CULTURAL
Tu’ur Ma’asering: Kedai Hutan, Cap Tikus dan Protes Rakyat
Published
3 years agoon

22 Maret 2022
“Cap Tikus minuman organik paling bersih. Bahan baku diambil dari pohon, dimasak dan hanya diambil uapnya. Model penyulingan kita adalah mahakarya para leluhur. Banyak turis asing datang, mereka akui itu. Cap Tikus, proses penyulingannya, diakui dunia. Kenapa kita sendiri tidak mengakuinya?”
Oleh: Rikson Karundeng
ANASTASYA Lensun, terpikat. Belaian Tu’ur Ma’asering sangat menyejukkan kalbu. Sesuatu yang benar-benar berbeda dan belum pernah ditemui. Keindahan dalam sensor mata seorang jurnalis dan traveler yang biasa meliput berbagai macam destinasi wisata, tak akan pernah bohong.
“Tempatnya luar biasa, alami dan sangat tradisional. Sulit dicari duanya di Sulawesi Utara, apalagi di Tomohon. Mudah dijangkau, hanya satu jam dari kota Manado. Kalau dari pusat kota Tomohon, hanya lima belas menit ke arah pegunungan Kumelembuay,” kata Lensun, ketika mengunjungi dan menikmati Tu’ur Ma’asering, Jumat, 25 Februari 2022.
Saat masuk, para pengunjung akan disambut hutan asri dan udara sejuk. Disuguhkan alam pengunungan khas Minahasa, deretan pohon aren atau enau yang dikenal masyarakat dengan seho. Pondok-pondok kayu ala kampung yang dibuat dari bambu, ditutup atap ijuk dan katu, tertata rapi. Meja dan tempat duduknya juga terbuat dari bambu dan kayu.
Destinasi wisata unik dan menarik, karena memanfaatkan hasil hutan dan perkebunan lewat sentuhan ramah lingkungan yang diaplikasikan dengan tetap menjaga nilai-nilai ekologi hutan pohon enau. Di tempat ini bisa juga menikmati berbagai bentuk kearifan lokal. Seperti pemanfaatan saguer (air nira yang disadap dari pohon enau) menjadi gula aren maupun minuman tradisional Cap Tikus (minuman beralkohol dari saguer yang disuling secara tradisional).
“Biaya masuk murah, sudah termasuk welcome drink, saguer atau Cap Tikus. Proses pembuatannya bisa juga kita lihat langsung di sini. Saguer dan Cap Tikus cocok sebagai teman untuk menikmati kesejukan di daerah yang ketinggiannya di atas seribu mdpl. Memang belum ada duanya,” ucap Lensun sembari melontar senyum.
Di tempat wisata ini para pengunjung bisa menikmati berbagai menu khas Minahasa, seperti kue cucur, onde-onde gula merah Kumelembuay, ayam kampung ‘bumbu burako’ yang agak pedas menantang.
Tiket masuk seharga Rp.15.000, bisa ditukar welcome drink. Pengunjung boleh memilih sendiri, Cap Tikus atau saguer. Sambil mengecap minuman khas Minahasa ini, di waktu tertentu ada live musik dan ma’zani (tarian khas Minahasa) dari warga sekitar yang akan menemani para tamu.
Tu’ur Ma’asering dan Filosofi Minahasa
Tu’ur Ma’asering adalah nama yang dipilih secara sadar oleh pemilik kedai di pinggir hutan lindung ini. Nama kawasan tempat ia berdiri, tapi juga sebuah identitas kultural masyarakat setempat.
“Ma’asering sebenarnya nama perkebunan tempat kafe ini berdiri. Di sini memang banyak pohon seho. Sementara tu’uz atau tu’ur, itu bahasa Tombulu (etnis di Minahasa) yang artinya pangkal pohon. Tu’ur simbol sesuatu yang pokok, keras, kuat bagi orang Minahasa. Nama itu sengaja dipilih pemilik tempat ini,” kata Josua Wajong, salah satu pengunjung rutin di Tu’ur Ma’asering.
Tu’ur juga ternyata sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat ketika bersosialisasi, minum saguer bersama sambil berbagi kisah di sekitar pohon enau.
“Kami biasa menyebut batuur untuk aktivitas berkumpul bersama sambil minum saguer di sebuah tempat khusus yang berada di dekat tempat saguer itu disadap,” jelasnya.
Menurut Wajong, kata tu’ur dan ma’asering memang sangat dekat dengan pohon enau, aktivitas masyarakat dan filosofi hidup tou (orang) Minahasa.
“Untuk kata ma’asering diambil dari kata sering atau zezing dalam pelafalan Tombulu. Artinya getah atau yang muncul waktu batoki mayang pertama di pohon seho. Saat bake’et, atau proses memotong batang buah tempat menyadap saguer, getah itu menetes. Pohon seho bagi orang Minahasa adalah simbol penjaga, pelindung dan sumber kehidupan,” terang Wajong.
Di wilayah perkebunan Ma’asering banyak terdapat sumber air. Mata air itu menjadi sumber kehidupan masyarakat. Itu mengapa hutan dan pohon aren di wilayah ini tetap dijaga oleh masyarakat.
“Pemilik Tu’ur Ma’asering dikenal sebagai seorang aktivis, anak adat yang sering berjuang menjaga hutan di wilayah Ma’asering ini. Ia tau persis, menjaga hutan, menjaga seho di wilayah ini adalah bagian dari upaya menjaga kelestarian, kesejateraan dan keberlangsungan hidup manusia di wilayahnya,” tandas Wajong, penulis asal Talete, Tomohon Tengah.
Ide Membuat Cafe di Hutan
Membuat kafe ala Tu’ur Ma’asering tak pernah direncanakan oleh sang owner, namun idenya tak juga jatuh begitu saja dari langit. Alam dan pandemi jadi pemicu lahirnya sebuah inspirasi.
“Blessing. Boleh dibilang berkat di tengah bencana,” ucap Jeffri Polii, pemilik Tu’ur Ma’asering.
Maret 2020, pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Aktivis yang tinggal di Uluindano, Tomohon Selatan, terpaksa harus balik ke wanua (kampung) halamannya, Kumelembuay, Tomohon Timur. Salah satu pemukiman yang berada di dataran tinggi tanah Minahasa.
Rumah Jeffri memang tempat berkumpul banyak orang. Mulai dari para aktivis, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, hingga para jurnalis. Mereka biasanya datang berdiskusi dan membicarakan berbagai hal tentang negara, kebijakan pemerintah, sampai soal kesejahteraan masyarakat.
“Maret 2022, virus corona melanda Indonesia. Rumah di Uluindano kan tempat nongkrong. Malu dapat sorotan karena sering jadi tempat berkumpul saat pandemi, saya berpikir untuk pindah ke kampung dulu. Di saat bersamaan, Papa saya diserang stroke. Papa kemudian minta saya datang ke kampung untuk menjaganya,” terang Polii.
Rencana menghindari ‘tradisi kumpul-kumpul’ di rumahnya tak berjalan mulus. Saat berada di Kumelembuay, yang jauh dari keramaian pusat kota, sosok yang dikenal sebagai aktivis peduli lingkungan ini tetap dikunjungi temannya dan para aktivis. Persoalan baru pun muncul.
“Karena setiap hari orang berkumpul di rumah kami, lama-lama muncul sorotan. Orang-orang di kampung, bahkan pemerintah, mulai sorot aktivitas kumpul-kumpul kami yang sering berlangsung sampai larut malam. Sampai di sini, ide membuat kafe di hutan belum terpikir,” tutur Polii yang akrab disapa ‘Jepol’.
Suatu malam, di Kumelembuay, Jeffri berjalan menyusuri hutan sekitar. Ia bermaksud berburu tikus hutan, salah hewan di menu favorit warga Minahasa. Sebelum memasuki hutan lindung, ia melewati kebun keluarganya yang berada di wilayah perkebunan Ma’asering. Sebuah tempat yang biasa menjadi lokasi ‘berburu hidup’ warga Kumelembuay.
“Daerah Ma’asering tampa mancari orang kobong. Satu waktu, saya datang berburu tikus di daerah ini. Biasanya kami panggil tikusnya, kemudian ditembak. Saat mengarahkan senter ke pelepah-pelepah seho, langsung terlintas ide di pikiran. Ternyata eksotis juga palm ini. Saat itu juga langsung terpikir untuk membuat cafe di hutan,” ungkap Polii.
Jeffri yakin, tak ada cara untuk menghindari kunjungan orang-orang yang biasa menjumpainya. Membuat tempat berkumpul di tengah hutan, sepertinya ide yang tepat untuk tetap berkumpul dan menghindari berbagai sorotan masyarakat.
Ia juga yakin, tempat yang akan ia buat bisa menjadi lokasi alternatif bagi masyarakat yang dilanda tekanan pelik akibat pandemi, dan berbagai kebijakan yang muncul di masa virus corona menyerang. Termasuk para pemuda yang mulai enggan untuk ke kebun.
“Bagi saya, corona bukan virus tapi vaksin. Dia mampu menyembuhkan mentalitas orang secara global. Dulu, di mana-mana para anak muda tidak lagi mau ke kebun. Mereka malu untuk ke kebun. Saat corona melanda, anak-anak muda kini beramai-ramai ke kebun. Sekarang mereka dengan bangga selfie (self potrait) di kebun. Ini sebuah peluang,” tandas Polii.

Menghadirkan Kesejahteraan Untuk Warga Sekitar Kedai
Tu’ur Maasering sesungguhnya bukan sekedar tepat wisata biasa yang kebetulan hadir di tengah pandemi. Tu’ur Maasering adalah idealisme, wujud kecintaan terhadap nilai-nilai tradisi warisan leluhur, dan ekspresi protes dari si pemilik ide.
“Tu’ur Ma’asering berangkat dari perjalanan hidup saya. Ini bagian dari sebuah refleksi tentang bagaimana kita merdeka di tanah sandiri,” kata Polii.
Tomohon kini terus didorong menjadi daerah pariwisata di Sulawesi Utara. Para investor terus berdatangan, seiring dengan kian menjamurnya tempat wisata di wilayah kaki Gunung Lokon ini. Namun, bagi Jepol, masyarakat Tomohon harus mendapatkan tempat yang layak dari perkembangan dan kemajuan itu.
“Tomohon kini jadi daerah pariwisata. Kalau kita tidak siap, ancaman akan mengintai kita. Saya tidak sepakat, jika ada tempat wisata dan kita masyarakat Tomohon hanya jadi pelayan di situ. Coba cek kesejahteraan pekerja di Tomohon kini, apakah sudah terjamin,” tegasnya.
Realitas di lapangan membuat Jeffri berpikir bagaimana mendorong para pelaku usaha untuk membangun pariwisata berbasis masyarakat.
“Dari situ muncul konsep wisata berbasis masyarakat. Ini tanggung jawab pemerintah, pelaku usaha dan semua stakeholder. Masyarakat harus jadi mata rantai ekonomi pariwisata, bukan pelayan,” kata Polii.
Persoalan itulah yang dipikirkan Jeffri ketika hendak membangun Tu’ur Ma’asering. Ia berpikir bagaimana membangun sebuah tempat wisata, kemudian masyarakat sekitar boleh hidup dan menjadi bagian penting dari usaha itu.
“Anda datang ke Tu’ur Ma’asering, itu membantu petani aren. Sebelum ada kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) saat pandemi, gaji petani lansia yang batifar (menyadap enau) empat belas juta rupiah per bulan. Paling rendah delapan juta rupiah per bulan. Karena hasil mereka saya buat welcome drink. Kan tradisi kita di Minahasa, pancing makang, satu seloki Cap Tikus. Semua saguer di sini saya ambil dari petani sekitar,” beber Polii.
Pengusaha tak bisa egois, lebih suka memperkaya diri sendiri. Jepol membuktikan langsung bagaimana tempat usahanya ikut menghidupkan warga sekitar. Ia juga membuktikan bagaimana lahan pertanian benar-benar mendatangkan kesejahteraan bagi petani.
“Itu kenapa saya sedih melihat anak-anak muda berlomba-lomba jadi honda (honorer daerah) dengan gaji dua jutaan. Ini soal mindset. Jadi honda, tenaga kontrak di kantor pemerintah itu cuma gaya. Seperti terlihat keren kalau memakai seragam dan bekerja di kantor. Padahal peluang usaha besar, ladang pertanian kita masih sangat luas, dan pohon seho ada di mana-mana,” ujarnya.
Bagi Jepol, Tu’ur Ma’asering hanya pemicu. Agar masyarakat bisa melihat dan berpikir, kenapa di hutan saja bisa membuat cafe.
“Waktu tempat ini berdiri, kunjungan per hari mencapai empat ribuan orang. Bertahan tujuh bulan, sampai Juni 2021. Setelah PPKM, memang menurun. Kalau normal, angka kunjungan itu bisa dengan mudah kita capai, bahkan boleh kita tingkatkan,” sebut Polii.
Tu’ur Ma’asering ada untuk membantu masyarakat sekitar. Berbagai fasilitas yang disediakan, bisa meringankan masyarakat dalam menghadapi berbagai hajatan.
“Sekarang pesta, hari ulang tahun, kita arahkan weekend. Mereka dapat kemudahan. Sebab tempat tak harus sewa, kita siapkan live band dan berbagai hiburan langsung di panggung. Mereka hanya perlu tiket masuk dan pesan makanan. Menu yang kita siapkan murah, tapi tidak murahan. Harga cukup sepuluh ribu sampai tiga puluh ribu rupiah per menu,” kata Polii.

Sebuah Perlawanan
Peningkatan ekonomi rakyat dan pelestarian lingkungan itu konsep inti dari Tu’ur Ma’asering. Sementara, menghadirkan tempat penyulingan Cap Tikus di kawasan wisata ini merupakan sebuah bentuk perlawanan.
“Para pengunjung yang masuk, tanpa sadar sudah mendukung petani dan lingkungan. Di samping itu mendukung pelestarian tradisi warisan leluhur kita. Kenapa di tampa momasa Cap Tikus saya tulis penyulingan, ini protes saya,” tegas Polii.
Jepol menilai, pemerintah tidak fair terhadap petani. Petani-petani aren sebenarnya pahlawan konservasi. Karena aren benteng terakhir pelestarian lingkungan di Minahasa.
“Karena pohon aren mampu menahan erosi dan air yang banyak. Petani Cap Tikus di Minahasa hanya berpikir bagaimana di rumah bisa makan dan anak-anak boleh sekolah. Tapi saat terjadi keributan, mereka yang disalahkan. Masakkan keributan tanggung jawab petani?” ketusnya.
Jepol berharap seperti rindu ribuan petani aren di Minahasa, Cap Tikus bisa dilegalkan.
“Coba lihat negara-negara maju, negara-negaa industri, penghasilan terbesar dari pajak minuman beralkohol. Seperti wine, dan lain-lain. Sekarang, kalau minuman lokal kita dilegalkan, berapa banyak orang Minahasa akan sukses dan menikmati kesejahteraan,” ujarnya.
Jepol berpendapat, Cap Tikus minuman paling bersih. Sebuah karya mengagumkan dari para leluhur Minahasa.
“Cap Tikus minuman organik paling bersih. Bahan baku diambil dari pohon, dimasak dan hanya diambil uapnya. Model penyulingan kita adalah mahakarya para leluhur. Banyak turis asing datang, mereka akui itu. Cap Tikus, proses penyulingannya, diakui dunia. Kenapa kita sendiri tidak mengakuinya?” ucap Polii dengan raut wajah sedih.
Di Tu’uur Ma’asering, Jepol menyajikan Cap Tikus dengan rasa dan aroma yang khas. Namun ia menegaskan, tempatnya tidak menjual miras (minuman keras).
“Rahasia Cap Tikus itu minum sedikit. Di sini saya masak bersama sunkist, makanya beraroma dan terasa manis. Saya di rumah memang seiring mix Cap Tikus dengan buah-buah. Setelah proses fermentasi, beberapa bulan kemudian baru diminum. Kalau di Tu’ur Ma’asering, tidak jual miras. Cap Tikus dan saguer hanya welcome drink,” tegas Polii sembari menjelaskan jika pohon aren di sekitar kedainya ditanam tahun 1998-1999. (*)
