CULTURAL
Ziarah 3 Januari dan Distorsi Makna Upacara Tumo’tol
Published
6 years agoon
By
philipsmarx4 Januari 2019
Oleh: Rikson Karundeng
Kini banyak orang yang datang tidak lagi memahami makna upacara tumo’tol, makna ziarah ke Watu Pinawetengan setiap tanggal 3 Januari.
RIBUAN WARGA menyesaki kawasan Watu Pinawetengan. Pemandangan biasa yang sering tersaji setiap tanggal 3 Januari. Sejak semalam, kawasan situs yang berada di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso Minahasa itu memang sudah mulai ramai.
Ingatan warga sekitar, pemandangan itu memang sudah cukup lama berlangsung. Awal tahun, ribuan warga dari berbagai penjuru tanah Minahasa, termasuk orang Minahasa diaspora, akan mengunjungi situs sejarah budaya yang diyakini tou atau orang Minahasa, memiliki makna yang dalam bagi eksistensi tou dan tanah adat Minahasa.
Beberapa tahun belakangan, setiap 3 Januari, Watu Pinawetengan kian sesak. Semakin banyak orang yang antusias datang ke tempat itu. Baik untuk ziarah, menggelar upacara adat, maupun sekedar menikmati keramaian di tempat itu.
“Sejak saya kecil, tradisi ini memang sudah ada. Biasanya, orang-orang Kawangkoan, Tompaso, Langowan dan dari berbagai penjuru Minahasa lainnya, mendatangi Watu Pinawetengan setiap 3 Januari. Ada Tonaas dan komunitasnya yang ‘ba ator’ di watu tapi ada juga yang melaksanakan berbagai bentuk hiburan di sekitar watu. Tradisi ini memang mengandung makna ziarah,” terang Denni Pinontoan, yang mengaku lahir pada tahun 1976.
Biasanya, selain Watu Pinawetengan, ada juga situs-situs di sekitar yang dikunjungi masyarakat.
“Biasanya, dari Pinawetengan kami berjalan hingga ke Watu Putih atau Watu Toar-Lumimuut yang ada di Bukit Kasih Kanonang sekarang dan kembali berbalik ke Pinawetengan. Dulu, ketika datang ke sana, anak-anak muda banyak juga yang memetik bunga untuk dibawa pulang. Itu salah satu tanda kami telah berkunjung ke daerah Tonderukan,” terang Pinontoan, sembari mengungkapkan jika kawasan tersebut dahulu banyak ditumbuhi bunga edelweiss.
Budayawan Minahasa, Fredy Wowor menuturkan, Watu Pinawetengan memang menyimpan nilai historis dan filosofis bagi tou Minahasa karena itu tak bisa lepas dari masyarakat Minahasa. Menurutnya, Pinawetengan bermakna tempat dimana dahulu telah dilakukan pertemuan untuk berbagi pendapat atau musyawarah tentang masa depan dari seluruh keturunan Toar dan Lumimuut, leluhur tou Minahasa.
“Watu im Pinawetengan berarti batu tempat pembagian. Penamaan ini terkait dengan adanya musyawarah untuk membagi daerah ke masing-masing keturunan Toar dan Lumimuut. Atau Watu Pinawetengan I Nuwu yang berarti batu tempat berbagi pendapat atau pembicaraan,” terangnya.
“Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan akan selalu terjadinya perselisihan dan perang saudara,” jelas Wowor.
Di Watu Pinawetengan, leluhur Minahasa melakukan banyak musyawarah. Termasuk membicarakan tentang berbagai upaya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah.
“Tempat itu disebut juga Watu Pakaeruran U Nuwu. Berarti batu tempat memusyawarahkan pembicaraan tentang persatuan dan perdamaian serta perang melawan penjajah. Disebut juga Watu Rerumeran Ne Empung, yang berarti batu tempat duduk dari para opo. Makanya situs ini selalu dikunjungi juga dalam rangka mengingat berbagai makna yang tersimpan di situ,” papar akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado yang juga pegiat Mawale Movement ini.
Soal tradisi ziarah di Watu Pinawetengan pada awal tahun, dijelaskan lebih lanjut oleh Rinto Taroreh. Budayawan yang juga dikenal sebagai seorang Tonaas, parapsikolog. Menurutnya, kebiasaan masyarakat setiap tanggal 3 Januari sangat berhubungan dengan dua tradisi yang berkembang di masyarakat Minahasa.
“Ini sebenarnya terkait erat dengan ritual mahelur atau babuju. Tradisi masyarakat Minahasa untuk bagaimana berdamai dengan Tuhan dan alam agar hasil panen di tahun tersebut tidak rusak dan berkat mengalir baik,” jelasnya.
Hal lain yang menurut Taroreh ikut mempengaruhi kebiasaan itu adalah tradisi para muda-mudi untuk mencari bunga di kawasan Kakeretan atau Tonderukan. Sebuah pegunungan di sekitar Watu Pinawetengan.
“Jadi ada kebiasaan anak-anak muda mencari bunga warna-warni untuk dipakai dalam hari-hari besar sebagai hiasan. Ya, salah satunya bunga edelweiss. Bunga itu dipilih karena menarik dan tahan,” tambahnya.
Ia juga mengungkapkan, sebenarnya tradisi berkunjung setiap tanggal 3 Januari itu belum juga terlalu lama. “Menurut cerita orang tua, kebiasaan seperti sekarang baru mulai tampak sekitar tahun 1970-an, ketika jalan ke Watu Pinawetengan sudah bagus. Tapi kalau kebiasaan masyarakat Minahasa berziarah ke sana sudah jauh lebih lama dari itu. Sebab masyarakat Tinoor saja punya banyak foto ketika mereka berziarah ke sana pada tahun 1920-an dan 1930-an,” paparnya.
UPACARA MERAYAKAN KEHIDUPAN
Di Minahasa, sejak kekristenan masuk, sudah menjadi kebiasaan merayakan Tahun Baru dua hari berturut-turut. Tahun Baru pertama dan kedua. Pada hari yang ketiga, orang-orang biasa memanfaatkan waktu untuk rekreasi bersama keluarga, kerabat, teman. Kawasan Bukit Tonderukan dimana Watu Pinawetengan berada, jadi salah satu lokasi favorit masyarakat untuk kegiatan tersebut.
Menurut Rinto Taroreh, di momen bersamaan, para Tonaas datang ke Watu Pinawetengan untuk melakukan upacara tumo’tol.
“Dari dulu kan sudah terbiasa ada perayaan taon baru pertama dengan kadua. Pas hari katiga, orang-orang barekreasi di sekitar Watu Pinawetengan. Bertepatan dengan itu, para Tonaas tua melakukan upacara tumo’tol,” ungkapnya.
“Kata tumo’tol itu dari kata dasar to’tol. Artinya lebih ke ibarat batu pondasi, batu dodika. Jadi upacara itu untuk meletakkan pondasi, meletakkan awal di tahun yang baru,” tandas Taroreh.
Pokok dari upacara itu adalah merayakan kehidupan. Sebuah ekspresi syukur terhadap Sang Khalik atas berkat yang telah dikaruniakan-Nya.
“Tu pokok merayakan kehidupan dengan cara baku-baku bae. Dalam pengertian, torang samua da umur panjang. Da riki tu taon yang baru. Karna so riki taon baru, musti batantu bae-bae tu langkah. Itu tu hati harus tenang. Karena mo berhubungan deng orang jadi torang musti mulai deng bae-bae,” jelasnya.
Jauh sebelum tradisi rekreasi itu, orang Minahasa memang telah terbiasa melakukan upacara tumo’tol di Watu Pinawetengan. Lambat laun, tradisi ini berkembang.
“Orang ka sana sebenarnya untuk upacara mahelur, baator. Dalam pemahaman, mo mahelur, mo baator di sana untuk meletakkan pondasi awal. Jadi tu bator tiap tanggal 3 Januari itu tidak sembarangan,” tegasnya.
Karena itu, orang-orang Minahasa yang bersua di kawasan Watu Pinawetengan dahulu dalam rangka mengekspresikan sikap yang baik terhadap sesama.
“Di sana, tampa torang mo baku dapa deng mo baku-baku bae. Tanggal 3 Januari bukan sekedar rutinitas. Kita harus memaknai baik-baik tanggal itu. Bukan sekedar seremoni, rutinitas semu. Lebih dari itu untuk memaknai kehidupan,” kata Taroreh.
“Jadi, bagaimana mau merefleksikan, kita telah melewati tahun baru dan bagaimana harusnya kita melangkah ke depan. Di sana kita bertemu orang-orang yang sehati dengan kita di budaya. Torang baku dapa, baku pegang tangan, mengucap syukur ke Opo Empung, Tuhan Yang Baik. Meghormati orang tua, para leluhur melalui suatu upacara,” sambungnya.
TRADISI SARAT MAKNA YANG MULAI TERDISTORSI
Berziarah ke Watu Pinawetengan masih tetap dijalani masyarakat Minahasa hingga hari ini. Namun, tradisi sarat makna itu terlihat mulai mengalamai distorsi atau penyimpangan makna. Banyak warga yang tak lagi memahami makna tradisi ini dinilai menjadi salah satu penyebab.
Rinto Taroreh bahkan memastikan jika beberapa tahun belakangan banyak peristiwa yang terjadi di Watu Pinawetengan pada tanggal 3 Januari telah melenceng dari ajaran leluhur.
“Belakangan so banya yang melenceng. Kenapa? Di sana torang mo merayakan tu baku-baku bae. Tapi, misalnya di 3 Januari 2019 ini, jelas terlihat aktivitas di sana sarat kepentingan pihak tertentu. Orang-orang semakin terkotak-kotak, so lebe takelompok. Bukan lagi ke arah menguatkan spiritualitas, untuk menguatkan batin. Orang bukan lagi menenangkan diri untuk menemukan jalan ke Sang Khalik. Tapi so jadi ajang unjuk massa,” keluh penggerak Komunitas Waraney Wuaya ini.
Tahun ini, Taroreh bersama hampir 300 orang anggota komunitasnya melaksanakan upacara tumo’tol di kawasan Watu Pinawetengan. Diakui, kali ini semakin banyak pengalaman tak mengenakkan yang dialami.
“Parahnya terlihat momen ini sudah diseret ke politik praktis. Ada pihak yang memanfaatkan tardisi religius ini untuk kepentingan politik,” ketusnya.
“Ada juga pengalaman baru. Di depan Watu Pinawetengan, ada mobil polisi masuk dan mengatur lalulintas. Mereka pakai toa. Trus toa juga dipakai mengatur kelompok yang akan masuk ke dalam watu. Sangat mengganggu kekhusyukan komunitas-komunitas yang melakukan upacara di situ. So kurang sama deng pasar tre di sana,” ucap Taroreh dengan nada prihatin.
Keluhan yang sama terlontar dari Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulawesi Utara, Allan Sumeleh. Diakui, beberapa waktu belakangan kondisi di Watu Pinawetengan saat 3 Januari semakin memprihatinkan.
“Banyak yang semakin tidak nyaman datang ke Watu Pinawetengan. Orang ramai, lalulintas penuh sesak, semerawut, tidak teratur.
Hal baik, memang semakin banyak masyarakat Minahasa yang mau datang tapi mereka yang datang kebanyakan terlihat semakin tidak teratur,” ujarnya.
Pemandangan lain yang tak mengenakkan, sampah berserakan di lokasi yang dianggap sakral oleh masyarakat adat Minahasa itu.
“Suasana semakin semerawut. Selesai kegiatan, tempat yang kita anggap sakral itu justru dipenuhi dengan sampah. Kalau orang yang paham, masuk ke kawasan itu saja mereka melepas alas kaki, sandal, sepatu. Itu wujud hormat kepada para leluhur dan kepada Sang Khalik,” tuturnya.
Menurut Sumeleh, ini menjadi persoalan serius karena orang yang datang terkesan banyak yang tidak lagi memahami makna upacara tumo’tol. Makna melakukan ziarah ke Watu Pinawetengan setiap tanggal 3 Januari.
“Paling jelek, ada yang datang terkesan hanya mau mempertontonkan massa yang dia bawa. Kalau seperti itu, jelas terlihat motivasi mereka. Tak heran belakangan sudah sering terjadi gesekkan antar kelompok di sana. Ini sangat memalukan. Sangat bertentangan dengan makna dari perayaan itu sendiri,” tandasnya.
Dijelaskan, pertemuan masyarakat Minahasa setiap tanggal 3 Januari itu adalah ruang syukur kepada Sang Khalik atas kebaikan-Nya kepada umat manusia.
“Itu momen untuk bertemu sanak-saudara, kerabat, untuk berbagi syukur bersama. Jadi harusnya kita bersukacita, saling melempar senyum, berbagi kebahagiaan. Bukan sebaliknya, menunjukkan keangkuhan, amarah, prilaku tidak baik terhadap sesama. Ini justru merusak ritual ini dan jelas-jelas sangat bertentangan dengan ajaran para leluhur,” kata Sumeleh.
Ia menilai, sudah saatnya tou Minahasa melakukan refleksi terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. “Kita harus berefleksi, sebagaimana hakekat upacara tumo’tol itu. Tradisi ini harus tetap dilanjutkan karena ia memberi hidup bagi tou Minahasa. Tapi mari kita lawan prilaku-prilaku buruk yang mencederai nilai warisan leluhur kita. Jangan stel tau budaya tapi dalam praktek tidak demikian,” tegasnya.
“Tahun lalu, di Watu Pinawetengan kage-kage so ada poster Donald Trump. Ini hari kage-kage so ada tim sukses calon presiden datang. Apa depe hubungan samua itu deng upacar tumo’tol? Mari, jangan kita rusak tradisi mulia ini dengan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang cenderung berpotensi memecah belah kita. Jangan kita rusak tempat sakral itu dengan prilaku buruk kita. Tou Minahasa itu kritis. Jadi, mari kita sama-sama kritisi hal-hal ini dan jaga bersama agar tidak kembali terulang tahun depan,” kunci Sumeleh. (*)
Editor: Denni Pinontoan
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan