KISAH
Wene Karundeng: Penulis Pidato Pancasila Soekarno, Putri Bapak Stenografer Indonesia
Published
1 year agoon
19 Juli 2023
“Setelah Soekarno selesai menyampaikan pidato Pancasila-nya dalam rapat BPUPKI, Netty disuruh oleh Eliezer untuk menemui dan mewawancarai Soekarno di kantornya, untuk mengklarifikasi beberapa poin. Alih-alih menjawab interview, ia justru memberikan daftar bacaan atau buku yang mengilhami dia dalam pencetusan Pancasila dan menyuruh Netty mempelajarinya.”
Penulis: Rikson Karundeng
SEJAK Juni 2023, beredar di grup-grup media sosial Kawanua, sebuah video yang menceritakan tentang peran penting sosok stenografer dalam perumusan dasar negara Indonesia. Ia seorang gadis asal Minahasa, Sulawesi Utara, yang akrab disapa Nona Karundeng.
Sejarah perjuangan bangsa sangat penting untuk dicatat. Termasuk para tokoh yang dengan gigih berjuang, mengambil peran untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Catatan sejarah menggoreskan, ada banyak tokoh yang terlibat dalam upaya perjuangan kemerdekaan yang kemudian diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Bagian penting dari para pendiri bangsa itu adalah para stenografer, notulen, dan jurnalis yang mendokumentasikan setiap proses yang berlangsung, hingga peristiwa demi peristiwa boleh tercatat dan bisa dinikmati hingga hari ini.
Nona Karundeng, salah satu nama yang dianggap penting dalam proses pendokumentasian tentang Pancasila. Di video yang beredar luas dan mendapat respons positif dari berbagai kalangan, menjelaskan secara singkat peran ‘Nona Kawanua’ itu.
Informasi ini sebenarnya bukan kabar baru, sebab telah disampaikan oleh Mohammad Sabri, Direktur Pengkajian Kebijakan Pembinaan Ideologi Pancasila, saat ia datang dalam sebuah acara di salah satu cafe yang ada di kota Tomohon, Sulawesi Utara, pada Rabu, 31 Agustus 2022 lalu. Menurutnya, ada sejumlah rapat penting para pendiri bangsa jelang kemerdekaan, termasuk perumusan dasar negara, yang dicatat oleh Nona Karundeng. Berbagai pendapat, usulan, hingga adu argumentasi yang terjadi dalam sidang perumusan dasar negara, semua dicatat. Peran itu dilakukan oleh Nona Karundeng.
Mohammad Sabri mengungkapkan, usai tulisan stenografi Nona Karundeng diterjemahkan, langsung dimusnahkan. Namun ia menegaskan, bangsa yang besar ialah bangsa yang tak pernah melupakan sejarahnya. Termasuk peran Nona Karundeng, seorang stenografer asal Sulawesi Utara, yang telah memberi kontribusi penting bagi sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Wene Karundeng, Sukarno dan Pancasila
Sapaan ‘nona’ memang biasa digunakan di masa lampau, apalagi di kawasan Indonesia bagian Timur. Sapaan itu menunjuk ke seorang gadis yang belum menikah. Di daerah Maluku dan Minahasa, Sulawesi Utara misalnya, hingga kini sapaan itu tetap digunakan. Tak jarang, itu menjadi ‘nama sayang-sayang’ untuk seorang gadis yang sangat dicintai dalam keluarga.
Demikian Nona Karundeng, ia biasa disapa ‘nona’ oleh masyarakat umum, terutama di tempat ia bekerja. Sementara Karundeng, menunjuk ke marganya. Salah satu marga yang menyebar hampir di seluruh tanah Minahasa.
Masyarakat umum banyak yang tidak mengetahui, nama Nona Karundeng sebenarnya adalah Wuaimbene Antonetta Karundeng. Ia akrab disapa oleh keluarga, kerabat dan orang sekampungnya dengan ‘Wene’. Nama yang indah bagi seorang perempuan Minahasa. Sebab, perempuan di Minahasa biasa disebut dengan hormat ‘wewene’, dari kata ‘wene’ atau ‘bene’, yang berarti beras. Jadi, ‘wewene’ bermakna kehidupan atau berkat. Kata dan makna ini tersimpan dalam cerita rakyat tentang ‘Opo’ atau ‘Dewi Padi’ Minahasa bernama Lingkanbene.
Pada video ‘Nona Karundeng’ yang beredar luas baru-baru ini, disebutkan jika gadis itu berasal dari Tomohon. Orang-orang dari kota di kaki Gunung Lokon tak menolaknya. Orang Tomohon akan semakin yakin jika menyebut namanya adalah Wuaimbene. Sebab nama itu akrab di daerah ini. Paling terkenal adalah nama anak Mayor Manopo, Kepala Balak Tomohon 1809-1824. Wuaimbene kemudian menikah dengan Palar, Ukung Matani, dan melahirkan para pemimpin Tomohon seperti Ngantung Palar.
Namun informasi itu ternyata kurang tepat. Usai video viral itu beredar, salah seorang putra Wene Karundeng bernama Johannes Karundeng, memberikan klarifikasi. Ia mengakui, memang benar jika ibunya adalah sosok yang mendokumentasikan tentang konsep Pancasila dari Soekarno.
“Mami memang yang tulis steno langsung dari Presiden Soekarno di kantornya mengenai Pancasila. Karena zaman itu belum ada alat rekaman seperti tape recorder, jadi semua harus ditulis cepat atau dengan cara steno,” kata Johannes yang mengaku kini berdomisili di Jakarta.
Johannes memang diminta oleh beberapa anggota keluarga besar Lengkong, untuk sedikit meluruskan video yang beredar mengenai ibunya. Ia pun menegaskan kesaksian ibunya tentang keyakinan bahwa Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia adalah benar sebagai pencetus Pancasila.
“Testimoni Mami ke Sekneg dan ceritanya ke saya, memang benar Soekarno yang mencetuskan Pancasila. Kami juga yakin ada sebagian yang dia tulis atau corat-coret. Pidato Pancasila ditulis atau dicatat oleh tim notulen BPUPKI (Badan penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin oleh Eliezer Karundeng, pencipta stenografi Indonesia kelahiran Lembean dan penerima bintang Satya Lencana Kebudayaan,” ujar Johannes.
Pada sidang BPUPKI, banyak pidato memang yang disampaikan secara lisan dan dicatat oleh tim stenografer yang ditugaskan khusus untuk itu. Audrey Kahin, penulis yang menerjemahkan dalam bahasa Inggris buku terbitan Menteri Penerangan RIS dengan judul The Birth of Pancasila, menegaskan Soekarno berpidato tanpa teks, dan langsung dicatat secara steno dalam sidang BPUPK. Informasi itu juga tersaji dalam buku Siapa Penggali Pancasila yang ditulis Anjar Ani (1981).
Suasana sidang-sidang itu digambarkan dengan jelas oleh A. B. Kusuma dalam buku, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945; Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan (2004). Ia menjelaskan bagaimana para pendiri bangsa mengkaji, mendalami, serta menyelidiki bentuk dasar yang cocok guna kepentingan sistem pemerintahan negara Indonesia pasca kemerdekaan. 29 Mei 1945, BPUPK bersidang di hari pertama dengan agenda pembahasan dasar negara. Sidang hari kedua, tertanggal 30 Mei 1945 dan sidang hari ketiga, tertanggal 31 Mei 1945. Sementara, usulan Soekarno tercatat di tanggal 1 Juni 1945.
Susanto Polamolo yang menulis “Gelap-Terang Panca Sila: Otokritik Atas Teks Sejarah Yang Melenceng” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 2, Juni 2018, memaparkan jika Soekarno berpidato di hari terakhir sidang pertama BPUPK, sebelum memasuki masa reses tanggal 2 Juni-9 Juli 1945.
Pidato Soekarno itu adalah pidato yang tidak tertulis (voor de vuist), dan publikasi pidatonya yang kita kenal hari ini merupakan buah dari stenografisch verslag. Radjiman Wedyodiningrat, sebagai ketua sidang waktu itu, dalam sebuah pengantar buku Lahirnya Panca Sila 1 Juli (1947) menjelaskan bahwa apa yang dipidatokan Soekarno itu adalah suatu beginsel (dasar). Beginsel yang menjadi dasar negara kita, suatu beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan.
Kenapa keluarga besar Lengkong ikut menuntut untuk mengklarifikasi video yang beredar soal ‘Nona Karundeng dan Pancasila’, karena Wene memang bagian dari keluarga ini. Ia lahir dari rahim seorang perempuan dari keluarga Lengkong.
“Istri Eliezer adalah Adeline Lengkong, puteri bungsu Corneles Lengkong. Salah satu anggota tim notulen BPUPKI ini adalah puteri Eliezer yang bernama Wuaimbene Antonetta Karundeng, yang akrab dipanggil Netty dan oleh keluarga dipanggil Wene. Pada saat itu ia masih berusia 17 tahun,” ungkap Johannes yang memiliki nama lengkap Johannes Welan Karundeng, sembari menjelaskan jika ia juga memiliki seorang kakak bernama Philip Rumondor Karundeng yang tinggal di Makasar, Sulawesi Selatan. Mereka berdua memang menggunakan marga ibunya, Karundeng.
Setelah Soekarno selesai menyampaikan pidato Pancasila-nya dalam rapat BPUPKI, Netty disuruh oleh Eliezer untuk menemui dan mewawancarai Soekarno di kantornya, untuk mengklarifikasi beberapa poin.
“Alih-alih menjawab interview Netty, ia (Soekarno) justru memberikan daftar bacaan atau buku yang mengilhami dia dalam pencetusan Pancasila dan menyuruh Netty mempelajarinya,” ujar Johannes yang banyak mendengar kisah-kisah itu secara langsung dari ibunya.
Ditegaskan, Wuaimbene Antonetta Karundeng lahir di Lembean, Tonsea, seperti juga ayahnya. Tapi ia besar di Bogor dan Jakarta. Kemudian ikut pindah bersama Eliezer ke Makasar untuk bekerja di pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT).
Jasa Wuaimbene Antonetta Karundeng dalam perjuangan kemerdekaan, diakui oleh pemerintah. Tahun 1999, ia secara resmi menerima Bintang Mahaputera Nararya. Sebuah tanda kehormatan yang diberikan kepada mereka yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Saya menemani Mami di istana negara saat menerima Bintang Mahaputera Nararya dari Presiden Habibie. Saat penyematan bintang, Pak Presiden bilang ke Mami, ‘Kita sama-sama dari Sulawesi ya, Bu?’” kata Johannes.
Wuaimbene Antonetta Karundeng meninggal pada tahun 2016. Atas jasanya, ia kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Makasar.
Putri Pencipta Stenografi Sistem Karundeng
Istilah stenografi seperti sesuatu yang asing bagi generasi hari ini. Bukan tanpa sebab, karena hari ini cara menulis itu tidak lagi dipelajari secara khusus di sekolah-sekolah dan tidak lagi digunakan dalam berbagai kegiatan. Kecuali perguruan tinggi tertentu yang memang mengharuskan untuk belajar stenografi. Di masa lalu, stenografi sagat penting. Ia bagian dari sebuh peradaban. Banyak peristiwa sejarah di berbagai belahan dunia didokumentasikan dengan cara ini.
Hari ini, teknis pendokumentasian telah berkembang seiring perkembangan teknologi. Namun, dahulu para notulis, reporter, dan sekretaris melakukan pencatatan dengan menulis di atas kertas. Huruf yang digunakan paling efektif adalah steno. Lambang huruf yang dipendekkan dan disepakati pemakaiannya, terutama dalam bidang kesekretariatan. Tujuannya agar dapat menulis cepat untuk kemudian ditransliterasikan secara lengkap dalam bentuk surat dan sebagainya.
“Dulu orang-orang biasa mengerti tulisan steno sebagai tulisan cepat. Kami sering melihat seorang stenografer bisa menulis steno dengan cepat. Misalnya, saat mereka mencatat sebuah percakapan yang sedang berlangsung. Biasanya memang dicatat lengkap semua percakapan. Karena kalau menulis pakai huruf latin biasa, pasti tidak akan tercatat lengkap,” kata Rieke Kondoj, yang mengaku cukup meguasai tulisan steno sejak bersekolah di SMEA Pembina Manado tahun 1970-an.
Orang yang menulis dengan huruf steno merupakan seorang stenografer. Sementara, stenografi adalah tulisan cepat dengan huruf steno. Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat arti kata stenografi adalah tulisan cepat. Secara etimologi, stenografi sebenarnya berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata. ‘Stenos’ dan ‘graphein’. Stenos berarti singkat atau pendek dan graphein berarti tulisan. Jadi stenografi berarti tulisan singkat atau tulisan pendek. Karena singkat makanya dia cepat. Jadi, stenografi itu menulis dengan cara menggunakan tanda-tanda khusus yang lebih singkat daripada tulisan panjangnya (tulisan latinnya) kemudian disempurnakan dengan singkatan-singkatan, sehingga waktu yang digunakan untuk menulis stenogramnya sama dengan waktu mengucapkan kata yang dimaksud.
Di dunia, maupun Indonesia secara khusus, stenografi punya sejarah perkembangannya sendiri. Dosen stenografi, Melizubaida Mahmud, dalam bukunya Stenografi di Perguruan Tinggi (2017) menulis jika stenografi mulai berkembang beberapa abad sebelum Masehi. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan-penemuan di beberapa tempat di dunia. Misalnya didapatkannya Hieroglyphys, yaitu tulisan Mesir Kuno yang dianggap sebagai tulisan tertua dalam sejarah. Kemudian, Tachigraphy ciptaan Marcus Tulius Tiro dari Roma yang digunakan sebagai tulisan di Romawi dan Yunani.
Melizubaida Mahmud mencatat, mulai abad ke-16, sistem stenografi berkembang di beberapa negara yang sudah relatif maju. Hal ini disebabkan karena adanya tuntutan dari perkembangan masyarakatnya. Perkembangan stenografi itu terlihat di negara-negara tertentu. Misalnya, stenografi yang dikarang oleh Timothy Bright pada tahun 1588, John Willis pada tahun 1602 dan J. Pitman, yang semuanya dari Inggris (London). Berikut, stenografi yang dikarang oleh Gregg dan John Comstock Evans. Ada stenografi yang dikarang oleh F. X. Gabelsbergel pada tahun1824 di Jerman. Ada stenografi yang dikarang oleh Able Duploge dan Prevost Delanncy tahun 1878 di Perancis. Ada juga stenografi yang dikarang oleh A.W. Groote pada tahun 1899 dan disusul oleh Gerand Schaap.
Di Indonesia, terdapat dua pengarang stenografi. J. Paat/Sabirin dan Karundeng pada tahun 1925. Oleh sebab itu di Indonesia, dalam penulisan stenografi menggunakan dua sistem, yakni sistem Paat dan sistem Karundeng. Kedua sistem itu diambil dari nama pengarangnya.
Pemerintah kemudian menetapkan satu sistem stenografi resmi. Melalui Surat Keputusan No. 51/1968, tanggal 1 Januari 1968, ditetapkanlah Sistem Karundeng sebagai sistem stenografi standar yang berlaku pada lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan Departemen Pendidikan di Indonesia. Karena itulah stenografi Sistem Karundeng dikenal sebagai sistem nasional. Alasannya, karena pencipta sistem ini adalah putra Indonesia yang sudah berpengalaman dalam bermacam-macam sistem stenografi, sehingga ciptaannya berorientasi pada sifat-sifat dan spesifikasi kata-kata dalam bahasa Indonesia.
Wuaimbene Antonetta Karundeng masih sangat muda. Ia baru berusia 17 tahun ketika peristiwa pendokumentasian Pancasila Soekarno terjadi. Walau masih belia, ia telah masuk ‘tim khusus’ untuk mencatat setiap proses dalam sidang-sidang BPUPKI.
Bukan kebetulan, Wene Karundeng adalah putri dari Eliezer Karundeng. Ketua tim stenografer yang bertugas mencatat seluruh proses dalam sidang-sidang BPUPKI, yang juga dikenal sebagai pencipta stenografi sistem Karundeng.
Tapi bukan itu faktor utamanya. Wene Karundeng memang telah lama belajar secara tekun soal stenografi. Karena kemahirannya, ia kemudian ada dalam tim stenografer di sidang BPUPKI yang berjumlah enam orang.
“Dulu belum ada tape recorder atau perekam digital seperti sekarang, jadi sejak persiapan kemerdekaan, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dibentuk, sudah dibentuk juga tim stenografer yang akan ditugaskan untuk mencatat semua hal yang dibicarakan. Tim itu dipimpin Eliezer Karundeng, sosok yang kemudian dikenal sebagai Bapak Stenografer Indonesia. Anggota timnya adalah murid-murid terbaiknya, termasuk putri tercinta Nona Karundeng,” kata sejarawan Ivan R. B. Kaunang.
Banyak murid Eliezer Karundeng yang belajar secara langsung darinya tentang setenografi, dan sistem Karundeng yang ia ciptakan. Selain Nona Karundeng, ada juga sejumlah nama yang sangat dikenal luas di Indonesia, maupun di kalangan Kawanua.
“Tokoh Kawanua Han Tengker (Alexander Benjamnin Johannis Tengker) itu muridnya. Opa dari Nagita Slavina Tengker ini memang lebih dikenal sebagai pendiri AMI (Akademi Maritim Indonesia), YLPG (Yayasan Lembaga Pendidikan Gideon), dan Akademi Ilmu Sekretaris dan Manajemen Indonesia atau ASMI. Perjuangannya di dunia pendidikan itu dilanjutkan sang keponakan, Benny Tengker. Banyak yang tidak tahu kalau beliau adalah seorang stenografer handal,” tutur Kaunang.
Han Tengker adalah sosok penting yang menjadi penerus stenografi sistem Karundeng. Ia kemudian menjadi seorang profesional, bekerja di lembaga-lembaga negara sebagai seorang stenografer.
“Tahun 50-an di Makasar, Han Tengker pernah menjadi pemecah rekor nasional penulis tercepat. Karena keahlian di bidang stenografi, ia kemudian bekerja menjadi steno reporter untuk parlemen Negara Indonesia Timur tahun 1949. Tahun 1951, ia ke Jakarta dan jadi stenografer di DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia). Ia mengaku sangat bangga menjadi seorang stenografer,” ujar Kaunang.
Dosen sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado ini juga mengungkapkan, murid lain Eliezer Karundeng yang sangat terkenal adalah tokoh sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Pram belajar secara khusus dari Eliezer di tahun 1944 sampai 1945.
“Kalau Han Tengker belajar dari Eliezer di Makasar, saat ia bekerja di NIT. Tapi kalau Pram, sudah kursus ke Eliezer sejak tahun 1944 di Jakarta. Jadi, ia juga turut menjadi tim andalan stenografer yang dipimpin Eliezer dalam berbagai peristiwa penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Pram tim bersama Nona Karundeng,” jelas Kaunang.
Eliezer Karundeng memang sosok yang luar biasa. Kecerdasan dan keterampilannya membuat murid-muridnya sangat mengaguminya. Tak terkecuali Pramoedya Ananta Toer.
“Murid-muridnya betul-betul sangat kagum dengan Eliezer Karundeng. Bukan cuma soal kemampuan stenonya, tapi kecerdasannya. Pram misalnya, dengan nada kagum ia menulis bahwa ‘Karundeng-lah yang membukakan padaku keindahan bahasa Indonesia’. Eliezer memang anak Indonesia dari Minahasa yang sangat mengagumkan,” tandas Kaunang. (*)
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa