Connect with us

CULTURAL

“I Want To Break Free” Melawan Opresi Identitas Gender

Published

on

07 Februari 2019


Oleh: Greenhill G. Weol
Seniman, Director Mawale Cultural Center


 

“..I want to break free
I want to break free
I want to break free from your lies
You’re so self satisfied I don’t need you
I’ve got to break free.”

 

QUEEN ADALAH BAND rock kontroversial. Bohemian Rhapsody boleh jadi lagu terpopuler mereka. Tapi I Want To Break Free adalah lagu paling kontroversial dari grup ikon asal Inggris ini.

Gerombolan Freddie Mercury, Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon merekam lagu ini pada tahun 1983 dan nanti dirilis tahun 1984 pada album studio kesebelas mereka, “The Works”. Single yang memuat lagu ini sukses terjual 200.000 keping dan menduduki tangga teratas lagu populer di Inggris, Austria, Belgia, dan Belanda.

Ide utama terletak pada judulnya, yang kemudian diulang-ulang dalam bait-baitnya “I want to break free” (Aku Ingin Bebas Lepas). Tema cinta juga hadir, terbaca dalam lirik. Sang tokoh protagonis dalam lagu ini “jatuh cinta / tidak bisa melupakan caramu mencintaiku / tidak ingin hidup sendirian”.

Tokoh ini tahu bahwa hubungan itu tidak semestinya: “Aku ingin membebaskan diri dari kebohonganmu / Kau begitu puas diri aku tidak membutuhkanmu”, serta “Aku tidak ingin hidup bersama / Tuhan tahu, aku harus berjuang sendiri”.

Sebetulnya, tidak ada lirik yang betul-betul ‘revolusioner’ dalam lagu ini. Tapi ia semacam memiliki ‘roh’yang kemudian membuat hati para pendengar memberinya makna-makna perjuangan terhadap opresi.

John Deacon, pemain bass Queen adalah penulis lagu ini. Ia menulisnya dari perspektif seorang pria memandang gerakan feminis. Di Eropa dan Amerika Selatan, tempat lagu ini menjadi sangat popular, dianggap sebagai lagu kebangsaan melawan penindasan. Di Afrika Selatan dan beberapa wilayah Amerika Selatan, bahkan ia sangat dipuja. Bagi penggemar Queen di sana, lagu ini menyampaikan pesan untuk perjuangan melawan penindasan.

Aura revolusi rupanya begitu kental terpatri pada lagu ini. Partai African National Congress (ANC) di Afrika Selatan pada akhir 80-an menjadikannya semacam lagu wajib. Ketika itu, Nelson Mandela masih meringkuk dalam penjara. Rasisme apartheid pemerintah kulit putih masih berlangsung.

Di Amerika Selatan, I Want To Break Free menjadi lagu pembebasan bagi mereka yang tertindas. Di Brasil, ia menjadi semacam sebuah pesan “suci” melawan kediktatoran yang sudah berlangsung puluhan tahun itu.

Ajakan untuk “Bebas dan Lepas” dalam lirik memang sangat menginspirasi. Tetapi kemudian, aspek paling kontroversial dari lagu ini muncul ketika Queen memilih representasi visual yang mereka masukkan dalam video klipnya.

Biayanya sebesar 100.000 poundsterling. Ia disyuting pada bulan Mei 1984 di Limehouse Studios, London, Inggris. Video klip ini memparodikan sebuah acara televisi popular yang tayang di Inggris kala itu, “Coronation Street”. Pada video klip ini, para personil Queen memerankan beberapa karakter acara televisi ini. Dalam tradisi seni pantomim dan komedi khas Inggris, semua personil band rock ini tampil mengenakkan pakaian perempuan.

Freddie Mercury dengan kumis tebal khasnya, dibalut blus lengkap dengan payudara palsu serta rok mini hitam ketat. Ia berakting sedang menggunakan mesin penyedot debu dan kemonceng.  Hilir-mudik menyanyi sambil membersihkan ruang tamu. Brian May berambut keriting dalam baju tidur wanita. John Deacon berperan sebagai nenek-nenek centil. Sedangkan Roger Taylor berdandan bak gadis cantik anak sekolahan.

Kontroversi video klip ini sebenarnya tidak direncanakan. “Kami telah merilis banyak video klip yang sangat serius di masa lalu, dan kali ini kami hanya berpikir untuk membuat sesuatu yang fun dan menyenangkan,” kata Taylor.

“Kami ingin orang tahu bahwa kami tidak menganggap diri kami terlalu serius, bahwa kami masih bisa menertawakan diri kita sendiri. Saya pikir kita telah membuktikan itu.”

Brian May ketika diwawancarai Q, sebuah majalah musik dan hiburan yang terbit di Inggris pada Maret 2011 mengingat momen ini. Ia berkisah, itu terjadi ketika mereka sedang melakukan tur promo.

“Jadi tentu kami berpakaian seperti perempuan. Kami betul-betul tertawa cekikikan ketika shooting video klip ini, luarbiasa menghibur. Para penonton sedunia juga merasa lucu dan tertawa terbahak-bahak menonton ulah kami dalam video klip ini, mereka memahami lelucon yang kami buat,” kata May dalam wawancara itu.

May ingat, pada sebuah tur promo di Amerika Serikat, wajah orang-orang yang melihat mereka tiba-tiba berubah pucat. Orang-orang itu seolah-olah mau berkata, ‘tidak, Queen tidak bisa memainkan lagu I Want To Break Free di sini karena lagu ini terlihat sangat homoseksual.’

Rupanya di Amerika Serikat, kata May pada sebuah wawancara dengan Loudersound, ini masalah yang sangat pelik. Lagu membuat hubungan mereka dengan stasiun-stasiun radio, publik dan lebih khusus pendengar mereka menjadi rusak.

“Di belahan dunia lain kami sering konser besar-besaran, namun di Amerika Serikat ini tidak mungkin,” ujar May.  

Di Amerika Serikat, sepertinya sebuah band rock tidak akan dianggap benar-benar rocker jika tampil berpakaian perempuan. Freddie bahkan pernah berkata bahwa mungkin ia harus mati dahulu baru kemudian Queen bisa betul-betul besar dan diterima luas di Amerika Serikat, ungkap May.

Representasi visual dari video klip lagu ini, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi panggung Queen ketika membawakannya menuai beragam kontroversi. Bahkan kontroversi terjadi antara pemaknaan liris lagu ini dengan pemaknaan visual yang disajikan pada video klipnya.

Setelah merilis album The Works, lagu ini dinyanyikan oleh Queen di hampir semua konser live mereka. Biasanya setelah intro synthesizer, Mercury akan muncul di panggung dalam pakaian yang serupa dengan yang dikenakannya dalam video klip: – rambut palsu hitam, blus merah muda dan payudara palsu, serta rok ketat hitam.

Aksi panggung ini kontroversial. Ini terbukti pada konser Queen di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1985. Ketika Mercury muncul di depan 325.000 penonton dan mulai menyanyikan I Want to Break Free, ia dilempari dengan batu. Dia dengan cepat menyadari bahwa dandanan pakaian wanita yang dikenakannya adalah alasan penonton marah. Mercury kemudian melepas wig dan payudara palsunya, dan itu akhirnya bisa menenangkan penonton.

Peristiwa ini sangat membingungkan dan mengecewakan sang vokalis. Rupa-rupanya penonton lokal menolak mengasosiasikan lagu I Want To Break Free dengan sesuatu yang mereka tuding ‘kebanci-bancian’, sebagaimana yang justru lazim dilakukan oleh Queen.

Ini semua dikarenakan lirik lagu ini telah dianggap menjadi representasi perjuangan melawan penindasan penguasa yang korup. Itu membuat orang Brazil tidak mau lagu ini ‘dirusak’ oleh sesuatu yang mereka anggap main-main, apalagi aneh dan nyeleneh.

I Want To Break Free dengan video klipnya ini sebenarnya diterima dengan sangat positif di sebagian besar dunia, kecuali di Amerika. Pada bulan April 1984, lagu ini mencapai nomor tiga di tangga lagu teratas Inggris, dan berada dalam 10 besar di banyak negara Eropa dan Amerika Latin, tetapi hanya sampai pada nomor 45 di tangga lagu Amerika Serikat. MTV dan stasiun-stasiun radio di Amerika Serikat menolak memutar lagu ini.

Di Inggris, video klip ini langsung dipahami sebagai joke lucu-lucuan, sedangkan penonton Amerika gagal menangkap komedinya. Dan walaupun jelas-jelas bahwa pengarang lagu ini adalah Deacon, orang malah menafsirkan video tersebut sebagai deklarasi terbuka tentang ajakan hidup ‘tidak normal’ dan mempopulerkan biseksualitas dan kecenderungan berdandan feminin dari Mercury, sang vokalis Queen.

***
Farrokh Bulsara, yang lebih dikenal dengan nama Freddie Mercury, memang memiliki persona yang kontroversial. Lelaki flamboyan ini dianggap sebagai salah satu penyanyi terhebat dalam sejarah musik populer. Kisah kehidupannya adalah bahan dari kontroversi yang seolah tak putus-putusnya, sampai hari ini.

Mercury lahir pada Kamis 5 September 1946 di Zanzibar, sebuah pulau kecil penghasil rempah-rempah di pantai timur Afrika. Orang tuanya, Bomi dan Jer Bulsara, keduanya keturunan Parsi pengikut agama Zoroaster yang leluhurnya berasal dari Persia. Ayahnya, Bomi, adalah pegawai negeri sipil, bekerja sebagai kasir Pengadilan Tinggi untuk Pemerintah Inggris. Saudara perempuan satu-satunya, Kashmira, lahir pada tahun 1952.

Pada tahun 1954, pada usia delapan tahun, Mercury dikirim ke sekolah asrama berbahasa Inggris St Peter di Panchgani, sekitar lima puluh mil dari Bombay, India. Di sanalah teman-temannya mulai memanggilnya Freddie, nama yang akhirnya digunakan juga oleh anggota-anggota keluarganya untuk menyapanya.

Karena St. Peter’s adalah sekolah berbahasa Inggris, olahraga yang dimainkan di sana biasanya adalah juga olahraga yang gemari di Inggris. Mercury membenci permainan kriket dan marathon, tetapi dia menyukai hoki, lari cepat, dan tinju. Pada usia 10 ia menjadi juara sekolah di tenis meja. Ia bukan hanya olahragawan yang baik, keterampilan artistiknya tak tertandingi. Pada usia dua belas ia dianugerahi trofi sekolah sebagai murid Junior yang serba-bisa.

Minatnya terhadap olahraga hanya bisa diimbangi dengan kecintaannya terhadap seni. Mercury sering terlihat membuat sketsa untuk teman atau kerabat, tetapi yang terutama adalah dia gila musik. Mercury senang memainkan musik di pemutar piringan hitam tua keluarga. Musik dalam piringan hitam yang bisa didapatnya pada masa itu sebagian besar adalah musik India, tetapi beberapa piringan hitam musik Barat tersedia juga. Dia akan bernyanyi bersama dan memilih musik daripada mengerjakan tugas-tugas sekolah.

Kepala sekolah St. Peter memperhatikan bakat musik Mercury, dan menulis surat kepada orang tuanya yang menyarankan agar mereka mungkin ingin membayar sedikit tambahan untuk biaya sekolah Mercury agar dia dapat belajar musik dengan baik. Mereka setuju, dan Mercury mulai belajar bermain piano. Dia juga menjadi anggota paduan suara sekolah dan mengambil bagian secara teratur dalam produksi teater sekolah. Dia menyukai pelajaran piano dan belajar dengan penuh tekad dan keterampilan..

Pada tahun 1962, Mercury menyelesaikan sekolahnya di India, kembali ke Zanzibar dan menghabiskan waktunya bersama teman-teman di dan sekitar pasar, taman, dan pantai. Tahun 1964 terjadi kerusuhan politik di Zanzibar yang memakan korban ribuan jiwa. Keluarga Bulsara diusir dan bermigrasi ke Inggris. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di 22 Gladstone Avenue, Feltham, Middlesex. Ia belajar seni di Isleworth Polytechnic di London Barat, kemudian lanjut memperdalam seni grafis dan desain di Ealing Art College, lulus pada tahun 1969.

Pada April 1970, Mercury bergabung dengan band bernama “Smile” bersama gitaris Brian May dan drummer Roger Taylor. Bassis John Deacon bergabung kemudian pada tahun 1971. Mereka kemudian memutuskan untuk mencari nama baru bagi band mereka. Meskipun mendapat tantangan dari anggota lain dan dari manajemen band, Mercury memilih nama “Queen”.

“Sangat agung, dan kedengarannya bagus. Itu nama yang kuat, sangat universal dan mudah diingat. Saya tentu sadar akan konotasi ‘gay’ dari nama ini, tetapi itu kan itu hanya satu sisi saja”, kata Mercury menjelaskan arti nama Queen.

Freddie Mercury adalah pemusik yang prolifik. Ia menghasilkan banyak sekali lagu yang hits untuk Queen, antara lain:  “Bohemian Rhapsody”, “Seven Seas of Rhye”, “Killer Queen”, “Somebody to Love”, “Good Old-Fashioned Lover Boy”, “We Are the Champions”, “Bicycle Race”, “Don’t Stop Me Now”, “Crazy Little Thing Called Love”, dan “Play the Game”. Sebagai vokalis, Ia adalah satu dari deretan penyanyi yang diakui punya skill vokal luarbiasa sepanjang sejarah musik pop modern.

Meskipun ia dikenal karena aksi-aksinya yang liar dan kontroversial di atas panggung, kebanyakan orang yang mengenal Mercury secara pribadi mengatakan ia sangat pemalu dalam kehidupan pribadinya, yang kemudian merupakan salah satu alasan ia jarang memberikan wawancara.

“Dalam kehidupan nyata, tidak ada yang mengenal Freddie,” kata teman satu tim band, Roger Taylor.

“Dia pemalu, lembut dan baik hati.”

Akhir 2018 lalu kita menerima sajian sejumput visualisasi dari kehidupan Queen dan sang mahabintang Freddie Mercury dalam biopic “Bohemian Rhapsody”. Film ini dirilis di Inggris pada 24 Oktober 2018 dan di Amerika Serikat pada 2 November 2018. Toh Anthony McCarten, penulis scenario, telah mengingatkan bahwa ini adalah sebuah film hiburan, bukan film dokumenter yang harus otentik dan akurat sejarah, film ini mendapat ulasan beragam dari para kritikus; penggambarannya tentang kehidupan dan seksualitas Mercury dikritik pedas karena ditenggara dengan sengaja menyembunyikan realitas sebenarnya.

Walau ia jelas memiliki hubungan heteroseksual dengan Mary Austin, banyak yang bersaksi bahwa Mercury sangat jelas dan terang-terangan berprilaku homoseksual di hadapan publik. Orang-orang kemudian memandang ini sebagai representasi biseksualitas, bahkan ia dianggap sebagai seorang tokoh biseks legendaris.

Orientasi seksual Mercury tak pernah dia ungkap secara resmi. Dalam beberapa wawancara ia selalu mampu berkelit untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan yang bermaksud mengorek kesaksiannya. Lagu I Want To Break Free memang bukan buah karya Mercury, tetapi lagu ini oleh banyak orang dianggap sebagai salah satu deklarasi tersembunyi dari seksualitasnya.

“Terselubung di sepanjang hidupnya, Mercury yang adalah seorang biseksual. Ia terlibat hubungan dengan laki-laki tetapi menyebut seorang wanita yang dicintainya, Mary, sebagai cinta sejati dalam hidupnya,” demikian tertulis dalam “Somebody to Love: The Life, Death, and Legacy of Freddie Mercury”.

Bukan rahasia lagi bahwa ikon rock ini memiliki hubungan romantik dengan pria dan wanita. Pada satu titik dia mengaku sebagai biseksual, tetapi Mercury mungkin hanyalah seorang lelaki homoseksual yang terlibat asmara dengan lawan jenis karena dia berusaha untuk bertahan hidup – dan membangun karier – di dunia yang sangat homofobik.

Dunia masa muda Mercury adalah dunia yang kejam terhadap orang-orang yang berorientasi seksual seperti dirinya. Lahir pada tahun 1946, ia tumbuh pada saat ketertarikan sesama jenis dianggap sebagai penyakit mental, sebuah tragedy memilukan, sebuah lelucon, atau kombinasi dari ketiganya. LGBT nyaris tidak terwakili di media, dan pesan yang masyarakat tawarkan adalah bahwa jika seseorang tidak heteroseksual, maka ia tidak dapat diterima dalam kehidupan sosial.

Kala homofobia yang merajalela, banyak pria gay merasa tertekan untuk menyembunyikan seksualitas mereka, termasuk dari keluarga mereka. Orangtua berlatar Parsi dari Mercury mempraktikkan ajaran Zoroastrianisme, sebuah agama yang menganggap homoseksualitas adalah pemujaan setan. Walau Mercury dekat dengan keluarganya sepanjang hidupnya, ia tidak pernah membahas seksualitasnya dengan mereka.

Menjadi berbeda di dunia yang mengatur agar semuanya menjadi seragam itu sulit, toh dalam iklim seperti ini, Mercury dapat menggunakan kemampuan musikalnya untuk mengekspresikan dirinya, dan terlebih, menginspirasi banyak orang lain untuk ‘membebaskan diri’ dari apapun kungkungan yang mereka alami. Sebagai seorang musisi, ia tidak hanya menghasilkan musik, tetapi mereka juga menjadi pahlawan bagi mereka yang tertindas, mereka yang dimarjinalkan.

Ketika Freddie Mercury mengenakan rok mini ketat, payudara palsu, dan wig, ia tidak hanya bernyanyi untuk sekadar membebaskan diri dari rasa sakit karena hubungan cinta yang gagal. Mercury bernyanyi tentang Inggris di tahun 80-an dan nilai-nilai sosialnya yang kaku. Ia memimpikan sebuah dunia di mana gender dan seksualitas bukanlah batasan, di mana orang-orang ‘bebas’ untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Pada 22 November 1991, Mercury memanggil Jim Beach, manajer Queen, untuk membahas sebuah pernyataan publik. Keesokan harinya, 23 November, pengumuman berikut disampaikan kepada pers. Mercury mengatakan, oleh karena tekanan luar biasa media selama dua minggu terakhir, maka diakuinya benar ia  positif HIV dan mengidap AIDS.

“Saya merasa tepat untuk menjaga kerahasiaan informasi ini untuk melindungi privasi orang-orang di sekitar saya. Namun, saatnya telah tiba sekarang bagi teman-teman dan penggemar saya di seluruh dunia untuk mengetahui kebenaran ini, dan saya berharap dunia medis dan semua orang di seluruh dunia dalam memerangi penyakit mengerikan ini”, ungkap Mercury kepada publik.

Selang 24 jam setelah mengeluarkan pernyataan itu, Freddie Mercury, mahabintang karismatik yang telah menginspirasi kesadaran perlawanan terhadap opresi identitas gender di seantero dunia lewat karya-karya, persona, dan seluruh kehidupannya, tutup usia.

“I have got to break free
God knows, God knows I want to break free..”
. (*)

 


Editor: Denni Pinontoan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *