CULTURAL
Wolay, Rumonga’ Sincom dan Filosofi Hidup Tou A’kel
Published
3 years agoon
2 Februari 2022
Seho memang tak bisa dipisahkan dari tou Minahasa. Seho adalah penjaga hidup dan kehidupan tou Minahasa itu sendiri.
Penulis: Rikson Karundeng
Editor: Daniel Kaligis
UNGKAPAN syukur menyambut tahun baru di Minahasa, tidak hanya dirayakan tanggal 1 dan 2 Januari. Ekspresi sukacita itu baru akan berhenti di 31 Januari. Orang Minahasa biasa menyebut perayaan itu dengan ‘kuncikan’. Sebuah tradisi tua di tanah Lumimuut-Toar yang kini banyak bertransformasi, namun tidak kehilangan nilainya.
Biasanya, setiap hari minggu sepanjang bulan Januari, banyak masyarakat akan mengunjungi keluarga dan kerabatnya. Membuka hati dengan tulus, saling bersalaman, saling menunjukkan kebaikan, memelihara kebersamaan.
Dalam nuwu’ i tu’a (nilai-nilai keminahasaan) yang diwariskan para leluhur, ‘kuncikan’ atau tradisi syukur di tahun baru merupakan bagian dari perayaan kehidupan. Bagi orang Minahasa, hal paling pokok dari merayakan kehidupan adalah dengan cara maleos-leosan atau saling berlaku baik.
Dalam pengertian, semua telah menikmati umur panjang, sempat menginjakkan kaki di tahun yang baru. Karena bisa mencapai tahun yang baru, maka harus mempertetapkan langkah. Itu artinya hati harus tenang. Karena akan berhubungan dengan tou (orang) jadi harus mulai dengan baik-baik. Berpikir baik, berekspresi baik, bertutur kata baik, bersikap baik, termasuk memperlakukan se manonou (mahluk hidup lain, baik yang kelihatan maupun tidak) dan kayobaan (bumi, alam ciptaan) dengan baik.
‘Kuncikan’ dirayakan dengan berbagai cara. Di Tataaran, Tondano, warga merayakan ‘kuncikan’ setiap hari Minggu sepanjang bulan Januari dengan cara ‘pasiar bendi’. Warga akan berkeliling menggunakan bendi (dokar), sambil memberi salam dan melempar senyum kepada masyarakat lain yang duduk berjejer sepanjang jalan di depan-depan rumah.
Di Poopo Ranoyapo, Minahasa Selatan, warga merayakan kuncikan dengan mengundang keluarga, kerabat dan teman dari luar kampung untuk makan bersama. Mereka juga merayakan dengan wolay (macaca nigra atau monyet hitam endemik Sulawesi yang disebut yaki). Biasanya beberapa orang akan menggunakan topeng besar yang terbuat dari pelepah daun pohon tewasen (rumbia atau metroxylon sagu) yang dicat warna-warni, dan berkeliling kampung.
Warga Tondey, Motoling, Minahasa Selatan juga punya wolay. Berbeda, di sana wolay adalah sejumlah warga yang menghitamkan tubuh, menggunakan kostum hitam dan membungkus badan dengan gomutu (ijuk). Mereka kemudian berjalan mengelilingi kampung sembari memperagakan gerak-gerik mirip yaki.
Denni Pinontoan menjelaskan tradisi ini dalam tulisannya (Ma)Wolay: Satu Nama, Dua Bentuk. Menurutnya, ada pendapat yang mengatakan, terutama di desa Poopo, dalam sejarah roong (desa) ini tradisi wolay berkaitan dengan upaya untuk menakuti kawanan yaki atau wolay, serta babi hutan yang menyerang perkebunan warga.
Sementara, bagi masyarakat Tondey, tradisi ini berkaitan dengan warisan ingatan tentang perburuan yaki sebagai mata pencaharian. Menurut Denni, meski narasinya berbeda tapi menunjuk pada hal yang sama, yaitu kaitan dengan tou, yaki, uma (lahan perkebunan) dan talun (hutan) yang tidak lagi berada dalam relasi yang harmoni.
Mengutip buku Paul Richard Renwarin, Matuari wo Tonaas (2007), Denni menjelaskan bahwa ada sebuah ritual di Minahasa masa lalu yang berkaitan dengan pembersihan kampung dari wabah, atau untuk mengusir ‘se sakit’ agar ketika memasuki suatu siklus baru, masyarakat di kampung setempat dapat dihindari dari sakit penyakit atau kegagalan. Para pelaku ritual menggosokan seluruh bagian tubuhnya dengan arang hitam, bukan untuk meniru yaki atu wolay, tapi maksudnya untuk mengelabui roh-roh ‘se sakit’ dalam proses mengantar kembali ke tempat mereka.
Denni, teolog yang intens meneliti sejarah dan tradisi budaya Minahasa, kemudian berkesimpulan, ini mungkin gagasannya sama dengan apa yang masih terwariskan dalam ingatan orang-orang di Poopo dan Tondei hingga kini, yaitu tentang ruang dan sumber kehidupan ‘se tou’ mengalami gangguan karena relasi yang tidak lagi harmoni itu.
Di beberapa tempat lain seperti Manado, ‘kunci taon’ dirayakan dengan kaceba atau pigura. Perayaan rakyat ini bahkan telah ‘diambil’ oleh pemerintah dan dikemas dalam sebuah agenda tahuan bertajuk ‘festival pigura’.
Di kegiatan ini, biasanya masyarakat akan berpawai ria dengan menggunakan beragam kostum yang lucu. Para laki-laki menggunakan pakaian dan riasan perempuan, sebaliknya perempuan berdandan laki-laki dan diberi kumis dan janggut. Ada yang merias diri seperti badut dan tampak gendut, berpakaian seperti balita sambil menghisap dot, hingga para lansia yang menggunakan seragam sekolah SD, SMP dan SMA.
‘Kuncikan’ di daerah Sulawesi Utara, terutama di daerah Minahasa raya pasti selalu ramai. Keluarga yang terpisah di kampung berbeda, dan para kerabat serta sahabat, akan saling ‘baku pasiar’. Biasanya, beragam hidangan lezat yang menanti setiap tamu adalah bagian dari ekspresi syukur itu.
Pasiar Wuwuk dan Cerita Saguer
Minggu, 16 Januari 2022, saya bersama Ruth Wangkai, Denni Pinontoan, Erny Jacob, Daniel Kaligis, Josua Wajong, Leon Wilar, Kamang Pinontoan dan Naiwaka Karundeng, dari Tomohon berkunjung ke rumah Kalfein Wuisan di roong Wuwuk, Minahasa Selatan. Garry Rorong dari Rumoong Atas, ikut menyusul kami ke sana. Seperti pengalaman di waktu-waktu sebelumnya, melangkah ke rumah pembuat film ‘Tou Akel’ ini tak pernah membuat sahabat-sahabatnya ragu. Berbagai jenis masakan khas Wuwuk, pasti menanti.
Sesuai ekspektasi, tiba di depan pintu, sera’ kawok, ro’kos wawi rubus, ayang garo, cakalang sous, tanipang goreng, ridi’, deng dabu-dabu iris, di meja langsung membalas salam tabea kami. Pandangan mata dan liur pun secepat kilat saling berpaut.
Waktu makan bergulir cukup panjang. Kelezatan masakan dan keramahan khas Tontemboan orang tua Kalfein, membuat reakasi lo’mot nyaman dan awet.
Usai menikmati makanan berat, kopi kampung panas sudah menanti. Curut dan ‘bola roda’, dua kue khas Wuwuk turut menemani.
Dari topik ‘pasangan hidup’, perbincangan beralih ke soal seho (enau), saat cangkir berisi pinaraci (ramuan akar-akaran yang direndam dalam botol berisi captikus) mulai menyentuh bibir. Tempat yang tepat untuk membahas topik ini. Sebab keluarga Kalfein setiap hari hidup dengan seho, saguer (air nira yang disadap dari pohon enau) dan captikus (minuman beralkohol hasil sulingan saguer).
Saguer dan captikus, dua jenis minuman yang selalu melekat dengan kehidupan tou Minahasa. Sukacita seperti tak lengkap tanpa saguer dan captikus. Minuman persaudaraan yang biasa juga digunakan dalam upacara-upacara sakral sejak lampau.
Menurut N. Graafland, ketika ia datang ke tanah Minahasa sekira tahun 1850, ‘kesucian’ minuman adat Minahasa ini sudah mulai ternoda. Orang-orang dari luar tanah ini mulai mempertontonkan aksi mabuk-mabukan dengan saguer di Manado. Penyakit itu akhirnya perlahan mulai menjangkiti tou Minahasa. Kisah itu ditulis Graafland dalam bukunya De Minahasa: Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand (1869).
Di rumah Kalfein, kami masih mengulang kisah ‘bencana’ itu. Cerita panjang saguer dan captikus tersaji bersama pinaraci.
“Captikus kwa kurang skarang deri saguer kurang,” kata Kalfein, memulai cerita tentang kondisi yang dirasakan petani aren di awal 2022.
“Ini kwa depe masa torang ja bilang rumonga’ sincom,” sambung Garry, sembari mengaku jika dirinya juga seorang tukang ke’eet (tukang batifar atau orang yang menyadap air nira dari pohon enau). Tapi ia baru pemula. Tidak seperti ayah Kalfein yang sudah puluhan tahun menjalani profesi ini.
Rumonga’ (terbalik) sincom dimaknai seperti bambu wadah penampung saguer yang digantung terbalik. Sebuah siklus tahunan, masa ketika hasil air nira yang dipanen dari pohon aren hasilnya berkurang drastis. Sebuah masa bagi pohon ‘sumber kehidupan’ ini beristirahat sejenak. Ibarat seorang atlet badminton, ia sedang gantung raket sejenak.
“Kalu rumonga’ sincom, mayang ja kaluar sadiki ato so kurang. Saguer kurang. Pusuk-pusuk banya yang baru mo kaluar,” sebut Kalfein.
Siklus ini sering terjadi di akhir tahun sampai awal tahun. Biasanya pada pertengahan November sampai Januari. Saguer, bahan baku pembuatan captikus berkurang, otomatis hasil captikus pun berkurang.
“Sekarang masih kurang. Kita pe Papa biasa ja dapa captikus enam galon isi enam puluh botol satu minggu. Sekarang tinggal satu galon satu minggu. Bahkan dua minggu hanya satu galon,” ungkap Kalfein.
Kondisi ini membuat para petani aren harus berinovasi untuk mengerjakan sesuatu demi membuat asap di awu (dapur) tetap mengepul. Pengalaman rutin membuat mereka paham bagaimana menyiasati kondisi paceklik ini. Karena itu, siklus rumonga’ sincom bukanlah bencana.
“Biasa tu kerja ator sandiri. Karena jadwal yang tetap itu batifar deng bateru. Kerja laeng ator sandiri. Mar kalu siklus bagini, torang kerja kobong, kerja harian, kerja di kobong pece,” jelas Kalfein.
Warga Wuwuk punya kebijaksanaan sendiri menghadapi rumonga’ sincom. Saat pohon ‘sumber kehidupan’ mereka beristirahat sejenak, tabungan panen cengkih akan sangat berguna.
“Orang Wuwuk biasanya kalu panen cingke, dorang basimpang. Doi cingke ja berfungsi di momen-momen seperti ini. Voor makang deng bayar uang sekolah untuk anak-anak. Selain itu ada juga yang ba simpan vanili kering,” ungkap Kalfein.
A’kel Te’es dan Longkay
Petani aren yang secara khusus mengolah hasil saguer untuk disuling menjadi captikus, punya banyak pengetahuan tentang pohon ini. Mereka tahu siklus perkembangannya, cara memperlakukannya, hingga bagaimana menjaga agar pohon ini hasilnya tetap maksimal. Pengetahun itu ikut tersimpan dalam bahasa, ungkapan tou Minahasa.
Menurut Garry, selain rumonga’ sincom, ada beberapa bahasa petani terkait enau dan aktivitas yang dilakukan di pohon itu. Pohon yang tengah dipanen dan menghasilkan saguer yang banyak, biasa disebut a’kel te’es (mengucur deras) atau maupe’ (enau memberi banyak sekali hasil).
Kaweruan atau mayang baru, adalah istilah untuk pohon yang baru mulai disadap pertama kali. Sedangkan longkay atau ‘so ta lewat’, istilah yang menunjuk ke pohon tua yang sudah tak lagi memberi hasil maksimal.
“Longkay itu produksinya menurun dan kualitas saguer atau kadar alkohol so nda talalu keras. Jadi kalu mo momasa musti campur deng saguer lebe bagus. Makanya kalau minum captikus tawar, dorang bilang kurang longkay kwa,” jelas Garry.
Kualitas atau kadar alkohol yang dihasilkan dari enau sangat ditentukan oleh kualitas saguer, proses penyulingan, dan peralatan penyulingan.
“Rasa kalu saguer kras, berarti kadar alkoholnya tinggi. Biar manis tetap dapa rasa depe kras. Saguer longkay pasti tawar depe alkohol. Saguer baru itu bisa dilihat. Kalu lia dia bagabu skali, orang bisa tebak kaweruan itu,” terang Garry.
Aparang dan Kisah ‘Pohong Kabal’
Mengolah pohon enau butuh perlakuan khusus. Tahapan demi tahapan harus dilakukan dengan baik. Proses itu biasanya sudah ‘di luar kepala’ dari para petani.
Di daerah Wuwuk dan Rumoong Atas, Tareran, proses awal untuk mengolah pohon enau disebut aparang.
“Itu dari kata apar. Artinya setanda, ba sandar takes ato sandar bambu untuk tangga di pohon. Ini penanda awal bahwa pohon sudah ada yang punya, sudah ada yang mengolahnya. Sebelumnya tentu ada mema’ ta’kes atau membuat tangga untuk pohon,” kata Garry dan Kalfein.
“Sesudah itu, proses mawangal atau membersihkan pohon. Dalam mawangal ada proses tema’tas. Jadi membersihkan gomutu (ijuk) dan baju di mayang (pelepah di batang buah yang akan dipotong untuk tempat sadap enau). Kase kaluar supaya proses mawe’bel atau batoki aman. Itu depe toki-toki ja bilang mebel,” jelas Garry dan Kalfein.
Sebelum mulai menyadap enau, bambu atau galon untuk menampung saguer di pohon sudah disiapkan lebih dahulu. “Keme’et itu mulai proses potong mo seciri depe buah a’kel. Proses keme’et so musti terus. Setiap hari harus dilakukan. Tidak bisa dihentikan. Kalau tidak bisa maraju tu pohong, so nda mo menetes. Kurang mo dusu ulang sama deng proses awal,” ujar Garry.
Ada hal yang dianggap menarik oleh para petani terkait cara memperlakukan aren. Pohon yang sudah diolah namun tak kunjung menghasilkan, biasanya boleh berujung manis jika melakukan satu hal.
“Sejarah batifar, kalau pohon kabal, susah ja jadi, kase ke ‘tangan baru’. Pengalaman para petani, kasih tukang batifar baru ba belajar kore, pasti bisa langsung jadi,” kata Garry diiringi tawa, sembari menegaskan bahwa apa yang dia katakan itu dialami banyak petani aren.
Garry meyakini itu adalah pelajaran hidup. Berkat sudah diatur oleh Sang Khalik. Semua orang akan mendapat kesempatan, karena itu para petani aren tak pernah khawatir walaupun ia baru belajar menjadi seorang tukang batifar.
“Belum tentu satu orang tidak bisa dan yang lain juga tidak bisa. Pengalaman seperti ini mungkin sulit diterima akal, tapi itulah kenyataan yang kami alami. Masing-masing sudah disediakan berkat oleh Tuhan,” ucapnya.
Kalfein ikut menjelaskan. Menurutnya, jika pohon yang coba diolah sulit mengeluarkan air nira, ada cara lain juga yang bisa dilakukan para petani.
“Ada pohon nda jadi, selain pake orang baru, potong akang tu seho. Keta’ akang di bagian bawah. Pohon kabal pun tetap masih bisa menghasilkan. Olah bikin sagu. Tapi tidak sembarangan. Nanti tunggu musim panas di Juni sampai Juli. Hanya bisa basagu kalu musim panas. Itu tu foso (pantangan) di sini,” ungkapnya.
Kata Kalfein, itu mengapa petani di Minahasa tak pernah merasakan kelaparan. Sebab ketika musim panas, tanaman lain sulit menghasilkan, ada aren yang siap memenuhi kebutuhan untuk makan. Di masa-masa seperti itu, masyarakat biasanya bekerja bersama mengolah sagu dari aren.
Hal menarik lain, hutan dan perkebunan yang kecil tak akan membuat para petani berebutan pohon aren untuk diolah. Ada mekanisme tersendiri yang telah terbangun di masyarakat secara turun-temurun.
“Tempat mengolah seho seperti sudah ada teritori. Kita tidak saling berebut lahan. Masing-masing petani sudah tau di mana wilayah yang akan dia olah. Warga lain pun tau itu. Tidak boleh saling mencuri. Foso itu. Karena kalau mencuri, saguer yang dipanen akan mati,” jelas Kalfein.
Penjaga Wadah Hidup
Seho memang tak bisa dipisahkan dari tou Minahasa. Seho dimaknai sebagai penjaga hidup dan kehidupan tou Minahasa itu sendiri. Kalfein Wuisan pernah menulis, seho atau pohon aren (arenga pinnata), dalam bahasa Minahasa, Tontemboan, disebut a’kel.
Secara harafiah a’kel berarti ‘pelindung wadah hidup’ atau ‘penjaga wadah hidup’. Dari arti tersebut, setiap orang bisa mendefinisikan maknanya.
“Orang tua atau leluhur di tanah Minahasa memiliki alasan tersendiri ketika menyebut atau menamakan pohon aren dengan a’kel. Kata ini dipakai sebagai sebuah pemaknaan yang mendalam berkaitan dengan eksistensi hidupnya dengan tana’ Minahasa,” tandas Kalfein.
Budayawan Minahasa ini menjelaskan, pohon seho merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak tumbuh dan banyak diusahakan oleh tou Minahasa sebagai sumber hidup.
“Bagi anak-anak keluarga petani captikus, pohon seho sangat familiar dengan mereka. Orang tua mereka tentu mengajarkan banyak hal tentang pohon seho. Misalnya tentang karakteristik, kelebihan, kekurangan, dan terpenting bagaimana mengolah pohon seho untuk hidup. Pengetahuan hidup ini tetap terus diwariskan,” tegas Kalfein.
Malam mulai tenggelam. Captikus telah kandas di dasar botol pinaraci. Sebuah isyarat jika kami harus segera kembali ke Tomohon. Ada syukur, captikus masih tetap tersaji di ‘kuncikan’, pohon a’kel dan nilai hidupnya masih tetap terpelihara. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan