Connect with us

CULTURAL

Porong Kawasaran: Ketopong Mashyur Teropong Masa Lampau

Published

on

28 November 2022


Karakter pelindung yang memberi teladan ditampilkan dalam bentuk simbol, karena setiap simbol yang digunakan berfungsi untuk mengingatkan simbol yang lain. Sehingga seorang seniman kawasaran akan menampilkan dalam porong yang dia ciptakan, karakter seorang yang bijak dan berpengetahuan, serta menjadi teladan dalam melindungi.”


Penulis: Gerard Tiwow


DALAM kosmologi Minahasa, kepala dianggap sakral, karena kepala adalah tempat menyimpan pengetahuan dan kebijaksanaan. Kepala yang tidak lagi mampu mengendalikan tubuh untuk memelihara kehidupan yang sudah diberikan oleh Opo Empung Wa’ilan Wangko (Sang Khalik Yang Maha Kaya), akan menjadi pangkal malapetaka bagi kehidupan. Apabila demikian, kepala tersebut akan diambil oleh mamuis (pengayau) supaya terpisah dari tubuhnya, agar tidak menjadi sumber petaka bagi kaayahan (dunia).

Mengenakan porong atau penutup kepala khas Minahasa, adalah ekspresi syukur tou (orang) Minahasa dan tanggung jawab kepada Empung Wa’ilan terhadap pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Sehingga bentuk serta ornamen yang disematkan pada porong, menyimbolkan hasrat syukur dari sang pemakai dan juga menjadi simbol sosial.

Dalam tarian kawasaran (tarian perang Minahasa), menggunakan porong adalah salah satu bagian dari simbolisasi keberanian, kebijaksanaan, dan keperkasaan tou Minahasa. Penggunaan bulu-bulu ekor ayam, dan kepala burung taong (Aceros cassidix) memiliki arti mendalam yang sejarahnya dapat ditarik hingga berabad-abad silam.

Biomimicry dan Kekuatan Alam

Porong pada hakikatnya adalah headdress. Porong dapat menutupi seluruh batok kepala, atau hanya menutupi dahi dan menyamping hingga ke bagian belakang kepala. Namun istilah porong sendiri lebih merujuk kepada penutup kepala yang menutupi seluruh batok kepala, yang terbuat dari material yang keras namun lentur agar mampu dibentuk menyesuaikan ukuran kepala. Sementara untuk penutup kepala yang tidak menutupi seluruh batok kepala disebut dengan sesembetan, atau susuunan dalam tutur Tonsea.

Rekaman visual tentang porong dapat ditelusuri hingga zaman waruga (kubur batu khas Minahasa). Salah satunya adalah waruga Opo Wongkar Sayow di wanua (desa) Lotta, Pineleng, Minahasa. Pada penutup waruga, terlihat di bagian kepala Opo Wongkar Sayow menggunakan porong dengan hiasan turing yang berbentuk seperti huruf ‘C’ dan berada di samping kepala; Bentuk turing seperti itu menjadi simbol teterusan atau pemimpin perang.

Lukisan tentang Foso Mangelep di Tanggari dalam tulisan H. J. Tendeloo, di Med. NZG Nomor 36, tahun 1892.

Ilustrasi porong juga dapat ditemukan dalam gambar upacara mangelep dari wanua Tanggari. Terlihat seorang teterusan menggunakan turing yang sama namun ditambahi ornamen berupa bulu ekor ayam.

Turing atau tuding sebenarnya adalah simbol identifikasi khusus bagi seorang teterusan. Dahulu turing terbuat dari taring babi rusa (Babyrousa celebensis) atau tanduk anoa (Bubalus depressicornis), atau ada juga yang dari taring babi hutan (Sus scrofa). Dalam perkembangan zaman, turing sudah mulai dibuat dari material logam. Paling umum ditemui adalah turing yang terbuat dari kuningan atau tembaga.

Tonaas Andre Lengkong, mengatakan porong adalah salah satu bagian penting dalam tarian kawasaran. Penggerak komunitas budaya Minahasa dari Bitung ini menjelaskan, penggunaan bulu-bulu ekor ayam atau disebut dengan laka’, adalah simbol penghormatan.

Diriwayatkan bahwa dalam pengambilan bulu-bulu ekor, ayam haruslah ditangkap. Tidak boleh didodeso atau dijerat. Bulu-bulu ekor ayam tersebut akan dicabut satu per satu. “Setelah dicabut, ayam tersebut akan digunakan dalam ritual rumages (‘pengorbanan darah’ sebagai simbol syukur),” kata Lengkong.

Tidak hanya seorang waraney yang menggunakan bulu-bulu ekor ayam, seorang walian atau pemimpin ritual dan para tonaas, juga menggunakannya. Pada zaman dahulu seorang tonaas menggunakan empat tangkai bulu-bulu ekor ayam, yang melambangkan empat arah mata angin.

“Ada satu jenis porong yang dalam pemakaiannya mirip dengan susuunan (ikat kepala Minahasa) yakni ‘porong nimeles’. Porong ini hanya digunakan oleh mamu’is atau pemburu kepala. Bentuknya terbuat dari kain yang memiliki tiga warna, yaitu merah, kuning dan hitam,” ungkap Lengkong.

Sketsa seorang waraney dari Rurukan tahun 1873. Porong dibuat dari bahan rotan karena memiliki sifat yang kuat namun lentur. Seorang waraney haruslah memiliki kekuatan dalam hal fisik dan berpikir, serta dapat menyesuaikan diri di manapun dan kapanpun dia berada, tanpa melupakan jati dirinya. Pada porong disematkan ornamen kepala burung taong di depan dan belakang yang merupakan simbol dari teterusan. (foto: Tropen Museum)

Tonaas Andre juga menjelaskan terkait alasan menggunakan kepala burung taong. Dikisahkannya, masyarakat Minahasa sangat mengagumi alam ciptaan. Salah satunya, burung taong yang disebut juga burung uak. Burung taong adalah burung terbesar di Minahasa, sehingga burung ini dianggap sebagai simbolisasi kekuatan, keperkasaan, dan bahkan dianggap sebagai penolak bala.

Rikson Karundeng, seorang peneliti dan budayawan Minahasa dari Tomohon, menceritakan bahwa pada zaman dahulu, di porong diikat pula rere taas atau secara harfiah berarti lidi keras. Istilah ini merujuk pada lidi itang, atau lidi yang berasal dari pohon enau yang berwarna cokelat kehitaman dan bersifat kaku.

Rere taas biasa digunakan sebagai penyambung di belakang kepala. Saat dipasang, ada ‘bilangannya’. Doa itu diyakini akan mampu menolak bala, mengusir segala gangguan yang akan mengintai,” ujar Karundeng.

Ditambahkan Rikson, penggunaan rere taas pada porong sering dikaitkan dengan kisah tentang sosok Empung (Dewa) yang akan ditemui oleh manusia setelah meninggal. “Dalam beberapa kisah yang saya dapati, rere taas sering dikaitkan dengan Opo yang akan menjumpai mereka yang baru meninggal. Ia menggenggam rere taas untuk ‘menghakimi’ jiwa yang baru meninggal dunia,” kata Karundeng.

Freddy Wowor, akademisi dan pegiat budaya dari Sonder menjelaskan, bulu-bulu ekor ayam menjadi simbol dari semangat dan karakter. Ketika seorang waraney mengenakan ornamen bulu-bulu ekor ayam, hal itu mengingatkan kepadanya karakter dari ayam yakni kepekaan, kelincahan dan sifat melindungi.

“Ketiga karakter ini sangat bertalian dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Karakter ini pulalah yang harus dimiliki seorang waraney dalam perannya sebagai seorang pelindung negeri,” ucap Wowor.

Tou Minahasa menyadari bahwa manusia adalah salah satu bagian dari makhluk hidup ciptaan Opo Empung Wa’ilan Wangko, sehingga kekaguman akan hewan dan tumbuhan juga merupakan kesadaran bahwa setiap makhluk diciptakan sesuai dengan ‘porsi’-nya masing-masing. Tou Minahasa menganggap burung taong sebagai burung yang besar dan perkasa, dan ayam adalah hewan yang memiliki karakter yang dapat menjadi contoh bagi seorang waraney, serta sifat rotan yang kuat namun lentur. 

Berbeda dengan manusia yang hidup dengan nalar, hewan hanya memiliki naluri dalam upayanya untuk bertahan hidup. Dalam keterbatasan kemampuan berpikir, seekor hewan mampu bertahan hidup dengan memadukan kekuatan fisiknya.

“Seorang tou Minahasa, terlebih seorang waraney, di samping kekuatan badannya, harus mampu menajamkan kemampuan berpikirnya sebagai seorang pelindung negeri yang sesungguhnya,” tegas Wowor.

Memento Perang

Bangsa Minahasa tercatat sebagai bangsa Asia pertama yang mengalahkan bangsa Eropa. Terekam dalam penggalan catatan yang ditulis oleh seorang misionaris dari Manila, Pater Juan Yranzo pada 1647.

Ia menulis, “Serdadu Spanyol menghina dan melukai pemimpin negeri Tomohon di mana saya tinggal. Pada malam hari, anak-anak dari suku Tombulu meminta bantuan pada ketiga provinsi lainnya, lalu pada tanggal 10 Agustus 1644, ada sekitar 10.000 serdadu pribumi menyerang kami, menangkap 22 orang dan menghukum mati 19 orang.”

Catatan ini merupakan penanda ‘Perang Tasikela’, saat orang Minahasa melawan Kastela (sebutan di waktu itu untuk bangsa Spanyol).

Paseki dari tahun 1887. Paseki adalah penyebutan lokal untuk helm morion yang digunakan oleh serdadu Spanyol. Helm milik prajurit Spanyol yang tewas, akan diambil oleh waraney sebagai memento perang dan disimpan turun-temurun di keluarganya. (Foto: Tropen Museum)

Pasukan ekspedisi Spanyol bersenjatakan sabre, pedang lengkung dan memiliki pelindung genggaman tangan, dan diberi helm yang terbuat dari logam yang disebut morion. Setelah perang usai, alat perang prajurit Spanyol yang tewas diambil oleh prajurit Minahasa. Istilah untuk pedang sabre berubah menjadi sabel, sesuai dengan lidah lokal. Sementara, helm morion disebut dengan paseki. Istilah paseki sendiri tidak hanya dikenal di tanah Minahasa, di Toraja pun helm morion disebut dengan paseki.

Waraney Minahasa menganggap perang sebagai suatu hal yang sakral, karena dengan berperang para waraney akan membela tanah dan serta keluarganya dari ancaman terhadap kehidupan yang sudah diberikan oleh Opo Empung Wa’ilan Wangko. Seorang waraney yang telah pergi berperang, telah bertempur melawan musuh, dan kembali pulang ke wanua-nya dalam keadaan hidup, akan menambahkan kebanggaan dan kehormatan bagi dirinya apabila dia membawa senjata, pelindung, atau hal-hal fisik lain yang dibawa oleh musuh. Itu akan menjadi pengingat bahwa dia telah menjaga kehidupan dari manusia lain yang hendak merampasnya.

Ada juga kepercayaan dalam alam berpikir tou Minahasa ketika itu, saat mengenakan barang-barang dari musuh yang dikalahkan, maka roh serta kekuatan dari musuh tersebut akan menyatu dengan diri dari sang waraney agar semakin gagah perkasa dalam peperangan.

Teropong Masa Lalu

Era modern ini, tou Minahasa tidak punya mesin waktu untuk pergi ke masa lalu demi mendapatkan pengalaman empiris tentang cara hidup leluhur. Namun mereka dapat menemukannya melalui tradisi-tradisi luhur yang sudah diturunkan. Tarian kawasaran dapat dikatakan sebagai relik berjalan, karena ketika melihat tarian ini, para penonton dapat dibawa menuju ke ratusan hingga ribuan tahun silam.

Salah satu unsur terpenting dalam tarian kawasaran adalah porong. Ketika dibawakan dalam tarian, nilai-nilai filosofi yang tersimpan dalam tiap-tiap ornamen masih tetap tersimpan. Di porong terdapat modifikasi atau penambahan elemen untuk menambah nilai estetika yang tentunya tetap memiliki artinya masing-masing sesuai dengan pengetahuan yang diturunkan kepada pembuat porong.

Di Kakaskasen, kota Tomohon, ada satu tumpukan (kumpulan penari) kawasaran yang memiliki ciri khas menyematkan cermin di bagian depan atau pinggir porong. Penggunaan cermin diyakini dapat menghalau reges lewo’ atau roh-roh jahat yang akan mengganggu para penari kawasaran.

Ada juga dokumentasi yang dapat ditemukan, penari kawasaran mengenakan replika wayer (baling-baling) pesawat di kiri dan kanan. Hal ini dilakukan pasti karena ada alasan emosional di baliknya. Entah sang waraney itu pernah menembak pesawat, atau pernah menerbangkan pesawat, atau memiliki perasaan kagum ketika melihat pesawat terbang dan mendengar raungan mesin yang menggelegar.

Foto porong milik penulis. Terdapat tambahan turing yang terbuat dari kuningan yang berbentuk ular yang saling membelakangi. Relief ular ini lazim ditemui pada waruga teterusan atau pemimpin perang. Ular dijadikan simbol karena dijadikan hewan yang memberi tanda serta menjadi simbol kecerdikan dan kelincahan. (Foto: Penulis, 2022)

Freddy Wowor yang sudah berkecimpung lama dalam usaha pelestarian kebudayaan Minahasa, menjelaskan kawasaran memiliki salah satu makna yakni seni. Kawasaran ditampilkan pada kegiatan besar, dihadiri massa yang banyak atau tamu kehormatan, atau di hari besar untuk tamu besar, sehingga tidaklah mengherankan bila terjadi ambiguitas antara kata ‘kabasaran’ dengan ‘kebesaran’.

Porong adalah salah satu yang memberi simbol, porong juga selain bagian kostum juga membentuk kewibawaan, dan keindahan dari sisi seni,” kata Wowor.

Menurutnya, eksistensi waraney ditentukan dari kemampuan berpikir, memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan, sehingga dia akan menjadi teladan. Dalam filosofi Sonder, kawasaran berasal dari dua kata, yakni ‘kawak’ dan ‘asaran’, yang memiliki arti pelindung dan teladan.

“Karakter pelindung yang memberi teladan ini ditampilkan dalam bentuk simbol, karena setiap simbol yang digunakan berfungsi untuk mengingatkan simbol yang lain. Sehingga seorang seniman kawasaran akan menampilkan dalam porong yang dia ciptakan, karakter seorang yang bijak dan berpengetahuan serta menjadi teladan dalam melindungi,” ucap Wowor. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *