Connect with us

FEATURE

Veronica Franco: Pelacur, Intelektual, Penyair

Published

on

10 Januari 2019


Oleh: Denni Pinontoan


“Aku mengaku memilih jadi pelacur yang bebas, dari pada jadi istri yang terpenjara,” kata Veronica Franco dengan berani di sidang inkuisisi kota Venezia pada sekitar tahun 1577.

 

KALIMAT ITU adalah salah-satu cuplikan dialog dalam film Dangerous Beauty (1998) yang dirilis dengan judul A Destiny of Her Own. Film ini diangkat dari buku karya Margaret F. Rosenthal berjudul The Honest Courtesan. Sebuah buku yang bercerita tentang kehidupan seorang perempuan dari Venezia bernama Veronica Franco.

Perempuan ini benar-benar nyata. Ia adalah seorang perempuan cantik, pintar dan pandai berpuisi. Ia hidup di Venezia pada abad enam belas. Veronica adalah seorang pelacur yang lahir pada tahun 1546 di Venezia. Ayahnya bernama Francesco Franco dan ibunya Paola Fracassa. Ibunya adalah seorang pelacur terhormat atau cortigiana onesta.

Di usia muda, Veronica belajar seni dari ibunya. Ia dilatih mengembangkan bakat-bakat alamiah dan kemampuan untuk memperoleh pernikahan yang menguntungkan secara finansial. Tak heran, ketika memilih menjadi cortigiana onesta, Veronica dapat memikat hati banyak lelaki bangsawan di Venesia. Bahkan ia pernah berhubungan dekat dengan Henry III, Raja Perancis, meski hanya sesaat.

Venezia, adalah sebuah kota modern di masa tersebut. Pelacuran menjadi pilihan untuk bertahan hidup di tengah feodalisme kaum bangsawan.

“Cinta bukan soal hati, tapi politik,” kata Marco, seorang pemuda dari keluarga berkelas yang jatuh cinta pada Veronica.

Di kota ini pelacur terbagi dua kelas: pertama, disebut cortigiana onesta atau pelacur intelektual, dan yang kedua cortigiana di lume, pelacur kelas bawah. Pelacur jenis ini sering melakukan prakteknya di dekat Jembatan Rialto. Veronica masuk di kelas pelacur kelas pertama, yang dicari-cari dan dikagumi laki-laki dari kelas bangsawan. Veronica adalah pelacur, penyair dan intelektual. Perempuan ini menulis dua buku puisi: Terza Rima, terbit pertama kali tahun 1575 dan Lettere Familiari pada 1580. Dia juga mengumpulkan karya-karya penulis terkemuka lainnya ke dalam antologi. Sukses dengan karya-karya sastranya itu, Veronica mendirikan sebuah badan amal untuk para pelacur dan anak-anak mereka.

Pada tahun 1575, ketika wabah melanda kota, Veronica terpaksa meninggalkan Venezia. Akibatnya ia kehilangan banyak kekayaan. Rumah dan harta bendanya dijarah. Dia kembali pada tahun 1577 di kota itu. Di sana ia diadili dalam sidang inkuisisi dengan tuduhan sebagai pelaku kejahatan, sebagai seorang penyihir. Namun dengan penuh keyakinan, ia membela diri. Tuduhan-tuduhan terhadap dirinya pun akhirnya dibatalkan. Kemungkinan, hidup Veronica di masa-masa jelang tutup usia dalam keadaan sangat sederhana, kalau tidak disebut miskin.

Film A Destiny of Her Own menceritakan kehidupan Veronica yang penuh gejolak. Cinta, nafsu, kekuasaan politik dan agama, meminggirkan banyak kaum perempuan di Venesia waktu itu. Namun, lewat puisi-puisinya yang sering dibaca di hadapan para lelaki bangsawan, dia menyindir feodalisme yang dilegitimasi agama. Perempuan, dalam dominasi kaum bangsawan di Venesia dihargai seperti barang dagangan. Cinta dan harga diri serta hak-hak hidup harus takluk di bawah sistem kelas dan kekuasaan patriaki. Dan, Veronica melawan dengan caranya sendiri!

Ini kisah tentang perempuan yang tak mau tunduk pada kuasa ideologi, teologi dan sistem kelas yang hegemonik.

Margaret L. King dan Albert Rabil, Jr, mengulas secara padat pada buku Veronica Franco: Poems and Selected Letters – sebagai editor dan penerjemah adalah Ann Rosalind Jones dan Margaret F. Rosenthal, terbit tahun 1998 – tentang sejarah misogini Eropa. Veronica adalah suara lain yang hadir dalam budaya yang mewariskan kebencian mendalam terhadap perempuan.

“Suara lain muncul dengan latar belakang sejarah misogini tiga ribu tahun – kebencian terhadap perempuan yang berakar dalam peradaban yang terkait dengan budaya Barat: Ibrani, Yunani, Romawi, dan Kristen. Misogini yang diwarisi dari tradisi-tradisi ini meliputi sistem intelektual, medis, hukum, agama, dan sosial yang berkembang selama Abad Pertengahan Eropa,” ungkap Margaret L. King dan Albert Rabil, Jr.

***

Veronica mendeklarasikan dirinya: “Aku mengaku memilih jadi pelacur yang bebas…” Sebelum dirinya dirajam hukum dan moral misogini patriarkis, Veronica lebih dulu harus menyatakan sikapnya. Suara Veronica adalah suara perempuan di tengah kuatnya ideologi kebencian terhadap kaum mereka. Dengan melacurkan diri, maka Veronica menjadi subyek atas dirinya, mengontrol dirinya dengan kesadaran penuh pada keperempuanannya. Suara lain Veronica adalah gugatan atas kemunafikan moral dan kekuasaan brutal.

Dalam kemerdekaan atas tubuh dan diri seutuhnya, Veronica kemudian berupaya menjadi seorang perempuan yang mencitai kehidupan. Dia menyatakan bela rasa mendalam terhadap para perempuan yang hidup dalam penindasan ideologi ketuanan. Mereka yang dibenci oleh warisan teologi dan moral dari zaman patriarki.

Pada 1564, di usia delapan belas tahun, ketika sedang hamil untuk pertama kalinya, Veronica menulis sebuah surat wasiat untuk mewariskan uang dan emas kepada anaknya jika kelak menjadi gadis, kepada pelayan perempuannya, dan untuk gadis-gadis miskin di Venezia.  Dalam surat wasiat keduanya, tahun 1570, Veronica menunjukkan keprihatinan sama untuk para perempuan di kota itu.

Veronica adalah pelacur. Tapi ia melacur dengan kesadaran moral dan dengan tingkat intelektualitas tinggi. Dia menolak pelacuran sebagai perbudakan. Dalam sebuah surat kepada seorang teman perempuan yang telah mengambil keputusan untuk melacurkan anaknya sendiri, Veronica berjanji untuk membantu menempatkan putrinya itu di Casa delle Zitelle. Ini semacam tempat khusus bagi anak-anak gadis yang memberi mereka perlindungan dari paksaan menjadi pelacur. Setelah tinggal dalam periode tertentu, gadis-gadis ini dapat menikah secara terhormat. Tawaran bantuan ini, tidak semata bagi sang putri, tapi juga bagi ibunya dari kehilangan cinta dari sang anak. Namun sang ibu itu menolak maksud baik Veronica.

Dalam suratnya yang berikut, Veronica memberi peringatan kepada temannya itu bahaya kehidupan sebagai pelacur karena kemiskinan. Dia menyebutkan resiko kekerasan fisik dan sakit penyakit. Veronica rupanya telah cukup belajar dari dunia kepelacuran yang dia tekuni meski pun dia tidak pernah merasa sebagai korban, apalagi menuduh ibunya sendiri telah menjerumuskan dia ke dunia itu. Veronica telah memilih jalan itu dalam kesadaran penuh, keberanian dan kecerdasan tinggi. Rupanya, ini adalah jalan bagi dia untuk melawan misogini yang kuat dalam masyarakatnya.

Dalam sebuah puisi balasannya untuk seorang laki-laki bernama Marco Vanier, Veronica berkata:

Let no one stray from the beaten path
who is trying to find safe shelter
before the night comes to catch up with him.

The path of hope is not straightforward,
for more often than not, it leads astray
with lying words and false pretense;

the path of certainty is the right way,
which always leads to peaceful rest
and is safe on both sides and from behind;

to this path I raise up my eyes’ thought
and, disappointed by words and charm,
I leave behind all their misleading lures.

Diterjemahan dari bahasa Italia oleh Ann Rosalind Jones dan Margaret F. Rosenthal

***

Hingga abad dua puluh satu ini, di sini apalagi, di negara berjuta-juta kuil indoktrinasi moral, jalan yang dipilih Veronica sangat sulit dimengerti. Pelacur dan pelacuran adalah dosa! Tapi pendosa terutama adalah perempuan. Sebagai status yang dikonstruksi bias – pelacur, sebagai praktek transaksi – pelacuran, ia mestinya terjalin dengan konteks yang rumit.

Pada setiap razia moral di banyak kasus pelacuran, sebelum pengadilan digelar tersangka sudah diumumkan. Pada saat itu juga hukuman diputuskan dan harus dijalani. Perempuan adalah penyebab segala kemaksiatan, keberdosaan, dan bencana moral, begitu putusannya. Sebuah ideologi warisan dari doktrin dan teologi yang telah menghukum jutaan perempuan sepanjang berabad-abad, misogini.

Ideologi kebencian ini telah tertanam dalam kesadaran kolektif. Diajarkan berulang-ulang. Dikonstruksi dan direproduksi terus menerus meracuni generasi kini dan yang akan datang. Begitu sehingga penghakiman dilakukan beramai-ramai terhadap mereka yang sejak dahulu kala disebut sebagai pelacur. Di kepala dan apalagi  iman, pelacur itu berjenis kelamin perempuan. Veronica melawan keyakinan semu itu. Pelacur tidak berjenis kelamin. Ia bisa siapa saja. Sepertinya, yang hendak mau dikatakan oleh Veronica dalam puisi-puisi dan kehidupannya, bahwa pelacur dan pelacuran tidak bermakna tunggal.

Untuk menggugat itu, Veronica bersuara, suara lain terhadap apa yang dimengerti sebagai moralitas dalam masyarakat. Ia kemudian berjuang dengan cara menjadi pelacur terhormat, semacam cara untuk membongkar doktrin tunggal yang diwariskan turun-temurun dalam moralitas dan spiritualitas palsu kaum bangsawan, para penguasa. Dalam keyakinan palsu mereka, pelacur harus selalu rendah.

Tapi Veronica menggugatnya dengan tubuh dan suara. Seolah dia mau berkata, di dalam diri setiap pelacur ada hak yang melekat padanya, dan tiada ada satu orang pun boleh mencabutnya. Hak untuk tetap sebagai manusia.

Demikian pula, ketika Veronica berani menantang debat para bangsawan laki-laki, sepertinya ini adalah caranya untuk mengungkap hal yang di masa dia, dan juga masa kini dilindungi oleh moralitas buatan itu, yaitu para penguasa. Cara Veronica ini mengingatkan kita pada sebuah ayat yang ditulis dua milenium lalu. Ia bukan kecaman, tapi justru sebuah pernyataan yang tajam menusuk ke jantung kemanusiaan:  “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

Hanya dengan satu kalimat itu, maka runtuhlah moralitas palsu. Mestinya demikianlah yang terjadi.(*)

 


Editor: Daniel Kaligis

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *