CULTURAL
Watu Laney: Batu Licin Penghalau Lalim
Published
3 years agoon
30 Januari 2022
“Watu laney naria, tino’tolan umbale niow endoon, nianamo mahalentekokan tarendem lewo’ ne kawanua e ndoon…”
Oleh: Gerard Tiwow
Editor: Rikson Karundeng
Masyarakat Minahasa memusatkan kosmologinya dengan kehidupan manusia, sehingga setiap peristiwa yang menyangkut hajat hidup, akan menjadi bagian dari ritual yang dipandang keramat.
Di Minahasa, rumah yang disebut dengan wale dianggap sebagai kebutuhan pokok manusia. Tidak hanya menjadi tempat tidur semata, melainkan sebagai tempat pemeliharaan kehidupan.
Wale di Minahasa zaman lampau dikenal juga dengan walewangko’, “rumah besar” atau “rumah panjang”. Yessy Wenas dalam bukunya Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (2007), mengutip catatan Gubernur Jenderal Robertus Padtbrugge di tahun 1679, menjelaskan jika pemimpin “rumah panjang” disebut Pa’endon Tu’a atau “dituakan”.
Disebut “rumah panjang” karena arsitekturnya tinggi, ditopang oleh pilar-pilar kayu besar, dibangun memanjang dan memiliki ruangan paling besar yang biasanya diperuntukkan bagi Pa’endon Tu’a.
Di tengah rumah panjang terdapat lorong atau gang memanjang sepanjang rumah. Di bagian paling tengah ada ruangan tempat menyimpan padi, dan ruangan tempat menginap keluarga dari desa lain, atau tamu yang datang berkunjung.
Tiap ruangan dipisahkan dengan gantungan anyaman tikar sehingga membentuk tujuh sampai sembilan ruangan. Tiap keluarga memiliki bangunan dapur yang dibangun menyambung di bagian belakang.
Dalam Arsitektur Tradisional terbitan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (2002), disebutkan ada sejumlah ragam hias pada wale, yakni tulang-tulang rahang, tengkorak anoa (bubalus quarlesi), tengkorak babi rusa (babyrousa celebensis), dan tengkorak yaki (macaca nigra).
Pada tiang-tiang rumah diukir dengan relief hewan-hewan keramat seperti ular dan burung manguni (otus manadensis). Di atas pintu (pepenet) dan jendela (tetemboan) diberi ukiran tembus yang berfungsi seperti ventilasi. Ukiran tersebut berupa matahari, sapi, atau babi rusa. Bubungan rumah seorang wali’an (pemimpin agama) disematkan jumbai-jumbai dari gomutu (ijuk enau), dedaunan padi, atau tumbuhan lainnya.
Tonaas Rinto Taroreh, seorang budayawan Minahasa dari wanua (desa) Warembungan, mengatakan umumnya di rumah-rumah, terlebih di rumah seorang mamu’is (pengayau) atau waraney (ksatria), digantung kepala-kepala orang yang berhasil dikayau, sebagai memento peperangan, simbol kejantanan, dan penolak bala.
Membangun Wale
Dosen Universitas Sam Ratulangi, Femmy Lumempow, dalam karya tulisnya Proses Pembuatan Rumah Adat Daerah Tombulu, menjabarkan ada empat tahapan dalam pembangunan rumah Minahasa. Tahap pertama, pemilihan bahan bangunan yang meliputi sejumlah proses yakni, persiapan ke hutan. Pada malam hari, seorang tonaas akan bertemu dengan makawale untuk memberitahukan apa saja yang harus dipersiapkan, dan memberitahukan jenis kayu apa yang akan diambil.
Keesokan harinya ketika di hutan, umumnya kayu yang dipilih adalah kayu wasian atau kayu cempaka hutan (michelia celebica), memotong kayu yang sudah dipilih, dan pengangkutan menuju tempat pembangunan rumah. Setelah material pembangunan dikumpulkan, akan ditentukan siapa saja yang akan menjadi tenaga kerja dalam pembangunan rumah, dan diakhiri dengan pendirian rumah.
Proses pendirian rumah akan dimulai dengan peletakan batu pertama. Dilanjutkan dengan pemasangan tiang, balok, lantai, atap, dinding, dan tangga yang mengikuti urutan. Setelah rumah berdiri, rumah tersebut ditahbiskan dengan upacara sumolo atau “pemasangan lampu”, dan foso (ritual) maramba’ untuk menguji kekuatan fisik rumah.
Syair-syair yang dinyanyikan dalam foso maramba’ sejak dahulu, kini terdokumentasi dalam tarian maengket. Secara umum, maengket kini dipertunjukkan dalam tiga babak. Maramba’ biasanya disajikan pada babak kedua. Di babak ini disyairkan “meyemo, rumamba’mo tumbale weru e, i konta’ e masule i konta’ tumbale weru e”. Secara harfiah berarti, “Marilah, hentakkanlah kaki di rumah baru ini, melompat dan saling berpegangan tangan di rumah baru ini”.
Syair ini merupakan suatu ajakan kepada masyarakat untuk naik bersama-sama dan menghentakkan kaki, serta melompat-lompat sambil berpegangan tangan di rumah yang baru. Itu untuk menguji kekuatan konstruksi rumah, agar wale mampu mengakomodasi para penghuninya, perkakas, hingga aktivitas di dalamnya.
Batu Sebagai Tiang dan Poros Rumah
Tonaas Rinto Taroreh, dalam kesempatan bertukar pikiran, menceritakan tentang pembangunan rumah Minahasa. Ia menitikberatkan pada pentingnya keberadaan batu dalam suatu wale.
Menurutnya, ketika “niondol ni endo” (sinar matahari sudah memancar dari ufuk timur), sang makawale (pemilik rumah) bersama para pekerja rumah akan pergi menuju kuala (sungai) untuk mengambil empat batu untuk digunakan dalam upacara adat Tumo’tol Wale Weru. Ketika mengambil batu di kuala, makawale akan berdoa kepada Empung Wa’ilan dan meminta petunjuk batu mana yang harus diambil.
Batu yang diambil haruslah berbentuk bundar sebanyak tiga batu, dan satu batu berukuran lebih besar. Dalam pengambilan batu, makawale akan mengucapkan “sebagaimana kerasnya batu ini, demikianlah kerasnya rumah dan orang yang mendiaminya. Sebagaimana licinnya batu ini, demikianlah setiap niat jahat yang nenyasar akan jatuh licin menjauhi rumah dan penghuninya”.
Dalam pembangunan wale, makawale dan para pembangun harus memahami kosmologi Minahasa. Dituturkan bahwa terlepas dari ke mana rumah tersebut menghadap, akan ada batu pertama yang ditancapkan pada bagian timur rumah yang menghadap matahari terbit, di ujung sebelah kanan atau disebut tuminduhu. Dalam masyarakat Tontemboan dikenal dengan sebutan ruur in tana’. Tuminduhu sendiri sebagai simbol dari Walian Tu’a Karema dan adiknya Walian Oki’ Rumintuuna.
Setelah batu yang ditancapkan sebagai tuminduhu atau ruur in tana’ berdiri, empat batu yang diambil dari kuala mengambil perannya. Tiga batu pertama yang berbentuk bulat diatur dalam formasi segi tiga. Di tengah tiga batu tersebut diletakkan dua piring putih yang tertangkup, di dalamnya diletakkan sembilan uang logam, dan kemudian ditutup dengan batu ke empat yang disebut arihi. Formasi tiga batu dengan uang logam di dalamnya dan ditutup dengan batu yang lebih besar akan menyerupai dodika (tungku masak khas Minahasa).
Susunan batu dan piring tersebut, itulah yang disebut tino’tolan um bale. Bagi orang Minahasa, ada makna filosofis yang mendalam sehingga mengapa harus menggunakan batu dari sungai. Karena batu sungai adalah batu yang sangat keras, sehingga sang makawale atau empunya rumah diyakini akan memiliki kekuatan ketika menghuni rumah. Batu sungai adalah batu yang licin atau disebut dengan watu laney, sehingga semua tarendem lewo’ atau niat jahat yang menyasar makawale dapat meluncur menjauh pula.
Filosofi yang mau ditonjolkan dari tino’tolan um bale adalah menjadi suatu harapan agar makawale mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran, dan selalu dilindungi dan dikuatkan.
Pada syair pada tarian maengket babak maramba’, “Watu laney naria, tino’tolan umbale niow endoon, nianamo mahalentekokan tarendem lewo’ ne kawanua e ndoon”, yang memiliki arti harfiah, “batu licin ini menjadi penopang atau pengalas rumah inilah yang akan menghardik niat jahat sesama masyarakat wanua atau kampung”.
Hal menarik ditemukan dalam syair ini, yaitu menggunakan ungkapan “tarendem lewo’ ne kawanua”. Sekali lagi, arti dari ungkapan tersebut adalah niat jahat dari sesama masyarakat wanua.
Dapat dilihat bahwa di masa itu, ancaman yang dihadapi oleh tou (orang) Minahasa tidak hanya berasal dari serangan wanua lain, tapi bisa juga ada ancaman yang datang dari dalam wanua itu sendiri. Sehingga wale menjadi benteng dari suatu awu atau keluarga dalam memelihara kehidupan yang sudah dipercayakan oleh Empung Wa’ilan Wangko.
Wale menjadi tempat di mana kehidupan bermula dan dipelihara, di mana wale menjadi tempat suatu awu membina dan melanjutkan kehidupan, serta menjadi tempat menyimpan hasil ladang dan sawah sebagai kebutuhan pokok hidup. Selain menjadi benteng, wale juga menjadi simbol sosial. Hiasan-hiasan atau ornamen yang dipajang pada suatu wale mencerminkan kepribadian dari makawale dan setiap penghuninya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa wale adalah simbol dari manusia yang berwujud dalam bentuk hunian.
Dewasa ini, upacara tino’tolan um bale sudah sangat sulit dijumpai. Ada keluarga yang masih tetap berani melakukan itu secara-terang-terangan, namun ada juga yang melakukannnya secara diam-diam.
Fakta memang mengisahkan, seiring dengan berkembangnya kekristenan di Minahasa, upacara yang dilakukan dalam memulai pembangunan rumah adalah upacara “peletakan batu pertama”.
Walau pemimpin upacara dan beberapa tata cara seperti ada yang hilang, namun upacara peletakan batu pertama masih tetap memiliki nilai religi yang sama dengan upacara tino’tolan um bale. Yakni memohon kepada Tuhan agar batu pertama yang menjadi awal pendirian rumah, menjadi simbol bermulanya suatu kehidupan atas rumah tersebut. Sebagaimana kerasnya batu tersebut, demikian pula wale dan makawale akan menjadi keras dan kuat, dan agar wale diberkati supaya makawale dijauhkan dari segala yang jahat dan diberikan kesejahteraan.
“Sempunge wa’ilan e, sempunge wa’ilan e.
Mengale-ngaley uman, pakatu’an wo pakalawizen, kita mo peleng.” (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan