini pengabaian secara terus menerus. Melengkapi surat suara dengan gambar diri calon anggota legislatif bagi kami dapat mempermudah warga negara yang memiliki hak pilih, termasuk di dalamnya anggota komunitas kami yang tidak bisa baca tulis. Mereka hanya perlu menghafal wajah kandidat yang akan mereka pilih. Di Pemilu tahun ini (2019 -red), hal tersebut kembali dihilangkan oleh KPU,” ungkap Akbar.

Uri (Foto: Robi Juhu/AMAN)

Peniadaan penggunaan foto gambar diri calon anggota legislatif di kertas suara dipandang oleh AMAN sebagai bentuk pengabaian institusi negara secara sengaja. Akbar menilai bahwa keputusan tersebut diambil dengan menegasikan fakta di lapangan bahwa masih banyak warga negara dengan hak pilih di berbagai komunitas masyarakat adat yang buta huruf. Para penyandang tuna aksara sebagian besar berasal dari komunitas-komunitas yang tinggal di kawasan hutan dan tidak dijangkau oleh kemeriahan pembangunan infrastruktur negara.

Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2018, masih terdapat sekitar 3,4 juta warga yang berumur lebih dari 15 tahun tidak bisa baca tulis. Sebagian besar tersebar di 11 provinsi di mana Papua, NTB dan NTT adalah tiga daerah yang memiliki angka buta aksara tertinggi. Secara tidak kebetulan, tiga provinsi ini juga memiliki jumlah angka komunitas masyarakat adat dengan jumlah yang signifikan. Menurut AMAN, saat ini terdapat 1.6 juta orang yang hidup di dalam kawasan hutan.

“Tingginya angka buta huruf di berbagai komunitas masyarakat adat adalah refleksi kegagalan negara dalam menyediakan akses atas pendidikan bagi warga negaranya,” tegas Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jendral AMAN. Ia menyoroti soal pembangunan infrastruktur yang sering dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah rezim pemerintahan, tapi abai pada aspek pembangunan manusia. Sombolinggi

“Kini, setelah gagal memenuhi hak atas pendidikan bagi warganya, negara melanjutkan tren negatif itu dengan menciptakan sistem pemilu tidak ramah bagi masyarakat adat yang memiliki jumlah penyandang tuna aksara cukup besar,” kritik Sombolinggi.

Kritik keras AMAN terhadap peniadaan gambar diri calon anggota legislatif di Pemilu 2019 juga didasarkan pada kekhawatiran bahwa akan terjadi manipulasi suara di saat pencoblosan. Para pemilih tuna aksara menjadi kelompok rentan yang terancam diarahkan untuk memilih calon yang tidak sesuai dengan pilihan mereka.

“Tidak ada yang bisa menjamin bahwa para pemilih tuna aksara tidak akan ditipu. Bukankah selama ini, kecurangan Pemilu sudah jadi rahasia umum?” kata Abdi Akbar.

Di 28 Balay yang tersebar di 11 desa di Alai Batang Timur, Hulu Sungai Tengah, Kalsel misalnya. Minimal terdapat 100 orang yang memiliki hak pilih di tiap Balay. Setengah dari jumlah tersebut adalah penyandang tuna aksara. Artinya, di satu kecamatan saja, hampir 1.500 orang yang hak suaranya memiliki potensi untuk dimanipulasi dan menjadi korban kecurangan.

Kenyataan tersebut tentu adalah ancaman serius bagi komunitas masyarakat adat dan AMAN sebagai organisasi payung, yang kini tengah jatuh bangun memperjuangkan pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat di tingkat nasional dan berbagai Peraturan Daerah (Perda) pengakuan hak masyarakat adat di tingkat daerah. Salah satu faktor penentu dalam pertarungan tersebut adalah signifikansi keterwakilan masyarakat adat di berbagai kamar parlemen.

Kini, dengan potensi kecurangan yang membayang di depan mata karena sistem pemilu yang abai, jalan perjuangan masyarakat adat yang membentur tembok di lima tahun terakhir akibat pengingkaran Jokowi, menjadi semakin terjal. Apalagi jika ternyata KPU kemudian memilih tutup mata dan tidak tanggap terhadap kritik yang dilayangkan AMAN.

“Mungkin Pemilu hanya untuk orang yang bisa baca tulis saja,” kata Uri sembari menghembus lepas asap rokoknya.

 


Editor: Daniel Kaligis

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *