Connect with us

FEATURE

UKIT: Visi Besar dalam Kemelut

Published

on

22 Februari 2019


Oleh: Denni Pinontoan


Sebuah visi besar telah menjadi peristiwa, namun kini ia dalam kemelut

 

RABU, 20 FEBRUARI 2019. Hujan baru berhenti. Namun udara sejuk Tomohon masih terasa. Awan tebal yang menutupi gunung Lokon perlahan mulai menipis. Suasana di kampus Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), tidak seperti biasa. Hari ini, kampus bersejarah yang terus hidup dalam ingatan banyak orang menampakkan gairah. Sekian lama keramaian menghilang di tempat ini. Tanggal 20 Februari 1965, UKIT berdiri.

Di sebuah ruangan.

UKIT berdiri tidak beberapa lama setelah Permesta,” kata Pendeta Emeritus Maria Assa mengenang kelahiran UKIT. Istilah ‘emeritus’ biasanya dikenakan kepada pada pendeta yang sudah menyelesaikan tugasnya secara struktural kelembagaan.

Perjuangan Semesta (Permesta) terjadi tahun 1957-1962. ‘Perang sudara’ yang terjadi sejak tahun 1958 memporak-porandakan Minahasa. Rumah-rumah hangus terbakar. Ratusan ribu rakyat mengungsi. Sesama orang Minahasa baku hamtam.

“Waktu ke datang ke Tomohon dulu, belum ada oto, sepeda motor. Masih sejuk sekali,” ujar Pdt. Emeritus Betsi Pesik. Betsi adalah angkatan ke-7 Fakultas Teologi UKIT. Selama 39 tahun ia menjadi pendeta jemaat GMIM.

“UKIT so bersinar dari dulu. Waktu kita mahasiswa, torang pe tim olah raga pernah menjadi juara dalam Pekan Olah Raga Mahasiswa Sulawesi Utara,” kata Pdt. Emeritus Boyke Mait. Ia adalah mahasiswa Fakultas Teologi angkatan ke-IV.

“Waktu itu atlet renang teman kami, Maria Assa. Kalau saya atlet olah raga volleyball,” tambahnya lagi.

Cerita-cerita ini muncul pada sesi diskusi ‘Cerita UKIT Tempo Doeloe’. Sesi ini bagian dari diskusi yang diselenggarakan dalam rangka perayaan Dies Natalis ke-54 Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), Rabu 20 Februari 2019, di Aula universitas ini.

Sebelum acara diskusi, pagi kira-kira pukul 08.00 sampai 09.30 WITA, ibadah syukur Dies Natalis digelar di lapangan depan kantor pusat. Hujan pagi yang turun ketika ibadah sedang berlangsung seolah memberi tanda tentang apa yang terjadi sejak beberapa tahun lalu di kampus ini.

Namun, hujan dapat pula dimaknai sebagai berkat, kata orang-orang di situ.

Konflik yang dimulai tahun 2006 hingga kini belum selesai. Setiap merayakan dies natalis di masa sulit ini, harapan pulih dari kemelut terpancar dari wajah-wajah warga kampus yang berusaha ceria dan optimis.

“UKIT YPTK-GMIM atau UKIT Yayasan Perguruan Tinggi Kristen – Gereja Masehi Injili di Minahasa mesti disebut lengkap. Agar orang-orang tahu, UKIT adalah milik GMIM seperti ketika dia berdiri tanggal 20 Februari 1965,” ujar Pendeta Augustien Kaunang yang dalam diskusi ini tampil sebagai moderator.

***

Nama perguruan tinggi ini adalah Universitas Kristen Indonesia Tomohon atau biasa disingkat UKIT. Badan hukumnya adalah Yayasan Perguruan Tinggi Kristen – Gereja Masehi Injili di Minahasa. Ia sering ditulis “UKIT YPTK-GMIM”. Nama ini selalu mesti disebut lengkap, kata ketua Badan Pengurus YPTK-GMIM, John F. Mailangkay. Sebabnya, kata dia, sejak tahun 2007, GMIM telah mendirikan sebuah perguruan tinggi bernama sama, yaitu UKIT.

“Tapi, mesti diingat dan diketahui, badan hukumnya adalah baru, yaitu Yayasan Wenas. YPTK-GMIM tidak pernah dibubarkan secara hukum seperti prosedur sesuai dengan UU Yayasan. Jadi, UKIT yang berbadan hukum YPTK-GMIM adalah sah,” kata Mailangkay.

Sejak tahun 2008 setiap UKIT YPTK-GMIM merayakan Dies Natalis, pada saat yang sama UKIT berbadan hukum Yayasan Ds. A.Z.R. Wenas (YAZRW) juga merayakannya. Bagi Mailangkay, hal itu adalah sebuah keanehan. Ia lalu menganalogikannya dengan perayaan ulang tahun seseorang yang tidak mengikuti tanggal kelahiran seperti yang tercatat pada akte kelahiran.

“Aneh. Masakan baru berdiri tahun 2007 lalu sudah merayakan Dies Natalis ke-54,” ujar Mailangkay menunjuk pada UKIT Yayasan Wenas.

“Tidak diragukan lagi, UKIT YPTK-GMIM adalah sah,” kata Toar Palilingan, warga GMIM dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Samratulangi, Manado yang juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut.

“Sebenarnya menyelesaikan masalah UKIT tidak sulit. Patuh pada putusan hukum. Itu saja, selesai,” tambah Sofyan Yosadi, pengacara dan juga Ketua Ikatan Alumni UKIT.

“Oleh sebab itu, kita harus mengatakan kepada semua warga GMIM, bahwa UKIT YPTK-GMIM adalah sah secara hukum. Putusan-putusan hukumnya harus disebar agar dibaca oleh warga GMIM,” kata Pdt. Letkol Jefry Maramis, M.Teol, alumni Fakultas Teologi yang melayani di dunia militer.

***

Konflik UKIT dimulai tahun 2005.

Bermula dari penolakan Badan Pekerja Sinode (BPS) GMIM periode 2005-2010 atas hasil pemilihan rektor. Konflik pun dimulai. Ia berujung pada proses hukum. Pembuktian hukum hingga pada tingkat tertinggi, yaitu kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK).

Januari 2010, terbit Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi YAZRW. Lalu, YAZRW melakukan PK. Lagi-lagi ditolak. Maka keluar putusan hukum inkracht MA RI No.134PK/Pdt/2011 tanggal 10 Mei 2011 yang dalam amar putusannya menyatakan, ‘menolak’ upaya peninjauan kembali Yayasan GMIM Ds. A.Z.R. Wenas.

Dengan begitu benarlah putusan Pengadilan Tinggi Manado tahun 2007 yang menyatakan, hasil pemilihan rektor tahun 2005 dan penetapan oleh BP YPTK-GMIM terhadap Pdt. Dr. Richard A.D. Siwu, MA, Ph.D., sebagai rektor UKIT adalah sah.

Tapi, di saat proses hukum masih berlangsung, Kementerian Pendidikan Nasional mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 220/D/0/2007, tertanggal 29 November 2007 (Kepmendiknas 220/D/0/2007) tentang Alih Kelola UKIT YPTK-GMIM ke Yayasan GMIM Ds. AZR Wenas.

Atas dasar itu, oleh pihak-pihak tertentu sering menuduh penyelenggaraan UKIT oleh YPTK-GMIM tidak sah alias ilegal. Menanggapi tudingan itu, Februari 2017, YPTK-GMIM mengeluarkan rilis kepada media.

Pada rilis itu disebutkan, legalitas UKIT-YPTK GMIM berdasar pada badan hukum YPTK GMIM yang didirikan sejak tahun 1965 dan putusan hukum inkracht Mahkamah Agung Republik Indonesia.

“Beberapa waktu lalu, salah satu media cetak di Sulut mempublikasi pengumuman dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang menyebutkan bahwa UKIT –YPTK GMIM adalah ilegal. Kami mau tegaskan, bahwa hal tersebut tidak berdasar,” kata Mailangkay selaku Ketua BP YPTK GMIM dalam rilis tersebut.

Tentang Kepmendiknas 220/D/O/2007, kata Mailangkay, pada tanggal 13 Mei 2013 melalui audit khusus yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbud ditemukan bahwa bahwa akta perjanjian atau berita acara alih kelola UKIT dan YPTK GMIM kepada Yayasan GMIM Ds. A.Z.R. Wenas (YAZRW) tidak ada.

“Padahal, hal tersebut adalah salah satu persyaratan untuk diterbitkannya keputusan alih kelola. Jadi, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 220/D/O/2007 tanggal 29 November 2007 itu diragukan. Sudah diingatkan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbud tapi diabaikan oleh Kopertis dan Dikti,” jelas Mailangkay.

Mailangkay menjelaskan, lanjutan dari audit khusus tersebut, pihak Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah dua kali merekomendasikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) agar  meninjau ulang Kepmendiknas No. 220/D/0/2007 tanggal 29 November 2007 dan  menginstrusikan Koordinator Koordinasi Perguruan Tingi Swasta (KOPERTIS) Wilayah IX Sulawesi memberikan pelayanan kepada UKIT YPTK-GMIM sesuai dengan prosedur yang berlaku.

“Pihak Inspektorat Jenderal Kemendikbud juga menginstrusikan Koordinator KOPERTIS Wilayah IX Sulawesi untuk memfasilitasi proses pengalihan/integrasi pengelolaan kegiatan Tridarma dari Yayasan GMIM Ds. A.Z.R. Wenas kepada YPTK-GMIM dan melaporkan hasilnya kepada Dirjen Dikti (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) dan tembusannya disampaikan kepada Inspektur Jenderal Kemendikbud,” kata Mailangkay mengutip rekomendasi tersebut.

Tanggal 12 April 2007, Pdt. Dr. Hein Arina terpilih sebagai Rektor. Ia menjadi Rektor UKIT yang bernaung di bawah Yayasan Ds. A.Z.R. Wenas. Namun, bibit perseteruan internal sudah mulai nampak. Di dalam UKIT Yayasan Ds. A.Z.R. Wenas, pertikaian akhirnya terjadi. Konflik pecah di dalam konflik.

Diawali pada Mei 2015, saat Yopie A.T. Pangemanan, S.Pd., MM, terpilih menjadi rektor. Namun, pada Agustus 2016, Badan Pengurus Yayasan Ds. A.Z.R. Wenas memberhentikannya dari jabatan sebagai rektor.

Pada situs resmi UKIT YAZRW, sebuah pengumuman tertanggal 20 Juli 2017 menjelaskan masalah tersebut. Disebutkan bahwa alasan pemberhentian tersebut menurut Badan Pengurus YAZRW terkait tentang temuan mengenai ijazah Strata 2 (S2) Pangemanan yang tidak sah.

8 Februari 2017, kuasa hukum Badan Pengurus YAZRW melaporkan dugaan ijasah palsu tersebut kepada Kepolisian Daerah Sulawesi Utara (Polda Sulut).

Tapi, pada 13 April 2017, Polda Sulut mengeluarkan Surat bernomor: B/233/IV/2017/DitReskrimum perihal Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP). Surat ini menjelaskan bahwa perkara tersebut tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan karena bukan merupakan tindak pidana.

Dalam sebuah surat pengumuman yang ditandatangani oleh Wakil Rektor Bidang Akademik, Erens P. Sanggelorang menyebutkan, kisruh yang menimpa Pdt. Yopie A.T. Pangemanan bermula dari upayanya untuk menertibkan pelanggaran akademik yang terjadi di program Pascasarjana.

“Rektor berupaya agar pengelolaan akademik di Pascasarjana diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku, tetapi faktanya pihak Pascasarjana tidak lagi mengikuti peraturan tersebut,” demikian klaim Sanggelorang dalam surat tersebut.

Konflik dan kisruh yang terjadi antara pihak Yopie A.T. Pangemanan dengan Badan Pengurus YAZRW yang didukung penuh oleh BPMS GMIM akhirnya merembes dan menjadi konsumsi publik di Sulut.

Pangemanan terus ditekan dan didesak untuk turun dari jabatannya sebagai rektor.

Meski telah melakukan segala upaya untuk bertahan, pada akhirnya pihak Pangemanan harus meninggalkan kantor pusat UKIT YAZRW. Didukung oleh pengamanan pihak kepolisian, Badan Pengurus YAZRW berhasil memaksa Pangemanan untuk keluar dari kampus utama UKIT YAZRW yang berada di Kuranga, Talete, Tomohon.

Pada 15 Desember 2017 bertempat di aula Sinode GMIM, Prof. Dr. Mezak Arnold Ratag dilantik sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Rektor UKIT YAZRW.

Pelantikan tersebut disambut negatif oleh pihak Pangemanan yang tetap bersikeras bahwa UKIT di bawah pimpinannya adalah sah.

Sebagai bentuk resistensi langsunya, kantor rektorat dan kampus UKIT versi Pangemanan pindah dan menempati sebuah gedung di Kakaskasen, Tomohon. Pangemanan dan para pendukungnya juga tetap bersikukuh dengan tetap menggunakan nama UKIT.

Jadi, hinga kini ada tiga kelompok yang mengklaim nama UKIT. Kelompok pertama adalah UKIT YPTK-GMIM, dengan Pdt. Siwu sebagai rektor, kedua adalah UKIT YAZRW dengan rektornya Prof. Ratag, dan UKIT versi rektor Pangemanan.

Ada perkembangan menarik yang terjadi beberapa bulan terakhir ini.

Rektor UKIT YAZRW, Prof. Ratag dan Rektor UKIT YPTK-GMIM, Pdt. Siwu telah beberapa kali melakukan pertemuan. Pada diskusi teranyar yang mengambil tempat di UKIT YPTK-GMIM Rabu, 20 Februari yang lalu, Prof. Ratag hadir dan bahkan memberikan sambutan.

Dalam sambutannya, Ratag mengatakan bahwa setelah mempelajari secara seksama tentang masalah UKIT, meneliti dokumen-dokumen dan mempelajari hal-hal terkait konflik tersebut, maka dirinya telah mengambil kesimpulan usai mengaku telah mengetahui kebenarannya.

Di depan publik, Prof. Ratag menyatakan tekadnya menyelesaikan masalah UKIT dengan berpijak pada kebenaran hukum dan iman. “Saya orang yang tidak bisa dibeli,” kata Ratag.

***

Kelahiran UKIT tidak lepas dari kepeloporan Ds. Albertus Zacharias Roentoerambi Wenas.

Ia adalah seorang Kristen Minahasa yang mengenyam pendidikan teologi di Theologische School Oegstgeest yang berada di Rotterdam, Belanda pada kisaran tahun 1915 sampai tahun 1921. Setelah selesai mengikuti pendidikan, ia kembali ke Minahasa dan menjadi pendeta jemaat.

Tahun 1942, di masa pendudukan Jepang, ia menjadi Ketua Sinode GMIM. Sebelumnya, sejak berdiri tahun 1934, GMIM dipimpin oleh pendeta-pendeta Belanda.

Usai masa penjajahan Belanda, datang masa pendudukan Jepang. Lalu menyusul Permesta dan pertentangan-pertetangan ideologi sampai tahun 1965 itu. UKIT hadir pada sebuah masyarakat Minahasa yang serba memprihatinkan. Berdirinya UKIT di tahun 1965 tentu saja tidak bisa dilepaskan dari visi besar seorang Ds. A.Z.R. Wenas.

Pdt. William Langi pada tulisannya berjudul “Sekilas Djenak Ds. A.Z.R. Wenas 1961-1967” dalam buku Ds. A.Z.R. Wenas (1897-1967) Pelajan Geredja di Minahasa, Bulletin Dewan Gereja-gereja Sulutteng terbit tahun 1968 menulis, orang yang paling gembira ketika UKIT berdiri pada 20 Februari 1965 adalah Ds. Wenas.

“Ia gembira sebab ini salah satu tjita-tjita lamanja, kiranja rakjat Minahasa mendapatkan Pendidikan Tinggi Kristen bagi kesedjahteraan dan peningkatan hidup, dimana geredja mengusahakannja dalam kerdjasama dengan geredja partner dan pemerintah,” tulis Pdt. Langi.

Pdt. Langi adalah pemimpin Perguruan Tinggi Theologi (PTTh) Tomohon sejak berdiri tahun 1962. Ketika UKIT berdiri, PTTh diintegrasikan ke dalam universitas ini dan menjadi Fakultas Teologi. Pdt. Langi kemudian diangkat menjadi dekan di fakultas tersebut.

Mimpi besar Wenas itu lalu dipercayakan kepada seorang anak Minahasa yang saat itu dipandang mampu mengemban visi besar tersebut. Anak Minahasa itu lalu dipercaya sebagai Rektor UKIT pertama ketika berdiri pada tahun 1965. Nama sosok tersebut adalah Prof. Dr. Med. S.J. Warouw.

Prof. Warouw berasal dari Bitung, Amurang. Ia anak ke-8 dari 9 bersaudara pasangan Johanis Warouw dan Maria Tumbelaka. Johanis Warouw semasa hidup bekerja sebagai guru bantu.

Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar, menengah dan atas, Warouw lalu menempuh pendidikan tinggi di  School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), di Batavia. STOVIA adalah sekolah untuk calon dokter di masa Hindia Belanda. Tahun 1924 ia menjadi dokter. Saudara perempuannya, Anna Warouw juga adalah dokter.

Tahun 1934, Warouw menamatkan studinya di fakultas kedokteran di Leiden. September tahun 1935 ia memperoleh gelar Dr. Med.

Pada tahun 1947, Warouw menjadi Menteri Kesehatan sekaligus Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT). Tahun 1949 dalam serangkaian pertemuan di Den Haag untuk menyelesaikan masalah antara Indonesia dengan Belanda secara diplomasi, Warouw ikut hadir bagian dari Komite Ketatanegaraan Minahasa (KKM).

Rangkaian pertemuan ini di kemudian hari disebut sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB). Tokoh-tokoh intelektual Minahasa di KKM, selain Warouw adalah Prof. Dr. J.C. Engelen, E.D. Dengah, Mr. K.K. Ranti G. Rampen dan G.M.A. Inkiriwang..

“KKM dibentuk pada Mei 1949 dengan pandangan untuk memisahkan Minahasa dari NIT dan ikut berperan dalam Konferensi Meja Bundar yang akan datang untuk kepentingannya sendiri,” tulis Gerry Van Klinken dalam 5 Penggerak Bangsa yang Terlupa, Nasionalisme Minoritas Kristen, terbit tahun 2010.

Tahun 1955  Warouw menjadi guru besar universitas untuk ilmu mata pada Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makasaar.

“Ia (Ds. Wenas, red) bangga mendapatkan Prof. Dr. Med. S.J. Warouw sebagai pemimpin utama usaha ini,” ungkap Pdt. Langi.

UKIT lahir di tengah keprihatinan yang mendalam Ds. Wenas sebagai Ketua Sinode GMIM melihat situasi yang sedang berlangsung di gereja dan masyarakat di Minahasa. Ds. Wenas prihatin dengan keadaan yang diakibatkan oleh pertentangan politik di tengahmasyarakat. Dia menyaksikan sebuah masyarakat, seperti ditulis Pdt. Langi, “jang lebih tjinta cinta kepada partai politik daripada tjinta kepada Geredja Jesus Kristus.”

“Beliau pun sedih melihat adanja djemaat jang dibawah pimpinan pendeta semakin didjadikan arena perdjuangan politik daripada menjadi saksi-saksi Jesus Kristus,” ungkap Pdt. Langi. “Beliau sedih melihat pendeta2 jang menderita karena serba kekurangan dalam ekonomi dan pengetahuan/ketjakapan.”

UKIT berdiri tepat tiga tahun setelah pergolakan Permesta berakhir.

Di masa ‘perang sudara’ Permesta, kata Gerry van Klinken dalam artikelnya The Fate of Federalism: North Sulawesi from Persatuan Minahasa to Permesta (2007), Ds. Wenas adalah tokoh gereja yang telah berperan mengakhiri konflik secara damai.

Pada UKIT ada visi besar tentang iman yang otentik, perdamaian, kesejahteraan dan pengetahuan yang membebaskan.

Toh, berperan penting membidani kelahiran UKIT, tidak membuat Ds. Wenas merasa sebagai pemilik UKIT. Ia menolak universitas ini memakai namanya. Pdt. Prof. Dr. W.A. Roeroe, mantan ketua sinode GMIM pada bukunya Kenangan Kepada Orang Benar Membawa Berkat mengutip ucapan Ds. Wenas ketika menjawab usulan rektor pertama UKIT, Prof. Warouw agar namanya ditambahkan pada nama ‘UKIT’.

“Saya tidak mendirikan semua ini supaya nama saya ditempel ke situ,” tulis Pdt. Roeore meniru ucapan Ds. Wenas kepada Prof. Warouw. (*)

 


Editor: Daniel Kaligis

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *