Connect with us

ESTORIE

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama

Published

on

7 Februari 2019


Oleh: Andreas Harsono
Jurnalis, Peneliti di Human Rights Watch, Penulis


 

Dalam buku-buku pelajaran sejarah-sejarahan, Indonesia dikatakan ada sejak zaman Majapahit, lengkap dengan Sumpah Palapa oleh Patih Gajah Mada dan gula-gula lainnya.

 

OKTOBER 2008, saya berkunjung ke Protestant Cemetery di Penang guna mencari makam James Richardson Logan, salah satu warga kehormatan Penang, yang juga menciptakan kata, thus khayalan tentang, Indonesia.

Francis Loh Kok Wah, seorang profesor dari Universiti Sains Malaysia, blogger Anil Netto dan wartawan Himanshu Bhatt menemani saya mencari makam tersebut. Francis Loh saya kenal dengan bukunya Democracy in Malaysia: Discourses and Practices. Dia juga lulusan Cornell University serta teman dekat Arief Budiman, dosen Universitas Melbourne, yang pernah mengajar saya pada 1980an di Salatiga.

Kami naik mobil Anil Netto dan berangkat dari The Gurney Resort Hotel, tempat saya menginap, menuju Jalan Sultan Ahmad Shah, dekat Lebuh Farquhar. Pemakaman terdapat di Jalan Sultan Ahmad Shah. Pintu masuk terletak persis depan Pusat Servis Kereta Toyota. Di belakang Protestant Cemetery terletak Catholic Cemetery. Mungkin ini pengaruh Inggris dimana orang Protestan dan Katholik dimakamkan terpisah. Di Jakarta, Salatiga, Semarang atau Surabaya, saya lihat kuburan Belanda tak dipisahkan antara Protestan dan Katholik.

Mulanya, kami mengamati sebuah papan dimana nama-nama orang penting yang dimakamkan dicatat. Pemakaman ini yang paling tua di Pulau Pinang. Ia didirikan oleh Francis Light, orang Inggris yang menyewa pulau ini dari Sultan Kedah pada tahun 1786, guna mendirikan koloni Inggris dengan nama resmi Straits Settlement. Posisi Pulau Pinang memang strategis di Selat Malaka. Kelak posisi strategis Selat Malaka juga memancing Thomas Raffles mendirikan pelabuhan Singapura pada 1819. Kerajaan Belanda, seabad sesudah Francis Light mendirikan koloni Penang, membangun pelabuhan Sabang di Pulau Weh, juga di Selat Malaka, pada 1887.

Pemakaman Protestan ini didirikan pada 1789 atau tiga tahun sesudah kontrak dengan Sultan Kedah mulai. Francis Light juga dimakamkan disini. Dia meninggal karena malaria pada 21 Oktober 1794.

Francis Loh memimpin rombongan kecil kami menelusuri makam demi makam. Francis Loh kelahiran Penang. Dia lincah sekali, mencari batu nisan, satu demi satu. Banyak pepohonan tua dan rindang di makam ini. Tapi juga banyak nyamuk kecil. Saya sering memukul nyamuk di lengan dan kaki. Secara umum, ini pemakaman yang indah. Saya sering lihat kuburan ini diterakan dalam brosur turisme Penang. Ia juga bagian dari Penang Heritage Walk –sebuah route khusus jalan-jalan di Penang dimana tempat-tempat bersejarah diberi pengumuman, peta dan sejarahnya. American Express adalah sponsor dari Penang Heritage Walk.

Francis, Anil dan Himanshu tertarik membantu ketika saya beritahu bahwa James Richardson Logan adalah orang yang menciptakan kata “Indonesia.” Mereka kenal nama Logan. Di Penang ada Logan Street. Namun mereka tak sangka Logan pula yang menciptakan kata Indonesia.

Akhirnya, kami menemukan batu makam James Richardson Logan serta saudaranya, Abraham. Mereka dimakamkan bersama-sama. Tinggi makam ini sekitar 1.5 meter. Di sana tercantum tanggal kelahiran dan kematian mereka. Saya duduk dan merenung. Himanshu mengambil gambar.

Di papan pengumuman, James Logan diterangkan sebagai, “Penang’s foremost man of the press and champion of the natives causes, enshrined in the Logan Memorial in the grounds of the high court.” Antara 1847 dan 1859, dia menerbitkan Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, yang kadang juga disebut Logan’s Journals total 27 volume, serta buku Language and Ethnology of the Indian Archipelago. Logan juga dikenal sebagai pembela hak asasi orang non-Eropa. Saya senang dengan keterangan ini. Logan dinilai sebagai seorang wartawan.

Menariknya, kami juga menemukan makam George Samuel Windsor Earl, mentor dan kolega James Logan. Earl adalah orang yang mula-mula membuka diskusi soal bagaimana mereka harus menamakan pulau-pulau yang terletak di Selat Malaka itu? Baik Semenanjung Malaka, Pulau Sumatra, Borneo, Jawa dan sebagainya. Dalam papan pengumuman, Earl diterangkan sebagai “asistant resident councillor” Straits Settlement pada 1805 hingga 1865 serta mengarang buku The Eastern Seas. Terminologi “eastern seas” mengacu pada kepulauan yang sekarang disebut Indonesia, Singapura, Brunei, Filipina dan Malaysia.

 

KATA “INDONESIA” pertama kali dibuat pada 1850 -mulanya dalam bentuk “Indu-nesians”- oleh George Samuel Windsor Earl. Dia menulisnya dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Earl sedang mencari-cari terminologi etnografis untuk menerangkan “… that branch of the Polynesian race inhabiting the Indian Archipelago” atau “the brown races of the Indian Archipelago.”

Namun, walau sudah menggabungkan dua kata itu, masing-masing dari kata “Indu” atau “Hindu” dengan kata “nesos” atau “pulau” dari bahasa Yunani, Earl menolaknya sendiri. Dia menganggap kata “Indunesia” terlalu umum. Earl menawarkan terminologi lain, yang dinilainya lebih jelas, “Malayunesians.”

Himanshu Bhatt mengatakan pada saya bahwa kata “mala” atau “malaya” artinya “gunung” dari bahasa-bahasa Tamil atau Dravidia di kawasan India. Dia mengingatkan saya nama Puncak Himalaya. Kata “him”–termasuk dalam nama Himanshu sendiri- artinya es atau dingin atau salju. Maka Himalaya artinya “gunung salju.” Para pendatang Tamil atau Kerala dari waktu tiu British India, ketika tiba di Pulau Penang mengikuti Francis Light, menyebut orang-orang lokal, yang tinggal di sekitar gunung, sebagai “Malayan” alias “orang gunung.” Malayan lantas berubah jadi Malay dan Melayu.

James Logan menanggapi usul George Earl soal “Indunesians.” Logan berpendapat “Indonesian” merupakan kata yang lebih menjelaskan dan lebih tepat daripada kata “Malayunesians,” terutama untuk pemahaman geografi, daripada secara etnografi.

“I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders.”

R. E. Elson dalam bukunya The Idea of Indonesia menulis James Logan adalah orang pertama yang menggunakan kata “Indonesia” untuk menerangkan kawasan ini. Logan lantas memakai kata “Indonesian” maupun “Indonesians” untuk menerangkan orang-orang yang tinggal di kawasan ini. Dia membagi “Indonesia” dalam empat daerah, dari Sumatra hingga Formosa.

Namun kata “Indonesia” tak segera populer.

Elson menerangkan bahwa pada 1877, E. T. Hamy, seorang antropolog Prancis, memakai kata “Indonesians” untuk menerangkan kelompok-kelompok pra-Melayu di kepulauan ini. Pada 1880, anthropolog Inggris A. H. Keane mengikuti Hamy. Perlahan-lahan kata “Indonesia” dipakai para ilmuwan sosial, termasuk Adolf Bastian, ahli etnografi terkenal dari Berlin, yang setuju dengan penjelasan James Logan serta memakai kata “Indonesia” dalam karya klasiknya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel, lima jilid terbitan 1884–1894.

Reputasi Bastian membuat kata “Indonesia” jadi pindah dari jurnal kecil terbitan Penang ke tempat terhormat di kalangan akademisi Eropa. Ia mendorong profesor-profesor di Belanda ikut memakai terminologi ini.

G. A. Wilken, profesor di Universitas Leiden, pada 1885 memakai kata “Indonesia” untuk menerangkan Hindia Belanda. Wilken mengagumi karya Adolf Bastian. Profesor lain termasuk H. Kern (ahli bahasa kuno), G. K. Niemann, C. M. Pleyte, Christiaan Snouck Hurgronje maupun A. C. Kruyt, mengikuti Wilken.

Pada awal abad 20, kata benda “Indonesier” dan kata sifat “Indonesich” sudah tenar digunakan oleh para pemrakarsa politik etis, baik di Belanda maupun Hindia Belanda. Pada September 1922, saat pergantian ketua antara Dr. Soetomo dan Herman Kartawisastra, organisasi Indische Vereeniging di Belanda mengubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Perhimpunan ini banyak berperan dalam merumuskan nasionalisme Indonesia. Pada 1926, ketika Mohammad Hatta menjadi ketua Indonesische Vereeniging, pembentukan nasionalisme Indonesia makin dimatangkan. Ia hanya soal waktu sebelum terminologi “Indonesia” digunakan oleh orang-orang berpendidikan di kota-kota besar Hindia Belanda.

 

FRANCIS LOH KOK WAH juga mengajak saya melihat Logan Memorial.

Pada batu marmer dijelaskan bahwa James Logan kelahiran Berwickshire, Skotlandia, pada 10 April 1819. Dia kuliah hukum di Edinburg. Dia tiba di Penang pada 1840, saat berumur 20 tahun, bersama saudaranya, Abraham. Mereka pindah ke Singapura pada 1842 namun James kembali ke Penang pada 1853. Dia membeli dan menyunting Penang Gazette. Abraham tinggal di Singapura serta mendirikan suratkabar Singapore Free Press.

Namun James Logan meninggal sakit malaria pada 20 Oktober 1869 dalam usia 50 tahun. Kematian James Logan dianggap sebagai kehilangan besar di Penang. Masyarakat Straits Settlement, termasuk orang Eropa, India, Cina maupun Melayu, mengumpulkan uang dan mendirikan peringatan untuk menghormati James Richardson Logan. Dudukan dari memorial ini punya empat sisi. Masing-masing dicantumkan kata sifat yang mencerminkan kepribadian James Logan: temperance (kesederhanaan), justice (keadilan), fortitude (tabah, ulet) dan wisdom (bijak).

Memorial ini mulanya didirikan di depan Supreme Court guna mengingat apa yang dilakukan James Logan untuk masyarakat Penang. Saat Perang Dunia II, memorial ini dipindahkan, namun dikembalikan lagi ke posisi semula. Tahun lalu, ia dipindahkan ke tempat sekarang, mengikuti renovasi dan perluasan gedung mahkamah hukum ini. Di memorial marmer ini ditulis, “He was an erudite and skillful lawyer, an eminent scientific ethnologist and he has founded a literature for these settlements ….”

Francis Loh mengatakan bahwa saya adalah orang kedua yang minta bantuannya keliling Penang serta mencari sesuatu dari masa lalunya. Orang pertama adalah Benedict Anderson, profesor dari Cornell University, yang terkenal dengan buku Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism.

Dalam Penang Heritage Trust Newsletter edisi Mei-Juli 2003, Anderson menulis pengalamannya menelusuri Penang. Dia bilang ayahnya, James Carew O’Gorman Anderson, meninggal pada 1946 ketika Benedict baru berumur sembilan tahun, adik lelakinya umur tujuh dan adik perempuan tiga tahun. Anderson bersaudara kurang mengenal ayah mereka kecuali tahu bahwa dia dilahirkan di Penang pada Juli 1893. James Anderson tinggal di sebuah bungalow bernama Grace Dieu di Penang Hill. Dia seorang insinyur militer dengan pangkat kapten. Dia menikah dengan Veronica Beatrice Mary. Anak pertama mereka, Benedict, lahir di Kunming, Tiongkok, pada 1936. Keluarga Anderson pindah ke California pada 1941.

Ini kebetulan yang menarik sekali. James Richardson Logan adalah orang yang menciptakan khayalan soal Indonesia, betapa pun kaburnya terminologi tersebut, pada 1850. Benedict Anderson adalah guru nasionalisme terkemuka, yang banyak menggunakan Indonesia sebagai bahan studinya dalam buku Imagined Communities, terbitan 1991. Mereka terkait dengan Penang. Karya mereka terpaut sekitar 150 tahun.

Hari ini, terminologi Indonesia lebih dilekatkan pada negara Indonesia, yang menggantikan Hindia Belanda, pada 1950, seratus tahun sesudah polemik George Earl dan James Logan. Indonesia dalam terminologi Logan berubah menjadi beberapa negara, termasuk Indonesia, Singapura dan Malaysia. Ironisnya, Penang, tempat dimana nama dan khayalan ini diciptakan, tidak masuk dalam wilayah negara Indonesia. Penang masuk Malaysia. Semenanjung Malaka dan Pulau Sumatra, yang kebudayaannya kental Melayu, terpisah menjadi dua negara. Papua Barat, yang sama sekali tak masuk dalam khayalan Logan, malah masuk wilayah Indonesia. Malaysia dan Indonesia menjadi dua negara berbeda karena mulanya mereka disatukan secara administrasi oleh dua kerajaan Eropa yang berbeda: Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda.

Lucunya, dalam buku-buku pelajaran sejarah-sejarahan, Indonesia dikatakan ada sejak zaman Majapahit, lengkap dengan Sumpah Palapa oleh Patih Gajah Mada dan gula-gula lainnya. Perjalanan ke Protestant Cemetery mengungkap cerita yang sebenarnya.

Saya senang bisa berjalan-jalan di Protestant Cemetery bersama Francis Loh, Anil Netto dan Himanshu Bhatt. Francis cerita dengan bersemangat bagaimana dia menemani Anderson, mantan profesornya di Cornell, jalan-jalan di kuburan dan Penang Hill. Sore yang indah. Kami kembali ke The Gurney Resort Hotel dengan banyak kenangan. Saya lega bisa melihat makam orang yang menciptakan khayalan Indonesia.(*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *