Connect with us

CULTURAL

Tu’ur in Tana’: Wale Ure dan Goresan Nilai Keminahasaan

Published

on

31 Januari 2019


Oleh: Rikson Karundeng


Tu’ur in tana’ adalah sebuah ingatan tentang asal-usul tou Minahasa, orang-orang yang mendiami jazirah utara Selebes

 

TU’UR IN TANA’ adalah sebuah tempat. Ia mengingatkan siapa tou (orang) Minahasa. Nama ini punya kaitan dengan asal mula orang-orang Minahasa di tanah yang dahulu disebut Malesung.  Tu’ur in Tana’ adalah wale ure, atau tempat leluhur Minahasa pertama kali bermukim. Titik awal peradaban anak keturunan Lumimut-Toar.

Di mana letak Tu’ur in Tana’? Dalam kisahan terdapat banyak versi tentang tempat bermukim leluhur Minahasa pertama ini. Sebuah kisah menyebutkan, tempat itu berada di antara gunung Lokon, Tatawiran dan Kasehe. Ini nama gunung-gunung yang ada di sekitar Kota Tomohon kini.

Tapi pendapat umum menunjuk ke wilayah pegunungan Wulur Mahatus. Sebuah daerah di wilayah selatan tanah Minahasa. Tepatnya di daerah Tompaso Baru, Kabupaten Minahasa Selatan kini.


Tu’ur in Tana’
Menurut  Sejarawan Minahasa

Kisah tentang Tu’ur in Tana’ dihidupkan dalam tulisan-tulisan para peneliti tentang Minahasa. E.V. Adam dalam Kesusasteraan, Kebudajaan dan Tjeritera2 Peninggalan Minahasa (1954) menulis, Tu’ur in Tana’ tidak dapat dipisahkan dengan Wulur Mahatus. Wulur juga disebut wulud. Artinya gunung. Ia dapat berarti pula “tua”. Maknanya sama dengan tu’ur yang artinya pangkal. Dengan begitu, Wulur Mahatus disamakan dengan Tuu’r in Tana’. Maknanya, tanah (tempat) yang mula-mula.

Bert Supit dalam Minahasa: Dari Watu Pinabetengan in Nuwu’ sampai jatuhnya Minawanua terbit tahun 1986 mengisahkan, sesudah Toar dan Lumimuut, leluhur Minahasa itu menikah, dari pegunungan Lolombulan berangkatlah mereka menuju ke selatan untuk menemui Karema. Tapi di sana mereka tak menjumpai Karema. Keduanya lalu menetap di sekitar pegunungan yang banyak ditumbuhi bulu (bambu). Orang Minahasa menyebutnya bulu tui (sejenis bambu). Orang Tontemboan menyebutnya wulud mahatus, yang berarti banyak atau ratusan bulu tui. Di kemudian hari, sebutannya menjadi wulur mahatus. Dalam kisahan di  Minahasa, di kawasan pegunungan inilah anak keturunan Toar dan Lumimuut berkembang menjadi banyak.

Cerita di wilayah Ratahan, bagian tenggara Minahasa menyebutkan, setelah Lumimuut dan Toar menjadi suami istri, mereka kemudian tinggal menetap di Mahawatu. Tempat  inilah yang dinamakan Wulur Mahatus. Di kemudian hari ia disebut Tu’ur in Tana’. Keturunan Toar dan Lumimuut kemudian bertambah banyak sehingga mereka menyebutnya kaum Malesung. Ketika menjadi semakin banyak, maka menyebarlah mereka mencari tempat yang indah dan baik untuk ditempati.

Sejarawan Minahasa H.M. Taulu dalam  Sejarah dan Anthropologi Budaya Minahasa (1980) menceritakan, awalnya Karema, Lumimuut, Toar dan keluarga mereka berdiam di sekitar Gunung Wulur Mahatus. Mereka kemudian berpindah ke sekitar Watu Niutakan, dekat dengan negeri Tompaso Baru sekarang. Migrasi ini disebabkan karena perkembangan populasi yang terus bertambah. Pemukiman di pegunungan Wulur Mahatus tak dapat lagi menampung mereka. Perkembangan ini mendesak mereka mencari tempat pemukiman baru. Maka berpindahlah mereka dari tempat itu beralih menuju ke utara, melintasi gunung Soputan. Mereka kemudian tiba tiba di kaki gunung Tonderukan. Tempat yang disebut Tumaratas yang berada di sekitar Watu Pinawetengan. Dari tempat inilah mereka menyebar ke seluruh penjuru Minahasa.

S.H. Awuy dari Tonsea pada sebuah tulisannya dalam bundel Hari jadi Daerah Minahasa (1982) mengisahkan, Karema dan Lumimuut adalah manusia yang hidup di zaman sebelum, sementara dan sesudah air bah. Toar lahir justru di kala sedang dahsyatnya air bah melanda. Setelah surut air bah, Karema menuntun Lumimuut dan Toar kembali ke negeri asalnya, Tu’ur in Tana’ (Mah-watu). Ternyata yang mereka dapati di sana adalah suatu keadaan yang serba lain dari semula. Semuanya hancur berantakan, kecuali yang masih tampak utuh adalah sebuah pondok yang terbuat dari sejenis kayu yang disebut dalam bahasa mereka, kayu malesung (jenis kayu ini cocok untuk dijadikan ramuan rumah, untuk dibuat perahu ataupun untuk roda pedati. Keistimewaan kayu ini adalah tahan air cukup lama. Kayu semacam ini masih terdapat di hutan-hutan yang ada di Minahasa). Di dalam pondok itulah mereka menginap. Sejak waktu itu muncul nama baru untuk tempat pemukiman ini, yakni Malesung. Sedangkan nama lama, Mahwatu dan Tu’ur in Tana’ tidak disebut-sebut lagi.

 

Tu’ur in Tana’ Menurut Peneliti Asing

Kisah asal usul orang Minahasa banyak ditulis oleh peneliti-peneliti dari luar tanah Minahasa. Sebagian tulisan itu ditulis oleh J.G. Schwarz, J. Albt, T. Schwarz, J.G.F. Riedel dan J. Wiersma. Tentang kisah Tu’ur in Tana’ dihubungkan dengan tiga tokoh utama leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema. Karema, dimengerti sebagai “manusia langit”, Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal orang-orang Minahasa. Tempat tinggal pertama manusia awal Minahasa, Lumimuut dan Toar ini, serta keturunannya, disebut Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal inilah yang kemudian berkembang dan bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.

N.P. Wilken dalam Bijdragen tot de kennis van de zeden en gewoonten der Alfoeren in de Minahassa MNZG 7  tahun 1863 dan N. Graafland di bukunya De Minahassa : haar verleden en haar tegenwoordige toestand, yang ditulis tahun 1869, juga menegaskan bahwa pemukiman nenek moyang orang Minahasa dahulunya di sekitar pegununggan Wulur Mahatus. Dari situ kemudian mereka berkembang dan berpindah ke Mieutakan (daerah sekitar Tompaso Baru saat ini).

 

Tu’ur in Tana’ Dalam Ingatan Tou Minahasa Kini

Kisah tentang asal mula, leluhur dan pusat peradaban awal Minahasa, sesungguhnya masih terekam jelas dalam ingatan tou Minahasa hingga kini. Cerita-cerita itu diwariskan dari generasi ke generasi. Baik lewat uman (cerita-cerita pengantar tidur bagi anak-anak), syair-syair, relief, hingga situs-situs sejarah yang masih berdiri kokoh di atas tanah Minahasa hingga kini.

Sosok yang giat melakukan penelusuran peninggalan sejarah dan budaya Minahasa masa lampau, Rinto Taroreh menuturkan, tou Minahasa itu berasal dari selatan. Tepatnya di daerah Pegunungan Wulur Mahatus, sebelum akhirnya mereka bermigrasi ke wilayah Watu Pinawetengan. “Opo (leluhur) Mamarimbing adalah Walian (pemimpin spiritual) terakhir sebelum tou Malesung meninggalkan Tu’ur in Tana’,” jelasnya.

Menurut Taroreh, bukti pemukiman mula-mula dari tou Minahasa di wilayah pegunungan Wulur Mahatus, dapat dilihat dari sejumlah situs yang ada di sekitar daerah tersebut. “Ada 19 watu paheruran atau batu perundingan utama yang berada di sana, termasuk Watu Tiwa,” kata Taroreh.

Sebagian “batu penanda” diakui masih tertimbun di dalam tanah dan masih terus dicari namun sebagian batu yang penuh dengan goresan sejumlah simbol (aksara Malasung tua), telah ditemukan kembali.

“Situ-situs itu ada dalam ingatan masyarakat Minahasa. Kini kita tinggal mencari yang sudah tertimbun di dalam tanah. Dari penelusuran kita, sebagian situs-situs penanda peradaban awal leluhur Minahasa sudah ditemukan kembali,” ungkapnya.

“Dari simbol-simbol yang tergores di batu-batu tersebut bisa dijelaskan bahwa kompleks pemukiman tou Minahasa mula-mula berada di sebelah timur wilayah Tu’ur in Tana’. Sedangkan daerah pemakaman berada di sebelah barat,” terangnya.

Budayawan Minahasa asal Wanua Warembungan ini menjelaskan, sejak masyarakat Malesung ada, segala sesuatu yang hendak dilaksanakan akan dirundingkan lebih dahulu dan segala sesuatu yang disepakati bersama akan didokumentasikan di atas batu dalam bentuk simbol. Di Watu Tiwa misalnya, menurutnya hal utama yang dirundingkan adalah tentang patokan hidup dari Toar dan Lumimuut. Selain itu, disimbolkan juga beberapa hal di antaranya, cara memasang dodeso (jebakan) binatang buruan, cara Walian melakukan ritual, perhitungan bintang untuk menanam atau mencari binatang buruan, termasuk simbol silang (x) yang berarti benar/sepakat/setuju. Sebuah tanda yang menegaskan jika ada kata sepakat dari para leluhur Minahasa ketika berunding di tempat itu.

 

Tiwa Toar-Lumimuut

Cerita-cerita masyarakat Minahasa mengisahkan, setelah pertemuan di atas puncak Wulur Mahatus, Toar dan Lumimuut kemudian turun gunung dan tinggal di lembah yang banyak ditumbuhi bulu tui. Keturunan Lumimumuut-Toar terus berkembang dan mendiami daerah lembah. Mereka kemudian menamai diri tou Malesung (orang lembah). Pemukiman awal orang Malesung ini kemudian dinamakan Tu’ur in Tana’.

Rinto Taroreh menjelaskan, sebelum meninggal dunia, Lumimuut-Toar memberikan wejangan yang kemudian menjadi aturan hidup orang Malesung. Aturan hidup itu dinamai “Tiwa Toar-Lumimuut”. Tiwa atau sumpah itu menegaskan: sitou peleng masuat (manusia semua sama/sederajat), maleos-leosan (saling berlaku baik), masigi-sigian (saling menghormati), masawa-sawangan (saling membantu), matombo-tombolan (saling menopang), maupu-upusan (saling menyayangi/mengasihi), maesa-esaan (saling menyatu/bersatu). Tou masuat peleng (semua manusia sama), mahpute waya (sama semua, sederajat), cawana separukuan, cawana sepakuruan (tidak ada manusia menyembah kepada manusia, tidak ada manusia yang disembah).

Keturunan Lumimuut-Toar kemudian bersumpah untuk menjalankan amanah tersebut. Kedua leluhur Minahasa ini dimakamkan berdampingan di bawah sebuah batu bersimbol.

“Dalam perjalanan waktu, di dalam setiap upacara adat Rumages (upacara syukur), anak keturunan Lumimuut-Toar selalu mengikrarkan kembali Tiwa Toar-Lumimuut sambil mengelilingi makam leluhur pertama mereka itu. Batu bersimbol yang menandai makam Lumimuut-Toar ini kemudian dikenal dengan Watu Tiwa Toar-Lumimuut,” kata Taroreh.

Di sekitar Watu Tiwa ini juga terdapat makam para leluhur Malesung lainnya. Makam-makam itu ditandai dengan simbol-simbol yang dipahatkan di atas batu. Sementara, di sebelah timur Watu Tiwa, tepatnya di puncak sebuah bukit terdapat susunan batu besar berlobang yang dinamai Watu Lisung. Batu lesung ini digunakan untuk menampung air hujan yang dipercaya pemberian langsung dari Kainawaan (dunia atas) atau Tuhan, untuk dipakai dalam upacara adat. Watu Lesung ini biasanya digunakan sebagai tempat berdoa para Walian.


Watu Niotakan dan Migrasi Tou Malesung

Pada suatu waktu, di Tu’ur in Tana’ terjadi bencana alam beruntun. Bencana ini dipahami tou Malesung sebagai tanda bahwa mereka harus mengosongkan tempat itu. Watu Nietakan (Nietakan=bekas potong/tatak) adalah bukti mengenai peristiwa terjadinya bencana alam beruntun itu.

“Dalam penuturan orang tua, watu nietakan itu terbelah menjadi beberapa bagian akibat gempa dahsyat yang terjadi ketika itu,” terang sejarawan Minahasa, Ivan R. B. Kaunang.

Setelah terjadi bencana alam beruntun di Tu’ur in Tana’, orang Malesung kemudian berjalan ke timur sesuai petunjuk burung manguni yang menyimbolkan harapan baru. Dalam perjalanan, mereka mendapatkan petunjuk lagi untuk bergerak ke arah utara. Tibalah mereka di tempat bernama Sumesepul.

Setelah beristirahat, mereka kemudian mencari pemukiman baru hingga sampailah rombongan ini di tempat yang dinamai Ranolesi. Tempat inilah yang menjadi pemukiman awal tou Malesung setelah pindah dari Tu’ur in Tana’. Ranolesi terletak di antara roong (kampung) Toure-Tumaratas.

“Sesuai kebiasaan, mereka kemudian mencari batu untuk dijadikan mesbah. Akhirnya mereka menemukan sebuah batu besar di lereng pegunungan Tonderukan. Batu itu kemudian dinamai Watu Tumotowa Wangko. Watu Tumotowa atau Watu Paheruran berarti batu tempat memanggil Sang Khalik dan tempat memanggil para tua-tua untuk berunding,” papar akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado ini.

Lama kelamaan orang Malesung menjadi lebih banyak sehingga lahan penghidupan mulai kurang. Para Walian dan orang-orang Malesung lainnya kemudian berkumpul di Watu Tumotowa Wangko untuk mencari solusi. Saat itulah terjadi pembagian wilayah Malesung di Watu Tumotowa Wangko. Sejak itu, Watu Tumotowa Wangko dikenal dengan Watu Pinawetengan atau batu tempat pembagian.

Dari berbagai penjelasan, Tu’ur in Tana’ ternyata tidaklah hanya sekedar wale ure’ (rumah lama/tua) dimana tou Minahasa memulai kisah hidup dan saling membagi cerita terhadap anak cucu.  Tu’ur in Tana’ adalah titik awal peradaban tou Minahasa digoreskan. Bukti bahwa tou Minahasa memiliki peradaban yang luar biasa dan telah ada sejak lama. Tu’ur in Tana’ adalah tempat mengikrarkan komitmen keminahasaan. Tempat dimana nilai-nilai egaliter, humanis, mapalus, dan sejumlah nilai-nilai keminahasaan dimulai.

Tu’ur in Tana’ memiliki makna yang dalam bagi tou Minahasa. Ia adalah identitas dan bukti peradaban orang Minahasa. Barangkali persoalan bagi orang-orang Minahasa kini bukanlah tentang di mana tempat Tu’ur in Tana’ yang sebenarnya. Namun yang utama, bahwa ia adalah penanda yang mengingatkan tou Minahasa tentang way of life, filosofi hidup dan etika, identitas tou Minahasa yang sesungguhnya. (*)

 


Editor: Denni Pinontoan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *