ESTORIE
Wabah DBD dalam Mimpi Kemajuan Kota
Published
6 years agoon
By
philipsmarx14 Januari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Wabah DBD terjadi bukan hanya karena musim yang berganti, melainkan juga pola pembangunan kota.
kelung.com – Di masa kolonial sampai sebelum terjadinya krisis global, Surabaya adalah sebuah kota besar di Jawa bagian Timur. Sebagai kota industri, ekonomi Surabaya berkembang secara pesat. Pelabuhannya ramai dikunjungi. Perkebunan tebu terdapat di banyak tempat. Gula menjadi komoditi yang mendorong perkembangan ekonomi kota itu.
“Melalui penggunaan uap untuk penggilingan gula, serta untuk kereta api, galangan kapal, dan industri, Surabaya tumbuh menjadi salah satu kota pelabuhan besar di Asia modern, dengan kedudukan tinggi di samping Calcutta, Rangoon, Singapura, Bangkok, Hong Kong, dan Shanghai ,” tulis Howard W. Dick, dalam bukunya Surabaya City of Work: A Socioeconomic History 1900-2000.
Tapi, krisis global membuat Surabaya menghilanng dari peta dunia, kata Dick. Krisis ini dimulai tahun 1929 namun dampak luasnya dirasakan tahun 1930-an.
Belum pulih dari dampak krisis, pada November 1945 terjadi perang hebat di sana. Perkembangan ekonomi lalu beralih ke Jakarta. Surabaya mengalami stagnasi
Begini Dick menggambarkan situasi kota Surabaya waktu itu: Bagian depan gedung-gedung mewah tidak lagi dicat dan mengelupas. Tidak lagi tampak kesibukan yang berarti di situ. Kantor-kantor perusahaan yang dulu terkenal itu terbagi menjadi beberapa perusahaan kecil. Sampah-sampah menimbun sungai-sungai dan kanal. Tepiannya dipenuhi gubuk liar. “Sebuah kota yang rusak,” kata Dick.
Surabaya, kota bisnis tua yang padat dengan penduduk hasil urbanisasi di masa jaya. Pada pertengahan tahun, ketika musim kemarau, suhu kota Surabaya meningkat. Namun pada malam hari menjadi dingin. Pada siang hari, debu ada di mana-mana.
Mendekati akhir tahun, sejak bulan Oktober angin kencang membawa datangnya musim hujan. Jelang Desember hujan datang tak henti-hentinya yang terus meningkat hingga Januari. Kertas-kertas menjadi lembek dan lembab. Pakaian dan sepatu berjamur. Kamar berbau lembab. Sistem saluran air, kanal, dan pompa yang dirancang oleh Belanda tak lagi berfungsi dengan baik. Saluran-saluran air pun tersumbat menjadi sarang nyamuk. “Surat kabar melaporkan wabah demam berdarah,” tulis Dick.
Di kota itulah, pada masa yang suram ini, pertama kali dalam sejarah Indonesia merdeka ditemukan kasus wabah demam berdarah dengue (DBD). Dick menuliskan, demam berdarah kembali dilaporkan di Surabaya pada tahun 1968 yang setiap tahun terus berulang terutama pada musim hujan. Tingkat kematian sekitar 4,5 persen terutama dialami oleh anak-anak. Pada orang dewasa penyakit membuat mereka menjadi lemah dan harus dirawat inap di rumah-rumah sakit.
Departemen Kesehatan dalam bukunya Situasi DBD di Indonesia (terbit tahun 2016) menuliskan, pada tahun 1968 jumlah warga Kota Surabaya yang terinfeksi DBD sebanyak 58 orang, 24 orang di antaranya meninggal dunia. Itu berarti angka kematian mencapai 41,3%. “Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia,” demikian dicatat di buku itu.
DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh satu dari 4 virus dengue berbeda. Ia ditularkan melalui nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus yang hidup di daerah tropis dan subtropis. Kepulauan Indonesia salah satunya. Di wilayah ini, DBD adalah jenis penyakit endemik yang rutin muncul setiap tahun. Terutama di saat musim hujan, kondisi yang optimal bagi nyamuk ini untuk berkembang biak.
Virus dengue menginfeksi manusia di Afrika dan Asia Tenggara sejak beberapa abad lampau. “Virus dengue berkembang pesat pada perang dunia dunia ke-2 di mana penyebaran nyamuk terjadi secara massal bersama dengan pengiriman barang yang berperan dalam penyebaran global,” demikian Departermen Kesehatan RI.
Setahun kemudian, wabah DBD ditemukan di Jakarta. Hanya lima tahun berselang, yaitu tahun 1973, DBD sudah mewabah di 10 provinsi dari total 26 provinsi se-Indonesia. Jumlah kabupaten dan kota yang terkena sebanyak 287.
Di wilayah kepulauan Indonesia ini, sebetulnya wabah DBD tidak nanti terjadi pada tahun 1968. Di masa kolonial, DBD sudah menjadi masalah kesehatan bagi warga waktu itu. Majalah Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indië terbitan Departemen Layanan Kesehatan Masyarakat Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 melaporkan, pada tahun 1919 tiga pasien dirawat di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting en Hulpstadsverband Weltevreden di Batavia. Tahun 1920 33 pasien dirawat di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting di Surabaya. Wabah DBD di masa itu belum dikategorikan sebagai jenis penyakit epidemi yang berbahaya. Jenis penyakit lainnya yang mendapat penanganan serius pemerintah Hindia Belanda antaranya, malaria, tipus, colera, TBC, dll.
Jenis-jenis penyakit menular ini, dalam laporan tersebut kebanyakan ditemukan di kota-kota utama, seperti Surabaya, Batavia dan Semarang. Kota-kota padat yang sedang ekonomi sedang berkembang.
Wabah DBD di Kota yang Kian Sesak
Manado adalah kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Sulawesi Utara. Kepadatan itu terus meningkat seiring perkembangan ekonomi. Hingga tahun 2008, berdasarkan Data Biro Pusat Statistik kepadatan kota Manado telah mencapai 2.711,82 jiwa/km2. Luas kota ini sebesar 157,91 km2. Jumlah penduduk sebanyak 428.223 jiwa.
Pada tahun 2005, wabah DBD di Sulawesi Utara tertinggi adalah Manado, yaitu 105 orang, Kota Bitung sebanyak Bitung 76 orang, Minahasa Selatan 11 orang dan Minahasa Utara 12 orang. Dalam sejarah, Kota Manado selalu menempati posisi teratas angka kasus DBD di Sulawesi Utara.
Meski pelabuhan utama sudah berpindah ke Bitung sejak tahun 1950-an, namun sebagai pusat ibu kota provinsi dan perdagangan, Kota Manado masih merupakan daerah tujuan urbanisasi orang-orang Minahasa di pegunungan dan migrasi daerah sekitar atau bahkan dari wilayah-wilayah lain. Kawasan perumahan terus diperluas. Daerah padat penduduk, seperti kecamatan Malalayang, Wanea, Tuminting, Singkil, Paal Dua, semakin sesak. Data Dapertemen Kesehatan RI menyebutkan, pada tahun 2017, kasus DBD rata-rata ditemukan di kecamatan padat penduduk, seperti Malalayang, Ranotana, Tikala dan Singkil.
World Health Organization dalam laporannya tahun 2011 menyebutkan, salah satu faktor yang meningkatkan resiko terserang wabah DBD adalah perubahan demografis dan sosial. Perubahan itu terkait dengan tingginya urbanisasi yang tidak terencana dan terkendali. Ia kemudian berdampak pada ketersediaan fasilitas publik, khususnya pasokan air bersih dan pembuangan limbah padat. Faktor lain adalah konsumsi yang tinggi penggunaan plastik, penumpukan ban bekas, botol gelas, dan lain sebagainya.
Perubahan tersebut juga terkait dengan peningkatan perjalanan udara dan globalisasi perdagangan yang mempermudah penyebaran bibit-bibit nyamuk. Sampai tahun 1950-an jalur laut adalah satu-satunya yang menghubungkan Manado dengan dunia luar. Itupun sudah dapat membuat Manado sebagai kota kosmopolit. Apalagi ketika bandar udara di Mapanget dibuka untuk publik. Dengan segera Manado menjadi kota tujuan, baik pariwisata, bisnis maupun para pencari kerja dari Jawa, dan banyak daerah lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh sebuah tim dari salah satu perguruan tinggi di daerah menemukan hubungan antara kepadatan penduduk dengan angka kasus DBD. Kepadatan penduduk ini tidak terlepas dari urbanisasi dan migrasi. Kota Manado dari segi ekonomi sangatlah baik. Ini yang membuat ia menarik untuk didatangi atau ditempati beberapa waktu lamanya untuk berbisnis atau berusaha. Maka, jadilah kota Manado sebagai target urbanisasi dan migrasi.
Fenomena ini sudah berlangsung sejak pertengahan tahun 1980-an. Ulrich Mai dan Helmut Buchholt dari Universität Bielefeld, Jerman, mengambarkan perkembangan Kota Manado dan Minahasa tahun 1980-an: Peningkatan infrastruktur transportasi didesak oleh perkembangan perdagangan dan pasar di daerah pedesaan serta pembentukan pusat-pusat ekonomi dan administrasi, yaitu Manado, Bitung dan Tondano, serta Gorontalo. Manado dan Bitung memiliki pelabuhan utama untuk lalu lintas impor lintas negara dan luar negeri.
“Karena standar hidup yang relatif tinggi di Indonesia, Sulawesi Utara disukai oleh para migran terutama dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusatenggara,” ungkap Mai dan Buchholdt dalam buku mereka Peasant Pedlars and Professional Traders: Subsistence Trade in Rural Markets of Minahasa, Indonesia, terbit tahun 1987.
Mereka berdua juga mengatakan, sistem ekonomi di Sulawesi Utara secara umum masih merupakan warisan kolonial. Sektor industri kurang berkembang. “Sebagai konsekuensi dari sektor industri dan kerajinan yang kurang berkembang, hampir semua barang konsumsi harus ’diimpor’ ke Sulawesi Utara,” jelas mereka. Dengan demikian, ekonomi di daerah ini masih bersandar pada perdagangan.
Gambaran Mai dan Buchhold tentang Manado itu adalah gambaran tentang mimpi kemajuan ala pembangunisme orde baru yang sedang jaya. Di pertengahan tahun 1990-an pantai di kawasan Boulevard mulai direklamasi. Kurang lebih sepuluh tahun kemudian, ia berubah menjadi kawasan pusat bisnis: ‘B on B’, Boulevard on Business. Maka, mimpi kemajuan dan kesejahteraan itu seolah mendapat jawaban.
Namun, mimpi itu rupanya tak memperhitungkan perubahan iklim. Riset Kota Kita tahun 2013-2014 menemukan kerentanan-kerentanan yang serius di Kota Manado. Kota Kita adalah sebuah organisasi nir laba yang bekerja untuk perencanaan dan partisipasi warga dalam desain dan pengembangan kota. Pusatnya di Solo.
Pada banyak kota, menurut Kota Kita, urbanisasi dan perubahan iklim sangat mempengaruhi masa depan kota dan penduduknya. Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi menuntut ketersediaan kebutuhan layanan publik, infrastruktur, dlsb. Kota Manado menjadi semakin sesak karena urbanisasi buah mimpi kesejahteraan ekonomi itu.
“Kurangnya penyediaan infrastruktur drainase, pengelolaan limbah cair dan limbah padat, buruknya pemeliharaan dari sistem tersebut mengakibatkan wabah penyakit yang mengganggu kesehatan masyarakat dan terjadinya eutrofikasi air laut, yang mengancam keberlangsungan ekosistem di Teluk Manado dan Kepulauan Bunaken,” demikian antara lain temuan riset Kota Kita.
Gambaran ini seolah mengingatkan pada Kota Surabaya di masa suramnya seperti yang dinarasikan oleh Dick, sejarawan dari Australia itu.
Manado Kota DBD
Departemen Kesehatan RI dalam laporannya menyebutkan, sejak tahun 1970-an, penyebaran wabah demam berdarah terus meluas di banyak daerah se-Indonesia. Sepuluh tahun sejak ditemukan di Surabaya, pada 1978 wabah DBD telah meluas hingga mencapai 20 dari total 27 provinsi masa itu. Angka kematian DBD tertinggi, yaitu 41,4% terjadi pada tahun 1968. Tahun 1969 turun menjadi 24% oleh karena gencarnya dilakukan penanganan.
Wabah DBD di Kota Manado sepertinya telah ditemukan sejak awal tahun 1970-an. Tidak lama setelah kasus di Surabaya. Sebuah terbitan melaporkan, pada tahun-tahun itu dilakukan penyemprotan di Kota Manado karena sedang terjadi wabah DBD di kota ini.
“Karena itu kami pernah menyemprot kota Semarang dan Manado dalam rangka pemberantasan nyamuk Aedes Aegipty yang menjadi vector penyakit demam berdarah. Ketika itu penyakit demam berdarah sedang menjadi wabah di kedua kota ini,” tulis Majalah Angkasa, terbitan Angkatan Udara edisi tahun 1974.
Meski tentu tidak sebesar Surabaya atau Jakarta, Manado sejak zaman kolonial telah menjadi kota ramai. Ia adalah pusat pemerintahan keresidenan dan pula pusat perdagangan. Sebuah benteng berdiri di sana sejak beberapa abad lampau. Orang-orang Minahasa dari gunung menjual hasil pertanian dan perkebunannya di kota itu. Penduduknya sangat beragam. Orang-orang Arab kebanyakan tinggal di kampung Arab. Orang-orang Tionghoa terkosentrasi di kampung China. Ada banyak orang Gorontalo, Bugis, Ternate, juga dari Jawa di kota ini.
Kota Manado terus berkembang menjadi kota modern yang kosmopolitan dengan hasrat yang tinggi untuk maju secara ekonomi. Pembangunan terus digalakkan. Terjadi urbanisasi dan migrasi. Akibatnya beberapa wilayah pemukiman menjadi semakin sesak. Rumah-rumah berhimpitan. Produksi sampah rumah tangga terus meningkat. Terkini ia dikakegorikan sebagai kota terkotor oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jika musim penghujan datang, saluran air meluap. Terjadi genangan air di mana-mana mengundang nyamuk aedes aegypti tinggal dan berkembang biak.
Data dari Dinas Kesekatan Sulut menyebutkan, sepanjang tahun 2016 tercatat 2.217 kasus DBD. Meningkat dibanding tahun 2015 sebanyak 1562 kasus. Jumlah penderita meninggal 17 orang. Pada tahun ini terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa kabupaten/kota se-Sulut, tertinggi di Kota Manado dengan frekuensi 3 kali. Angkanya sama dengan tahun 2015. Kabupaten Minahasa Utara mengalami dua kali KLB, Kabupaten Minahasa, Bolaang dan Mongondow Utara masing-masing satu kali.
Riset dari Kota Kita sebetulnya adalah peringatan. Trend reklamasi pantai dan pembangunan kawasan komersial, dan trend urbanisasi yang membuat kota Manado semakin padat, antara lain berdampak pada kerentanan kesehatan warga kota. Kota Kita menyebutkan, pembangunan kawasan komersial di sepanjang pantai membuat masyarakat pesisir memiliki akses semakin terbatas terhadap laut. Akibatnya warga yang tinggal di pesisir pindah ke lokasi pemukiman lain. Air buangan drainase dari kawasan atas akan tergenang di kawasan berelevasi rendah, tetapi tanpa mekanisme untuk memompa air ke luar dari kawasan ini.
“Air akan tergenang di antara kawasan pembangunan baru dan masyarakat pesisir yang lama. Hal ini akan menyebabkan genangan air yang cukup lama dan memperburuk kondisi kesehatan di komunitas pesisir yang tergolong rentan,” ungkap riset tersebut.
Angka kasus DBD setiap tahun yang menempatkan Kota Manado pada posisi teratas se-Sulawesi Utara dapat menjadi petunjuk, bahwa penyebaran penyakit epidemi ini tidak hanya karena alam, yaitu hujan yang memang harus turun sesuai kehendaknya. Manajemen kota, pola pembangunan, dan itu berkaitan dengan regulasi, penataan wilayah, kependudukan dan mimpi kesejahteraan yang masih berorientasi pada investasi, perluasaan pusat-pusat bisnis, sudah harus dilihat sebagai faktor penting di balik tingginya angka kasus DBD di kota Manado.
Tentu, warga kota Manado tidak pernah bermimpi: ‘kota Manado, kota penyakit’.(*)
Editor: Daniel Kaligis
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Luka di Festival HAM, INFID dan Koalisi Masyarakat Sipil Protes
-
Lumales Ti Rurumezan Ni Opo Tumalun: Memahami Keseimbangan Alam dan Ancaman Bencana
-
Toulour Waya: Sintesis Kebudayaan dengan Ekonomi Kreatif