CULTURAL
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan
Published
4 months agoon
2 Agustus 2024
“Situs-situs yang ada sebelumnya hanya diketahui dari kisah-kisah yang diwariskan para tetua secara turun-temurun. Tahun 2002, komunitas Waraney Wuaya mulai secara serius menelusuri ingatan itu. Setelah situs-situs ditemukan, dilanjutkan dengan kegiatan pembersihan lesung-lesung yang tertutup rumput. Ada yang sudah roboh, didirikan kembali. Ada juga yang tertanam ke dalam tanah, dikeluarkan kembali.”
Penulis: Hendro Karundeng
MINAHASA, sebuah negeri yang subur. Berada di bagian utara Pulau Sulawesi yang kaya dengan jejak arkeologi. Daerah yang banyak menyimpan sejarah dan budaya di setiap jengkalnya. Wilayah adatnya kini meliputi kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan (Minsel), Minahasa Tenggara (Mitra), Minahasa Utara (Minut), kota Bitung, kota Manado, dan kota Tomohon.
Berbagai tempat di negeri ini meninggalkan banyak kisah, cerita dan fakta masa lampau yang tetap menarik hingga hari ini. Sebagian masih menjadi misteri, meninggalkan tanya banyak orang. Baik tou (orang) dari Minahasa sendiri, maupun mereka yang datang dan tertarik untuk meneliti tentang tanah ini.
Walau demikian, fakta yang tak bisa dipungkiri, peninggalan sejarah yang memuat warisan tradisi dari leluhur orang Minahasa tentang masa lampau sesungguhnya masih tetap terjaga dan terus diwariskan. Oleh para maeres, penutur yang menyimpan banyak pengetahuan, para tonaas dan walian yang menjadi pemimpin negeri serta pemimpin spiritual, mereka yang lahir dan hidup mendiami serta setia menjaga ikatan dengan tanah warisan leluhurnya.
Bahkan, pengetahuan tentang tanah ini diajarkan dan ditransfer kepada mereka yang datang dari luar Minahasa, namun penuh tanggung jawab dan kesadaran, hidup bersama dengan damai, memiliki komitmen bersama-sama menjaga serta membangun negeri ini.
Salah satu situs peninggalan leluhur Minahasa yang menyimpan banyak pengetahuan adalah Watu Tiwa’ Lumimuut-Toar di Tu’ur in Tana’. Wilayah yang dikenal sebagai titik awal pemukiman tou Minahasa, yang hingga hari ini masih tetap terjaga kelestariannya. Di kawasan sekitar Watu Tiwa’ Lumimuut-Toar ini juga terdapat banyak situs.
Menata Kawasan Watu Tiwa’
Komunitas adat Waraney Wuaya, salah satu kelompok orang yang aktif dalam penyelamatan situs di Minahasa. Mereka menaruh perhatian khusus terhadap kondisi Watu Tiwa’. Sebutan akrab warga Tompaso Baru, Minahasa Selatan, terhadap tempat di mana situs itu berdiri.
Komunitas Waraney Wuaya sangat prihatin dengan kondisi situs-situs di wilayah Tu’ur In Tana’. Lesung ‘tua’, salah satu situs di kompleks Watu Tiwa’ yang terbengkalai. Wajahnya telah dipenuhi rumput tinggi. Kondisi itu menggerakkan nurani mereka untuk kembali berkumpul, menata lagi situs tersebut.
Gerakan budaya itu dipimpin oleh Tonaas Rinto Taroreh. Budayawan, penggerak sejumlah komunitas budaya di tanah Minahasa yang hingga kini tetap konsisten dalam gerakan penyelamatan situs.
Selama dua pekan, sejak pertengahan hingga akhir Juli 2024, komunitas Waraney Wuaya kembali bergerak. Kali ini bersama salah satu komunitas budaya yang beranggotakan pemuda-pemudi asli wanua Pinaesaan, Tompaso Baru. Komunitas jaringan itu dibimbing Laurentius Palendeng. Guru yang juga penggerak komunitas Sakalele Kolano Oki, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Tompaso Baru. Komunitas mereka sangat termotivasi untuk melakukan penataan kawasan situs Watu Tiwa’.
“Saya merasa terharu, sehingga termotivasi dan merasa terpanggil untuk mengajak anak didik saya dalam komunitas kami, Sakalele Kolano Oki, SMK Negeri 1 Tompaso Baru, untuk turut membantu dalam pemugaran situs ini,” kata Palendeng, Rabu, 31 Juli 2024, di kompleks situs Watu Tiwa’.
Ada beberapa alasan yang membuat mereka memutuskan untuk terlibat dalam kerja bersama Komunitas Waraney Wuaya. Pertama, untuk memperkenalkan situs peninggalan leluhur di Tompaso Baru kepada generasi muda. Kedua, untuk menjaga dan berusaha lebih melestarikan lagi situs-situs di wilayah mereka.
“Inilah langkah-langkah saya dalam upaya pemajuan kebudayaan di ruang lingkup pendidikan,” ujarnya.
Palendeng mengungkapkan, kerusakan serta terbengkalainya Watu Tiwa’ sangat memprihatinkan. Tapi inisiatif yang diperlihatkan Komunitas Waraney Wuaya, membuat ia memutuskan untuk turut andil dalam kegiatan itu. Diakui, gerakan komunitas yang dipimpin Rinto Taroreh dari wanua Warembungan, kemudian datang ke bagian Selatan Minahasa, memberi dampak besar bagi gerakan budaya di tempat mereka.
“Terkait dengan pemugaran situs budaya Watu Tiwa’ Toar-Lumimuut, saya sebagai pendidik bahkan katakanlah orang Tompaso Baru, merasa termotivasi. Tonaas Rinto yang memimpin kerja bersama komunitas Waraney Wuaya, bisa dibayangkan mereka datang dari Warembungan ke Tompaso Baru. Bolak-balik dua kali. Waktu pulang pergi saja ada enam jam kali dua. Itu berarti mereka harus menempuh dua belas jam setiap datang ke Tompaso Baru,” kata Palendeng.
Menjaga dan merawat situs seperti yang ada di kawasan Watu Tiwa’, sesungguhnya adalah tanggung jawab semua tou Minahasa.
“Nah, mereka datang untuk memugar kembali situs budaya yang sudah agak kurang terawat dan terbengkalai, banyak rumput. Situs-situsnya hampir rusak. Padahal situs ini menurut saya adalah penanda dan pengingat bagi kita orang-orang yang hidup di masa modern sekarang, yang harus kita jaga, karena kita hidup dari leluhur kita. Setiap orang pasti ada pendahulunya,” paparnya.
Apresiasi untuk Pelestari Situs
Kegiatan yang dilakukan selama dua pekan itu berbuah baik. Berbagai apresiasi pun membanjiri aksi pemugaran di Taman Purbakala Malesung. Baik dari sesama penggiat budaya, hingga masyarakat Tompaso Baru sendiri.
“Saya sangat mengapresiasi Tonaas Rinto dengan komunitas Waraney Wuaya dalam pemugaran ini. Seorang yang juga telah meraih anugerah kebudayaan Indonesia selaku pelestari budaya. Penghargaan itu memang pantas diberikan kepada Tonaas Rinto Taroreh,” tegas Palendeng, usai kegiatan pemugaran.
Hal yang sama juga dirasakan masyarakat sekitar situs. Seperti yang disampaikan Romi Limpele, salah seorang masyarakat desa Pinaesaan yang turut andil dalam kegiatan pemugaran.
Ia mengatakan, dirinya sangat senang dengan aksi atau gerakan kepedulian komunitas Waraney Wuaya. Ia tersentuh dengan rasa kepedulian tinggi yang ditunjukkan dalam pelestarian situs-situs budaya di tanah Minahasa.
“Kami masyarakat Pinaesaan merasa sangat senang ada teman-teman dari komunitas Waraney Wuaya yang telah melaksanakan pemugaran situs ini. Karena itu kami turut andil dalam pemugaran situs tersebut. Kami juga sangat berterima kasih atas apa yang sudah dilakukan kawan-kawan pegiat budaya,” ucap Limpele, Kamis, 31 Juli 2024.
Masyarakat Tompaso Baru sangat mengapresiasi setiap keringat yang keluar dari para pegiat budaya, pelestari situs, orang-orang yang mau memberi diri dalam upaya menjaga warisan peradaban di Minahasa.
Upaya 22 Tahun Penyelamatan
Sebelum kegiatan penataan kawasan situs Watu Tiwa’ kali ini dilakukan, komunitas Waraney Wuaya sebenarnya sudah beberapa kali melakukan lumales atau ziarah kultura di tempat itu. Tujuannya untuk memberikan penghormatan kepada para leluhur, serta Empung Wailan Wangko (Tuhan Sumber Segala Berkat), penguasa semesta alam.
Sejak tahun 2002 silam, komunitas Waraney Wuaya telah menaruh perhatian terhadap kawasan situs Watu Tiwa’. Apalagi situs ini memiliki nilai budaya yang sangat tinggi bagi tou Minahasa.
“Jadi, upaya penyelamatan situs budaya di wilayah Tu’ur In Tana’ atau tempat pemukiman awal orang Minahasa ini, di wilayah Tompaso Baru dan seputaran itu, sudah sejak tahun 2002. Tahun itu ditandai dengan upaya pencarian jejak-jejak peninggalan leluhur di wilayah ini,” kata Rinto Taroreh, Kamis, 1 Agustus 2024.
Situs-situs yang ada sebelumnya hanya diketahui dari kisah-kisah yang diwariskan para tetua secara turun-temurun. Tahun 2002, komunitas Waraney Wuaya mulai secara serius menelusuri ingatan itu. Setelah situs-situs ditemukan, dilanjutkan dengan kegiatan pembersihan lesung-lesung yang tertutup rumput. Ada yang sudah roboh, didirikan kembali. Ada juga yang tertanam ke dalam tanah, dikeluarkan kembali.
“Seiring berjalannya waktu, beberapa tahun kemudian ada penemuan lagi situs-situs sejarah di kawasan tersebut. Contoh, di kompleks Watu Tiwa’ pada Desember tahun 2008. Kemudian di tahun 2010, dimulailah kegiatan penyelamatan secara besar-besaran. Situs-situs lesung di sana mulai kita tata,” tutur Taroreh.
Berbagai upaya pelestarian dan bentuk kepedulian terhadap peninggalan leluhur, menjadi agenda penting yang terus dilakukan. Semua itu dikerjakan tanpa harus ada imbalan apapun. Semuanya hanya dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab yang besar untuk menjaga tanah Minahasa tercinta.
“Jadi, upaya-upaya penyelamatan situs ini dilakukan oleh komunitas Waraney Wuaya dan jaringan, sejak 2002 sampai sekarang. Hari ini pun ada upaya untuk melakukan pemugaran kembali, karena kan lesung ini di atas tanah, jadi pasti berumput tanpa pemantauan kita. Memang ini butuh kepedulian. Kita biasa datang ke tempat ini, cuma kalau kita datang setelah waktu yang lama, pasti kan rumput sudah tinggi kembali,” ungkap Taroreh yang juga penerima penghargaan sebagai pelestari seni tradisi dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.
Upaya penyelamatan dilakukan komunitas Waraney Wuaya, karena melihat berbagai kerusakan yang terjadi di salah satu situs tertua yang terletak di lembah Wulur Mahatus. Selain dimakan zaman, lesung di daerah ini juga diduga telah dirusak oleh beberapa oknum yang kurang menaruh perhatian, serta kurangnya pengetahuan tentang situs tersebut.
Ia menjelaskan, beberapa situs di tempat yang kini dikenal dengan ‘Taman Purbakala Malesung’ itu, dahulu berserakan di sekitar kawasan tersebut. Upaya itu terpaksa dilakukan sebagai langkah penyelamatan, mengingat banyaknya kerusakan yang terjadi akibat perbuatan oknum yang kurang bertanggung jawab.
“Awalnya penataan dilakukan di perkebunan desa Pinaesaan, tapi ada juga yang dilakukan di tempat (asalnya) masing-masing. Bersama komunitas jaringan, para peneliti, sejarawan, kita kemudian melakukan pendokumentasian, kemudian menata beberapa situs di satu tempat. Lesung-lesung yang dikumpulkan di desa Pinaesaan ini semua dengan maksud untuk penyelamatan. Karena ada beberapa situs lesung yang sudah ditata di tempatnya, kemudian dirusak oleh sejumlah oknum di sana,” ungkap Taroreh.
Kondisi terparah dialami beberapa lesung yang sengaja dihancurkan. Namun, sebagian mereka pindahkan karena informasi masyarakat sekitar, keberadaannya sangat rawan dan berpotensi dihancurkan oknum-oknum yang tak suka dengan keberadaan situs-situs ini.
“Mereka melakukan perusakan, lalu kami yang memperbaiki, menyambungkan kembali bagian-bagian yang sudah rusak. Tapi tidak semua, karena ada beberapa yang tempatnya rawan perusakan kembali, akhirnya kami berinisiatif untuk kumpulkan di satu tempat di Perkebunan Pinaesaan, di kompleks Niutakan, Watu Tiwa. Di situ kita tata kembali. Maka jadilah Taman Purbakala Malesung yang di dalamnya ada lesung-lesung dengan berbagai ukuran dan berbagai jenis bentuk,” jelas Taroreh lagi.
Dalam kesadaran budaya, kegiatan penataan sejak lalu dilakukan dengan tata cara adat istiadat Minahasa. Dalam hal pendanaan, dana yang terkumpul dilakukan dengan gaya Minahasa, yaitu ru’rup atau rukup. Sebuah tradisi tindakan spontan, sukarela dan tulus hati, yang dilakukan dengan penuh sukacita serta kesadaran sebagai orang tou Minahasa. Kerja-kerja yang dilakukan kemudian merupakan bentuk kerja sama, juga merupakan ekspresi tradisi tersebut.
Taroreh mengaku gembira, sebab terlihat jelas usaha yang dilakukan tidak mengkhianati hasil. Situs Watu Tiwa’ kini terlihat bersih, rapi, bahkan lebih megah dari yang sebelumnya. Lantai cor yang menjauhkan rumput liar untuk merambat, sudah terpatri gagah di tanah berdirinya lesung-lesung tua itu.
“Makanya, inisiatif kita cor tanpa menyambungkan joran dengan situsnya. Bagian yang dicor hanya lantainya saja, agar nanti rumput tidak gampang tumbuh kembali. Nah, upaya-upaya ini sebenarnya upaya mandiri, tanpa ada bantuan dari pemerintah, atau biasa disebut di sini ru’rup atau rukup. Artinya, teman-teman saling patungan dalam hal uang, konsumsi, bahkan tenaga untuk mengatur pemugaran itu,” jelas Taroreh.
Pentingnya Menjaga dan Melestarikan Situs
Upaya pelestarian situs budaya yang menjadi salah satu perantara tou Minahasa hari ini dengan para leluhur, sangat penting untuk dilakukan. Menurut Taroreh, ini juga salah cara generasi hari ini menilai, tolak ukur kegiatan yang dilakukan, bagaimana leluhur melakukan pekerjaan di masa lampau.
“Pentingnya kita menjaga situs ini, karena bagaimanapun juga situs ini warisan peradaban masa lalu oleh leluhur kita. Ini penanda kebudayaan kita. Tanpa mereka, kita tidak ada hari ini. Dengan kita lihat lesung ini, kita bisa membayangkan teknologi mereka di zaman itu. Di situ kita bisa lihat nilai-nilai kebudayaannya. Tidak mungkin kan batu sebesar itu mereka kerjakan sendiri. Itu butuh kerja sama,” katanya.
Menurut Taroreh, gerakan budaya ini sangat penting untuk dilaksanakan. Sebagai upaya pelestarian, tapi juga melalui kegiatan itu bisa memahami dan mengerti tentang bagaimana kisah perjuangan serta perjalanan dari para leluhur orang Minahasa.
“Ada banyak pembelajaran yang bisa kita dapat di situ. Kita bisa lihat juga upaya, kerja keras. Spirit ini yang penting untuk kita bawa sampai hari ini. Mental mereka yang tak gampang menyerah. Inilah spirit yang boleh kita ambil untuk gerakan hari ini, di tengah zaman modernisasi yang kian mengancam identitas kita,” tegasnya.
Taroreh mengaku gembira, karena dalam kerja penyelamatan situs kali ini, ada masyarakat sekitar yang turut serta. Lebih istimewa, ada anak-anak muda yang hadir dengan penuh semangat, bekerja sebagai wujud kepedulian mereka terhadap warisan peradaban. Sebuah ekspresi kecintaan dan kebanggaan terhadap nilai-nilai budaya warisan leluhurnya.
“Kerja di sana (Taman Purbakala Malesung) melibatkan juga masyarakat setempat. Bahkan melibatkan siswa dan guru sekolah SMK. Jadi, pemugaran ini dilakukan secara mandiri dan mengikuti tata cara adat yang ada,” terangnya.
Waraney Wuaya yang juga menggerakkan Sekolah Adat Waraney Wuaya, merupakan salah satu komunitas adat yang terus aktif dalam menjaga dan melestarikan tradisi budaya di Minahasa. Gerakan inisiatif dan mandiri ini dinilai merupakan salah satu hal yang patut jadi teladan. Cara mereka membangun jaringan dalam gerakan penyelamatan situs juga menarik untuk diteladani. Mengingat banyaknya peninggalan masa lampau yang kaya akan nilai pengetahuan Minahasa, dari waktu ke waktu terus terancam. Situs-situs ini adalah ingatan, wadah untuk belajar, tapi juga bentuk warisan budaya yang tak akan bisa ditemui lagi jika sudah dihancurkan. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan