OPINI
Modernisasi Ala Wenzel Matikan Demokrasi Minahasa

11 September 2025
Penulis: Rikson Karundeng
WAJAH manis demokrasi Minahasa benar-benar berubah. Goresan sejarah kelam itu diawali sejak tahun 1825. Di masa ini, Residen Johannes Wensel mengeluarkan sebuah program yang disebutnya dengan “Pemerintahan Modern”. Dua sasaran utama Residen Pertama Keresidenan Manado itu adalah Instelling in de Minahasa dalam arti Instelling in der Minahasa Raad, yaitu rencana perubahan susunan keanggotaan Dewan Minahasa dan Penataan Susunan Pemerintahan Desa.
Wajah demokrasi Minahasa yang tercermin dalam “Dewan Wali Pakasaan” sebagai Lembaga Tertinggi Republik Minahasa, dirubah menjadi Minahasa Raad atau Dewan Minahasa. Jika sebelumnya Dewan Wali Pakasaan terdiri dari para ukung, pemimpin negeri, yang memiliki hak yang sama, kini keanggotaan Dewan Minahasa terdiri dari: residen sebagai ketua yang bergelar presiden, komandan militer dengan seorang anggota militer lain atau seorang anggota sipil warga Eropa, tiga ukung atau Kepala Pakasaan yang dapat diatur dan diganti setiap tahun, serta seorang sekretaris.
Sementara, untuk bisa mengendalikan seluruh pemerintah yang ada di wanua-wanua (kampung-kampung), Residen Wenzel menata struktur susunan pemerintahan desa dengan menciptakan keseragaman struktur pemerintahan dalam desa yang bisa dikendalikan oleh
pemerintah atasan.
H.B. Palar dalam bukunya Wajah Baru Minahasa (2009), mengungkapkan bahwa bentuk
dan struktur pemerintahan wanua-wanua Minahasa zaman itu sebenarnya bukan tidak seragam. Malahan dalam struktur pemerintahan Minahasa “asli”, sudah ada pembagian tugas yang rapi; namun yang dimaksud oleh Residen Wenzel agar melalui struktur baru itu orang orang yang akan ditunjuk sebagai pejabatnya adalah orang-orang yang dikehendaki pemerintah Belanda, orang yang mudah diatur dan orang yang loyal kepada atasan, seperti yang telah dirintis pada zaman Residen Jan Smith abad ke-18.
“Modernisasi” Residen Wenzel dalam pelaksanaannya benar-benar telah membuat
revolusi besar terhadap struktur Dewan Wali Pakasaan yang telah berusia berabad-abad. Dewan Wali Pakasaan adalah lembaga tertinggi di Minahasa. Para ukung mungkin hanya dibekali dengan pengetahuan yang diperolehnya dari pendidikan asli Minahasa yang dikenal dengan papendangan, namun mereka sudah dapat memimpin negerinya, Minahasa dan seluruh masyarakatnya sehingga telah menjadi salah satu penghasil beras terbesar di daerah timur Nusantara, bertahan dari incaran kerajaan serta kesultanan di sekelilingnya. Minahasa ketika itu malahan menjadi sasaran hegemoni bangsa Barat yang bersaing. Namun mereka telah sanggup menahan berbagai gempuran, termasuk serbuan dari dua kekuatan yang bersekutu, Spanyol dan Bolaang Mongondow. Kekuatan dahsyat yang kemudian berhasil didepak keluar dari daerahnya. Padahal, waktu itu Spanyol merupakan negara adikuasa.
Dewan Wali Pakasaan dalam strukturnya yang asli mempunyai kekuasaan mutlak untuk menentukan menerima atau menolak segala bentuk pengaruh yang datang dari luar. Terbukti, di antaranya saat Dewan Wali Pakasaan melalui “Trio Legendaris Minahasa”, Paat, Lontoh dan Supit dengan tegas melakukan penolakan terhadap resolusi pemerintah kompeni pada 21 Desember 1770. Kelebihan lain Dewan Wali Pakasaan adalah menghasilkan berbagai kebijakan demi kepentingan bersama. Namun yang menarik, semua keputusan awal belumlah bisa menjadi keputusan akhir sebab keputusan awal itu harus dibawa kembali ke masyarakatnya masing-masing. Setelah dibicarakan dengan masyarakatnya, para ukung akan kembali ke Dewan Wali Pakasan untuk menyampaikan keinginan rakyatnya sebelum ada satu kata sepakat dalam dewan itu. Dengan adanya kebijakan Residen Wenzel ini, segala wewenang itu jelas hilang. Dari sekian banyak ukung yang ada, hanya tiga yang akan diterima menjadi bagian dari Minahasa Raad.
Kehadiran tiga ukung mewakili yang lain dalam dewan secara bergilir hanya berperan sebagai penyalur informasi kepada pihak penguasa mengenai kebiasan-kebiasaan yang berakar dalam masyarakat dan juga penyalur semua ketentuan yang diambil dalam raad itu kembali kepada masyarakat. Tetapi untuk menentukan keputusan, bukan lagi wewenang ukung-ukung. Lagi pula, ukung-ukung yang akan menjadi anggota itu sudah tentu bukan lagi sosok-sosok pemimpin yang berjiwa seperti Lontoh, Tewu, Matulandi, para pemimpin dalam peristiwa “Perang Tondano” 1808-1809 dan tokoh-tokoh panutan Minahasa lainnya. Minahasa tidak dapat lagi berbuat semaunya.
Agar dapat mengatasi berbagai persoalan di masa itu, Residen Wenzel lebih berpendoman pada hukum-hukum Barat, memaksakan hal-hal baru dan menggeser adat dalam masyarakat Minahasa yang dianggapnya merugikan dan tidak lagi relevan dengan cita-cita pembaharuannya.
Sebuah artikel dengan judul “De Verhouding van de Minahassa tot het Nederlandsch gezag” (Anon,1892) menjelaskan bahwa masa 50 tahun setelah dekade ketiga abad-19 adalah masa peraturan-peraturan pemerintah kolonial menjadi lebih ringan dikeluarkan. Pada tahun 1930, walak sebagai bagian dari sistem pemerintahan tradisional secara berangsur-angsur mulai diganti istilahnya dengan distrik, sedangkan pemimpinnya digelari “Hukum Besar” atau “Mayor”. Suatu periode baru dalam politik kolonial telah terus digelindingkan menurut cara cara yang lebih tersentralisasi. Pada tahun 1858, keluar keputusan yang menyatakan pemberian jabatan ”Hukum Besar” dan “Hukum Kedua” kepada “Kepala Distrik” dan “Kepala Distrik Bawahan”. Mendahului itu, pada tahun 1856, reorganisasi walak menjadi distrik yang saat itu berjumlah 26, diberlakukan secara resmi, menggantikan jumlah 27 seperti yang telah berlaku sejak tahun 1824. Pengembangan dan penciutan jumlah distrik demikian terus berlanjut hingga tahun 1918.
Pada pertengahan abad-19, maksud menciptakan sistem pemerintahan bercorak feodal seperti yang secara sistematis telah diusahakan sejak lama, mulai diterapkan kepada para kepala. Berbagai atribut mencerminkan kebesaran Kepala Distrik dihadiahkan pemerintah kolonial. Dalam proses ini pemerintah kolonial mulai berpikir untuk lebih suka menempatkan warga Minahasa di bawah status ketundukan.
Dalaman penetrasi pemerintah kolonial yang sesungguhnya, pada bagian lain dapat pula
ditemukan melalui keluarnya Regeringsreglement (Surat Keputusan) tahun 1854 (RR 1854). Dengan adanya RR sebagai “undang-undang dasar” tersebut maka yang tampak dalam praktik
pelaksanaan pemerintahannya adalah bahwa mulai dari struktur, sistem maupun administrasi, secara langsung telah mengubah kedudukan distrik menjadi bagian dari pemerintahan. Distrik kali ini dianggap bukan lagi sebagai wilayah kesatuan hukum adat, tetapi telah berubah menjadi wilayah administratif. Meskipun demikian, barulah pada tahun 1870 semua reorganisasi demikian secara resmi dijalankan, yakni ketika Manado dan Minahasa resmi dinyatakan sebagai wilayah yang diperintah langsung (reshtseeks bestuurd gebeid). Dapat disimpulkan bahwa sejak tahun itulah kedaulatan Belanda secara murni berlaku atas wilayah ini; suatu kedaulatan, yang apabila diletakkan dalam konteks kepulauan Nusantara bisa menjadi jelas seperti dinyatakan sendiri oleh Gubernur Jenderal A.J. Duymer van Twist saat melakukan kunjungan ke wilayah Minahasa pada tahun 1855.
Pada tahun 1877 suatu pernyataan yang menunjuk bahwa semua tanah di Minahasa menjadi milik negara (domeinverklaring) dikeluarkan pemerintah kolonial.
Godee Molsbergen dalam tulisannya Geschiedenis van Minahasa (1928) juga menegaskan bahwa perombakan radikal dan total memang telah dilaksanakan Residen J. Wensel tahun 1827 sesuai rencana yang diusulkan kepada Gubernur Maluku pada 1 September tahun 1825. Ia telah menggusur struktur serta wewenang Dewan Wali Pakasaan dan pemerintahan wanua yang asli dengan satu gebrakan yang ia sebut “Program Pemerintahan Modern”. Program tersebut diwujudkan dengan pembentukan Minahasa Raad atau Dewan Minahasa sebagai pengganti lembaga Dewan Wali Pakasaan dan penataan pemerintahan wanua yang baru.
Dalam struktur baru ini, Minahasa Raad tidak lagi demokratis karena anggota-anggotanya lebih merupakan pilihan pemerintah. Dalam susunan pemerintahan desa yang baru, peran para walian (pemimpin spiritual masyarakat Minahasa) dihapus, malahan dilarang. Mula-mula status mereka sebagai pegawai tanpa gaji (onbezoldigde amtenaren) yang menjadi sumber penghidupannya seperti dalam masyarakat tradisional sebelumnya antara lain, pontol sawang sebagai kewajiban warga untuk mengerjakan kebun Kepala Distrik atau Ukung Tua. Kepala-kepala wanua mendapat kontribusi dari tagihan pajak dan biaya pengurusan perkara yang disebut “alas kadera”. H.B. Palar juga melihat bahwa program ini sebenarnya sebuah tombak bermata kembar yang ditancapkan pada satu objek dan menghasilkan dua lubang pada tempat berbeda, tetapi saling terkait. Pertama, lubang yang menjebol benteng wibawa Dewan Wali Pakasaan (Raad der Dorpshoofden) itu sendiri serta lubang kedua, yaitu lubang yang menjebol benteng adat.
Paham-paham baru dan asing bagi orang Minahasa disuntikkan melalui sejumlah peraturan pemerintah Belanda dengan perantaraan pejabat-pejabat yang dipilih dan diangkat sendiri oleh Belanda.
Hukum Tua dalam masyarakat wanua Minahasa disebut kapala atau “Kelung um Banua” (pelindung negeri) dan merupakan tokoh-tokoh pilihan rakyat. Mereka sungguh-sungguh menjadi pemimpin dan serta-merta menjadi pelindung rakyatnya dan selalu tampil di depan untuk menghadapi masalah apapun.
Dalam struktur baru, mereka itu tidak lagi merupakan hasil pilihan rakyatnya (grass root)
yang murni, karena untuk menjadi calon harus memenuhi kriteria pemerintah; kepemimpinan
mereka sudah dibatasi dengan seperangkat peraturan yang disertai sanksi-sanksi yang cukup
berat. Struktur pemerintahan wanua juga dirombak radikal. Walian yang berperan sentral dalam masyarakat agraris dicekal dan dikucilkan dari lingkungannya.
Penjebolan adat yang sedemikian akhirnya mengubah pola pikir, pola tindak dan banyak
pola lain dari kepala-kepala yang membimbing rakyat menurut pola-pola baru itu.
Raad der Dorpshoofden atau Dewan Wali Pakasaan adalah sebuah institusi, lembaga yang tak terjamah dan tak terkalahkan. Terdiri dari para pemimpin tertinggi pakasaan, walak dan negeri, yang menentukan segala segi menyangkut kehidupan wanua. Ia mempunyai kedaulatan yang ampuh atas teritorium dan masyarakatnya, yang sangat sukar dipengaruhi dan selama berabad-abad sangat menghambat rencana penguasaan total kompeni terhadap “Tanah Malesung”.
Minahasa Raad telah dipakai Belanda untuk melakukan perubahan radikal dan total bagi
Minahasa.
Sebenarnya sistem yang diterapkan Residen J. Wenzel yang menunggangi wibawa para
pemimpin tradisional itu adalah penguasaan tidak langsung, indirect rule. Perombakan-perombakan yang dilakukannya harus diakui telah merubah beberapa hal ke arah yang lebih positif. Namun harus diakui juga bahwa ketika Wenzel menciptakan proto Minahasa Raad untuk menggantikan Dewan Wali Pakasaan yang tak terjamah, intouchable oleh Belanda saat itu, maka hilanglah sejumlah mutiara budaya Minahasa. Dengan lahirnya gagasan 1 September 1825, hilanglah kedaulatan Dewan Wali Pakasaan itu, hilanglah mahkota Minahasa, hilanglah Demokrasi Minahasa sesungguhnya, hilanglah “Republik Minahasa”.
*Tulisan ini pernah dimuat di majalah Waleta Minahasa tahun 2010.
