FEATURE
“Tunggu 5 Tahun Lagi? OAP Nanti Su Abis, Tanah Orang Su Rampas”
Published
6 years agoon
By
philipsmarx25 Februari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Pengabaian hak Orang Asli Papua, perampasan tanah, pelanggaran HAM dan absennya suara masyarakat adat di parlemen membuat Sambena tak sanggup menolak amanat untuk ikut bertarung di Pemilu 2019.
KAMPUNG SIMA, Senin, 9 Mei, 2016, orang-orang sedang berkumpul di rumah almarhum Simon Petrus Hanebora. Pertemuan itu dihadiri utamanya dari perwakilan sub-sub suku yang merupakan bagian dari Suku Besar Yerisiam Gua. Ini adalah upaya cepat untuk merespon kehadiran polisi dari kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di areal perkebunan kelapa sawit.
Kebun sawit tersebut dikelola oleh Goodhope Asia Holding, melalui dua anak perusahaannya, PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Adi Perkasa. Dua perkebunan tersebut berada di atas tanah adat Suku Besar Yerisiam Gua, yang mendiami Kampung Sima, di Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Papua.
Kehadiran Brimob dari Kepolisian Resor (Polres) Nabire dinilai meresahkan warga. Brimob bersenjata lengkap dianggap akan menjadi tukang pukul dan keamanan bagi kegiatan operasional perusahaan. Salah satunya penandanya adalah kehadiran Brimob saat mengawal kegiatan pembongkaran dusun sagu keramat bernama Manawari, tanpa mengantongi persetujuan dari pemegang hak ulayat pada 12 April 2016.
Pembongkaran tersebut jelas menuai protes. “Mereka macam bongkar sa pu isi perut,” kata Sambena Inggeruhi. Bersama tiga orang pemilik ulayat lain, Sambena segera melakukan protes dan penghentian sementara pembongkaran dusun sagu tersebut.
Sambena adalah satu dari tiga anak laki-laki dari Simon Petrus Hanebora, mantan Kepala Suku Besar Yerisiam Gua. Sambena tidak menggunakan marga Hanebora karena ia “diserahkan” ayahnya untuk menjadi penerus marga Inggeruhi. Ini adalah marga neneknya dari pihak ayahnya. Agar marga itu tidak punah karena tidak memiliki penerus laki-laki, Hanebora menyerahkan salah satu anak laki-lakinya. Ini praktek umum bagi orang-orang suku Yerisiam.
Menjaga eksistensi marga dalam kode moral suku Yerisiam erat kaitannya dengan hak atas tanah. Keberlangsungan penerus sebuah marga berarti jaminan akan kepastian hak kuasa dan kelola atas tanah adat.
Almarhum Hanebora adalah sosok yang tidak asing dalam bentang sejarah perjuangan Orang Asli Papua (OAP) di Nabire. Ia pernah dipenjara karena didakwa sebagai bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah wadah perjuangan menuntut Papua merdeka dan Indonesia angkat kaki.
Setelah setengah tahun mendekam di balik jeruji, Hanebora kembali ke tengah komunitasnya. Ia lalu ditunjuk para sesepuh sebagai Kepala Suku di tahun 1982 dan menjadi figur utama di balik revitalisasi struktur adat Suku Besar Yerisiam Gua. Di tahun 1990, Hanebora terpilih sebagai Kepala Kampung untuk membawahi tujuh dusun. Jabatan ini diembannya selama satu dekade.
Kini, karena pemekaran dan kebutuhan perluasan struktur administratif, ketujuh dusun tersebut sudah ditingkatkan statusnya menjadi desa. Secara administratif, desa-desa tersebut menjadi satu distrik (kecamatan) bernama Kecamatan Yaur.
Sadar akan pengaruh luas Hanebora, Golkar merekrutnya sebagai anggota di tahun 1996. Perhitungan ini tak meleset. Golkar menang 100% dan mengantarkan Hanebora sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nabire usai pemilu di tahun 1997. Ia menduduki posisi sebagai Wakil Ketua II DPRD Nabire hingga tahun 2002 meski itu merupkan periode perdana Hanebora sebagai anggota parlemen.
Periode tersebut adalah salah satu awal keterlibatan Sambena dalam gerakan memperjuangkan isu-isu masyarakat adat. Ia menemani ayahnya, merintis kerja-kerja agar suku-suku OAP di Nabire mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas klaim wilayah ulayat mereka.
Di awal tahun 2016, saat eskalasi konflik antara Suku Besar Yerisiam Gua dan perusahaan sawit meningkat, Sambena ditunjuk sebagai Juru Bicara. Bagi anggota komunitas adat-nya, Sambena dipandang memiliki kecakapan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Ia pandai bicara, tenang dan memiliki kemampuan diplomasi, serta memiliki kharisma sebagai pemimpin muda. Beberapa sesepuh adat bahkan membayangkan Sambena akan menjadi Kepala Suku seperti ayahnya, suatu saat nanti.
“Dia anak pintar, baik hati. Dia bisa pimpin banyak orang karena pandai bicara. Jadi tara akan dapa tipu macam kami ini,” kata Daniel Jarawobi, Kepala Suku Yerisiam Gua yang menggantikan Hanebora. Semasa Hanebora hidup, Jarawobi adalah Sekretaris Suku Besar, tangan kanan dan pendamping setia hingga ia meninggal pada Februari 2015 karena komplikasi penyakit ginjal dan gula darah.
“Bapa tu keras. Dia tara mau samua tong pu hutan itu habis karena sawit. Tong su kasi sebagian, tapi dong minta lebe. Su tara bisa,” kata Sambena kepada saya suatu waktu di awal tahun 2017. Saat itu, saya sudah setengah tahun lebih menghabiskan waktu di Kampung Sima. Belajar dari dekat mengenai kultur dan Yerisiam Gua.
Perkebunan sawit yang dimaksud Sambena tentu saja adalah dua anak perusahaan milik Goodhope Asia Holding. LTC, yang berada di bawah Carsons Cumberbatch Group. Ini adalah rumah dagang dan investasi yang berkantor pusat di Kolombo, Sri Lanka. Carsons Cumberbatch awalnya dikenal sebagai salah satu raksasa lama di industri perkebunan teh dan karet yang memiliki konsesi di Malaysia dan Sri Lanka sejak awal 1900-an.
Diversifikasi bisnis yang menyasar kelapa sawit dimulai di Malaysia sekitar tahun 1992, sebelum akhirnya meluaskan sayap ke Indonesia di tahun 1996.
Jejak awal Carsons Cumberbatch merambah komoditi sawit dapat ditemukan jejaknya di Sembuluh, Kotawaringin, Kalimantan Tengah. Perusahaan mereka bernama PT. Agro Indomas adalah badan usaha pertama yang sepenuhnya dimiliki grup Carsons. Perusahaan ini diakuisisi dari sebuah konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan Malaysia dan tujuh perusahaan perkebunan Indonesia.
Di situs resmi mereka, Carsons mengklaim menguasai perkebunan kelapa sawit seluas 150.000 hektar di Indonesia dan Malaysia.
Di Nabire, Carsons Cumberberbatch menguasai lebih dari 20.000 hektar lahan yang ijin usahanya dipegang oleh dua anak perusahaan. PT Sariwana Adi Perkasa mengelola perkebunan seluas 7.160 hektar, sementara PT Nabire Baru menguasai areal seluas 13.600 hektar. Kedua perusahaan ini beroperasi di atas tanah ulayat suku Yerisiam.
Ekspansi anak perusahaan Carsons sejatinya melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh perusahaan-perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Aktivitas dimulai tahun 1990 dipelopori oleh PT Sesco. Mereka mengincar kayu jenis Merbau yang banyak terdapat di dalam hutan. Perusahaan ini berhenti beroperasi di tahun 2000 dengan meninggalkan banyak persoalan. Termasuk hutang sekitar 400 juta rupiah.
Di tahun 2003, PT Pakartioga, PT Junindo dan PT Kalimanis masuk meneruskan penebangan yang sudah dirintis PT Sesco. PT Junindo dan PT Kalimanis memegang ijin HPH dalam bentuk konsorsium yang diberi nama PT Jati Dharma Indah. Ijin ini berlaku hingga tahun 2017. Sekitar tahun 2007, PT Jati Dharma Indah menggandeng PT Harvest Raya asal Korea untuk membuka kebun sawit di areal konsesi HPH. Rencana ini mendapatkan penolakan dari orang-orang suku Yerisiam.
Pertengahan tahun 2008, PT Nabire Baru mulai masuk dengan modal Ijin Usaha Perkebunan (IUP). Untuk mendapatkan legitimasi, perusahaan melakukan pertemuan dengan beberapa warga suku Yerisiam. Pertemuan dilakukan diam-diam. Disepakati bahwa akan ada ganti rugi sebesar 6 milyar rupiah. PT Nabire Baru juga membangun tiga koperasi petani plasma. Sebagai penanggungjawab untuk melakukan perekrutan anggota koperasi, ditunjuk beberapa orang yang terlibat dalam kesepakatan rahasia tersebut.
Sejak awal tahun 2009, perusahaan mulai beraktivitas. Penebangan hutan dimulai. Beragam jenis kayu yang melimpah di dalam areal konsesi dipasarkan ke luar dengan menggunakan nama PT. Sariwana Unggul Mandiri.
Suku Yerisiam tetap melancarkan protes. Salah satunya, menyoroti soal operasi ilegal PT. Nabire Baru karena belum mengantongi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Perjuangan itu memberikan hasil. Tahun 2011, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Papua mengeluarkan rekomendasi penghentian sementara operasi PT. Nabire Baru. Pertengahan tahun 2012, operasi PT. Nabire Baru terhenti. Namun di bulan Desember tahun itu, proses pengurusan AMDAL justru baru dimulai.
Gubernur Papua saat itu, Costan Karma, merekomendasikan Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (BAPSDALH) Papua, agar segera mengeluarkan AMDAL untuk PT. Nabire Baru. Pada 1 April 2013, melalui Harian Cendrawasih Pos, PT. Nabire Baru merilis pernyataan publik mengenai rencana usaha kegiatan perkebunan sawit.
Tiga hari kemudian, BPASDALH Papua bersama dengan perwakilan perusahaan dan perwakilan BLH Kabupaten Nabire, menggelar konsultasi publik. Pertemuan dilakukan di halaman SD Kampung Sima. Konsultasi AMDAL berlangsung panas. Dua kubu orang Yerisiam yang menolak dan yang menerima kehadiran PT. Nabire Baru bersitegang. Sempat terjadi saling dorong. Perkelahian hampir pecah. Anak-anak dan perempuan yang ikut hadir memilih duduk menjauh dan tetap diam.
“Perusahaan sukses pecah belah orang Yerisiam,” kata Iwan Hanebora. Ia adalah saudara kembar Sambena.
Jalan panjang memperjuangkan hak mereka atas tanah dimulai dari pengumpulan tanda tangan sebagai penegasan sikap masyarakat Suku Besar Yerisiam Gua yang menolak pembongkaran dusun sagu keramat mereka. Lebih dari seratus orang bertanda tangan selama satu hari.
“Perusahaan ini memang pandai menipu, semua yang dong bilang di surat itu tara betul. Masyarakat yang tau dong perusahaan bohong dan menolak keberadaannya saat ini tidak sedikit,” ujar Yance Maniburi dengan nada kesal ketika surat respon perusahaan dibacakan di dalam diskusi bersama dengan perwakilan masyarakat adat Yerisiam Gua, pada Selasa, 10 Mei 2016.
GoodHope Asia Holding dalam suratnya kepada Forest People Programme (FPP) -sebuah organisasi non profit yang berbasis di Oxford, Inggris, perusahaan mengklaim telah memenuhi semua hak-hak masyarakat dan dan memiliki kelengkapan izin serta tanggung jawab sosial seperti yang diamanatkan undang-undang.
Dibantu Yayasan PUSAKA, Sambena dan masyarakat Yerisiam Gua mendaftarkan gugatan mereka di Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Selain penghancuran dusun sagu dan pengabaian hak mereka sebagai pemilik hak ulayat, gugatan tersebut juga melampirkan bukti bagaimana perkebunan sawit telah menjadi sebab terjadinya banjir di pemukiman komunitas adat Yerisiam.
Surat kepada RSPO pertama kali dikirimkan pada 19 April 2016. Laporan tersebut juga dikirimkan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Gubernur Papua, dan juga Bupati Nabire.
Butuh lebih dari satu tahun sebelum perjuangan itu membuahkan hasil. Di tahun 2017, RSPO memutuskan untuk menghentikan menghentikan sementara operasi PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Adi Perkasa. Rekomendasi RSPO juga memaksa Goodhope untuk memperbaiki dokumen-dokumen terkait dan melakukan penilaian kembali terkait zona-zona yang tidak boleh dikonversi menjadi perkebunan sawit.
Selama rentang waktu itu, Sambena harus bolak-balik Nabire-Jakarta untuk terus memantau perkembangan gugatan mereka. Ia juga rajin mengikuti beberapa pelatihan yang diselenggarakan berbagai organisasi masyarakat sipil di Papua atau di Indonesia. Selain untuk menambah pengetahuan, keikutsertaan dalam berbagai forum tersebut digunakan Sambena untuk berkampanye dan meluaskan solidaritas dengan kelompok korban investasi perkebunan lain yang bertebaran di seantero Indonesia. Ia berkenalan dengan mereka yang berada di Sumatera, membangun relasi dan jaringan dengan kelompok masyarakat di Borneo, Sulawesi dan tentu saja di wilayah lain di Papua.
Di bulan Juli 2017, Sambena mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman Suku Besar Yerisiam Gua mengadvokasi diri dalam sebuah forum internasional yang diselenggarakan di Manila, Filipina.
“Sa belajar banyak. Biar sa tra bisa bahasa Inggris, tapi tong semua bicara bahasa korban. Sama-sama de pu tanah perusahaan ambil, sama-sama jadi korban kekerasan aparat,” kata Sambena.
Tapi ia memendam kekecewaan terhadap lembaga legislatif yang dinilainya tidak memiliki keberpihakan kepada masyarakat adat. Ini adalah penilaian yang lahir dari pengalaman bagaimana lambatnya pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DRPD) Nabire menanggapi komplain mereka.
Sebelum melaporkan gugatan ke RSPO, Suku Besar Yerisiam Gua telah melaporkan permasalahan ini kepada DPRD Nabire. Awalnya, laporan ini mendapat angin segar saat dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) pada 25 Mei 2016. Pansus ini bertujuan untuk melakukan investigasi terkait komplain masyarakat adat. Namun, pucuk dicinta ulam tak kunjung tiba. Kerja Pansus tersebut menguap tanpa jejak.
Meski telah berkali-kali mendatangi anggota Pansus secara informal, terus menerus mendesak agar DPRD Nabire serius menanggapi komplain tersebut, namun hasil yang diharapkan tak kunjung datang.
Kenyataan ini adalah satu di antara beberapa alasan mengapa Sambena Inggeruhi memutuskan untuk ikut bertarung untuk memperebutkan kursi di parlemen Nabire. Ia menilai bahwa kondisi Nabire yang semakin dihantui kesenjangan sosial yang memarjinalkan masyarakat adat, turut dipengaruhi absennya suara kritis di legislatif.
Sambena menyoroti soal penyerobotan tanah yang memicu konflik agraria, investasi di bidang perkebunan dan pertambangan yang abai terhadap hak-hak Orang Asli Papua (OAP), serta persoalan kebijakan transmigrasi yang didesain dengan buruk dan abai pada norma budaya dan kondisi sosial hingga menyebabkan segregasi. Ia juga menggarisbawahi tentang tiadanya perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat, kebebasan berekspresi yang masih dibatasi terutama di bidang politik serta rentetan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menimpa OAP adalah beberapa poin dari tujuan perjuangannya nanti jika terpilih sebagai anggota parlemen.
Ia memilih Daerah Pemilihan (Dapil) IV yang meliputi Menou, Uwapa, Nabire Barat, Wanggar, Yaro, Yaur dan Teluk Umar sebagai ruang kontestasinya. Kendaraan politik yang ia pilih adalah Partai Keadilan dan Pembangunan Indonesia (PKPI). Pilihan Sambena dibasiskan pada kenyataan belum adanya sayap politik alternatif yang tersedia sebagai jalan lain mengintervensi politik legislasi di Indonesia.
“Kalau ada partai masyarakat adat atau partai gerakan sosial, sa pasti gabung. Tapi kan belum ada. Makanya, sa realistis,” kata Sambena saat saya mengkonfrontir pilihannya untuk maju dari PKPI.
Menurut Sambena, menunggu hadirnya partai politik alternatif yang dibangun dari akar rumput sembari tidak berbuat apapun bukanlah pilihan bijak dalam pandangannya. Ia merasa memiliki tanggung jawab untuk merespon gelombang represi ekonomi, politik dan budaya yang menimpa OAP. Melewatkan pemilu 2019 dengan sekali lagi menyerahkan suara kepada mereka yang hanya akan kembali mengabaikan dan tak peduli dengan perjuangan masyarakat adat, bukan opsi baginya.
“Ini bukan sa pu ambisi pribadi. Sa dong orang-orang tua yang suru maju. Sa ini anak Papua, tong dapa ajar untuk dengar bicara orang tua. Sa cuma bawa amanat saja. Supaya Orang Asli Papua di Nabire ini ada juru bicara. Ada orang yang bisa jadi dong pu tampa untuk bicara ato mengeluh trus mo bantu soal dong pu masalah. Tunggu lima tahun lagi? Sapa yang tau kalau talalu lama ba tunggu, tanah deng orang Papua su abis lebih dulu. Kalo su terlambat, su tra guna mo maju,” pungkas Sambena. (*)
Editor: Daniel Kaligis
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa