CULTURAL
Watu Palenasen dan Ekspresi Religiusitas Waraney Wuaya
Published
2 years agoon
1 Desember 2022
“Pengetahuan yang diperoleh setiap hari dihayati sebagai pengetahuan dari Tuhan, dan harus dipraktekkan dengan penuh kesungguhan hati dalam hidup. Karena itu, Komunitas Waraney Wuaya dengan tegas menolak bahwa praktek hidup dan ritual yang dilakukan adalah tradisi kafir dan sesat.”
Penulis: Leonard Wilar
JEJAK peradaban masa lampau banyak ditemui di tanah Minahasa. Termasuk di wilayah tanah adat Tombulu. Salah satunya watu palenasen. Situs yang sejak dahulu menjadi pusat spiritual ‘orang Malesung’.
Rikson Karundeng, peneliti sejarah dan budaya Minahasa mengatakan, orang Minahasa mengenal watu tumotowa. Menhir yang menjadi pusat pelaksanaan foso atau ritus. Di daerah Tombulu, watu tumotowa juga disebut dengan istilah watu palenasen.
Menurutnya, palenasen berasal dari kata lenas, yang berarti ‘suci’. Tempat masyarakat berkumpul untuk mengekspresikan religiusitas, mengungkapkan rasa syukur atas berkat yang telah diberikan Sang Khalik, ruang untuk mencurahkan gumul yang tengah dan akan dihadapi.
“Bagi masyarakat Tombulu, watu palenasen dimaknai sebagai tempat yang suci. Jadi bukan batunya yang suci, tapi di situ menjadi tempat untuk menyucikan diri. Mereka yang datang ke tempat itu juga harus benar-benar memiliki hati dan pikiran yang bersih,” kata Karundeng.
Fungsi batu ini awalnya sebagai penanda diresmikannya sebuah pemukiman baru. Sebagai yang utama dan pertama dari sebuah pemukiman. “Saat tumani, membuka wilayah pemukiman baru, ketika telah direstui Sang Khalik dan para leluhur, lebih dulu didirikan adalah watu tumani itu. Biasanya lokasi watu ini kemudian berada di tengah pemukiman, sehingga selain menjadi pusat ritus, juga pusat pertemuan masyarakat untuk membicarakan berbagai persoalan bersama,” jelas Karundeng.
Ditegaskan, watu tumani adalah penanda penting bagi sebuah pemukiman baru di Minahasa. Karena di tempat itulah pertama kali walian (pemimpin ritus, pemimpin agama) memohon ketetapan ilahi.
“Orang tua mengajarkan ke saya bahwa tumani itu dari kata nani. Artinya memuji atau menyanyi. Di tempat itulah walian mengesahkan secara religus pendirian kampung. Tempat awal pemberkatan dari Sang Kahlik. Proses foso itu dilakukan sambil mendendangkan nyanyian yang berisi doa syukur dan permohonan berkat kepada Empung Wailan Wangko, untuk tenah pemukuman baru itu dan orang-orang yang akan mendiaminya,” terang Karundeng.
Saat foso pendirian kampung digelar di watu tumani, semua yang terlibat wajib menjaga kekhusyukan. Tak ada yang boleh ribut, apalagi melakukan tindakan yang akan mengganggu kesakralan foso.
“Semua harus menjaga pikiran agar tetap bersih selama foso berlangsung. Tidak boleh membuat kegaduhan, tapi semua wajib mendendangkan nyanyian doa dan pujian yang kita sebut mareindeng, masambo atau maorai. Itu mengapa sampai sekarang tempat seperti itu dikatakan kapeli’an. Tempat suci, sakral, tidak boleh sembarangan. Orang Minahasa yang paham, tidak akan membuat keributan atau melakukan tindakan tidak terpuji di watu tumani atau watu tinanian,” tandasnya.
Berbagai foso masayarakat digelar di watu palenasen. Termasuk foso untuk meminta hujan agar menyuburkan tanaman di kebun. Karena tempat ini dianggap keramat dan sakral. Masyarakat pun tidak sembarangan datang di tempat itu. Kecuali untuk mengadakan upacara adat atau pertemuan umum masyarakat.
Bert Supit dalam bukunya Minahasa Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua, yang terbit tahun 1986, menulis pada umumnya watu palenasen dikenal dengan sebutan watu tumotowa. Dari kata towa’, yang artinya ‘memanggil’. Kata ini mempunyai makna mendalam ‘memanggil berkat yang termulia’ yaitu hidup, dari pemberi kehidupan Opo Kasuruan, Tuhan Maha Pencipta.
Bodewyn G. Talumewo di bukunya Pengenalan Dasar Minahasa Dan Sejarah Minahasa, yang terbit tahun 2010, menjelaskan jika tempat-tempat atau benda-benda seperti watu tumotowa hanya dipakai sebagai medium ritual kepada Sang Pencipta. Pendeknya sebagai lokasi tempat ibadah atau ritual kepada Sang Pencipta. Sang Pencipta dikenal dengan nama Empung, atau Opo Wailan Wangko, Opo Menambo-nembo, Opo Renga-Rengan, Opo Kasuruan Wangko.
Untuk memuja Tuhan, diadakanlah upacara foso (korban), yakni upacara mempersembahkan sesuatu kepada Empung. Itu sebabnya foso menjadi dominan dalam kehidupan manusia Minahasa dulu. Bahkan, foso bisa dilangsungkan selama berminggu-minggu.
Menurut Talumewo, upacara ini dilaksanakan pada setiap sendi kehidupan masyarakat Minahasa. Seperti apabila melakukan panen, perburuan besar, pendirian negeri atau kampung (tumani), naik rumah baru, dan lain sebagainya.
Rikson Karundeng menulis dalam buku Wanuata, tahun 2015, ada sejumlah istilah yang digunakan orang Minahasa untuk menyebut watu tumotowa atau watu tinanian. Orang-orang Tombulu menyebut palenasen, orang Tondano atau Toulour menyebutnya panibe atau panimbe, dan orang Tonsea menyebutnya watu tumou.
Di Minahasa, ada puluhan watu tumotowa yang ditemukan hari ini. Di antaranya, di desa Kiawa, Tincep, Leilem, Motoling, Kumelembuai, Mopolo, Wakan, Raanan Lama, Lompad, Makasili, Lelema, Popontolen, Sulu, Paslaten, Popareng, Tangkuney, Rumoong Bawah, Pondang, Pondos, dan Tewasen. Watu tumotowa juga ditemukan di desa Radey, Tenga, Liwutung, Paniki, Tinoor, Kayawu, Lotta, serta di wilayah Tondano dan Manado.
Waraney Wuaya, Para Penjaga Tradisi
Di tanah Minahasa, ada begitu banyak komunitas yang masih tetap memelihara pengetahuan hidup yang diwariskan para leluhurnya. Mereka secara rutin hadir dan melakukan berbagai aktivitas di watu tumotowa atau watu palenasen. Salah satunya, Komunitas Waraney Wuaya.
Rikson Karundeng dalam bukunya, Manguni, tahun 2015 menjelaskan bahwa Komunitas Wareny Wuaya adalah sekelompok tou (orang) Minahasa yang concern terhadap usaha pengembangan tradisi budaya Minahasa. Dalam keseharian, anggota komunitas yang dimotori oleh Tonaas Rinto Christan Taroreh ini, intens melakukan penelusuran terhadap nilai-nilai keminahasaan yang dipercaya masih tersimpan dalam cerita-cerita warisan leluhur. bahkan situs-situs budaya yang ada.
Dari hasil penelitiannya, didapati bahwa nama komunitas ini mencerminkan semangat yang menjiwai para anggotanya dalam melakukan usaha ‘pencaharian’ itu. Waraney dari kata dasar wara’ (wara’ menunjuk ke burung manguni yang dipercaya sebagai burung dari Tuhan, penanda dari Tuhan).
“Waraney atau prajurit perang, juga dipahami sebagai kesatria atau pejuang gagah berani yang selalu berupaya untuk mempertahankan eksistensi tou dan tanah adat Minahasa. Sementara kata wuaya (api yang menyala dan terus berkobar semakin besar) dipahami sebagai gambaran tetang semangat,” tulis Karundeng.
Waraney Wuaya mencerminkan bahwa orang-orang yang ada di dalamnya adalah pejuang gagah berani yang selalu bersemangat dan semakin bersemangat seiring dengan perjalanan waktu, untuk melakukan penggalian berbagai tradisi dan pengetahuan dari Tuhan melalui para leluhur, dan berupaya mengimplementasikannya dalam hidup keseharian.
Pengetahuan yang diperoleh setiap hari dihayati sebagai pengetahuan dari Tuhan dan harus dipraktekkan dengan penuh kesungguhan hati dalam hidup. Karena itu, Komunitas Waraney Wuaya dengan tegas menolak bahwa praktek hidup dan ritual yang mereka lakukan adalah tradisi kafir dan sesat.
“Komunitas ini juga menolak tuduhan bahwa mereka penyembah batu dan penyembah leluhur atau orang yang sudah mati, sebab batu dianggap hanya sebagai salah satu media di mana mereka melakukan ‘perjumpaan’ dengan Sang Ilahi,” jelasnya.
Sementara, penghormatan terhadap leluhur dinilai pantas. Ini kesadaran penting dalam diri tou Minahasa, karena merekalah yang membuat generasi selanjutnya ada, merekalah yang mewariskan pengetahuan tentang hidup agar generasi kemudian tetap selamat dan sejahtera.
Ia juga menulis, roh para leluhur itu diyakini tetap ada di dekat anak cucu mereka yang masih hidup. Mereka menjaga dan memperingatkan anak cucu ini agar terhindar dari bahaya. Komunitas Waraney Wuaya menilai, tuduhan-tuduhan negatif yang selama ini dilekatkan kepada penghayat agama leluhur Minahasa merupakan stigma dari para penganjur agama-agama yang datang kemudian di tanah Minahasa.
Pengerak Komunitas Waraney Wuaya, Tonaas Rinto Christan Taroreh, memastikan bahwa watu palenasen masih tetap dijadikan ruang spiritual bagi mereka hingga kini. Tou Minahasa di komunitas budaya yang ia gerakkan memaknai watu palenasen sebagai tempat ritual untuk mengungkapkan rasa syukur atas berkat yang diberikan oleh Sang Khalik. Diakui, anggota komunitasnya setiap hari hidup dengan mengahayati dan mempraktekkan tradisi dan pengetahuan yang dipercaya merupakan ajaran penting para leluhur Minahasa sejak lama.
“Watu palenasen menjadi pusat ritual adat orang Minahasa zaman dahulu, bahkan sampai saat ini. Aktivitas spiritualitas masyarakat Minahasa, terlebih khusus di wilayah Tombulu, dilakukan di tempat itu,” ungkap Taroreh.
Watu palenasen juga masih tetap dijadikan tempat pertemuan untuk membahas persoalan masyarakat, agar mendapatkan solusi dan jalan keluar.
“Orang Minahasa seperti kami, percaya bahwa tempat itu juga menjadi simbol kehadiran Sang Khalik. Sehingga apa yang dibicarakan, dipercaya, Sang Khalik dan para leluhur ikut menjadi bagian dari proses menemukan jawaban,” terang Taroreh. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan