Connect with us

ESTORIE

Lasung Masaru dan Perang Pasengkotan

Published

on

7 Agustus 2025


“Lesung utama itu diukir dua tubuh manusia yang sedang sumempung, meminta kekuatan dari Empung Ririmpuruan. Ukiran ini merupakan simbol Toar dan Lumimuut, yang diyakini selalu bersama-sama dengan mereka yang setia menjalankan patokan hidup yang telah disumpahkan di Watu Tiwa’.”


Penulis: Rikson Karundeng


KISAH-KISAH Minahasa masa lalu menceritakan tentang ampuhan atau banjir besar. Penanda penting awal peradaban yang terbentuk di tanah Malesung-sebutan untuk tanah Minahasa di masa lampau. Peristiwa yang kemudian menggambarkan seperti apa citra leluhur awal tou Minahasa dan bagaimana perjuangan mereka untuk mewariskan peradaban ke genarasi selanjutnya.

Sebuah rekaman memori tou Minahasa pada era Malesung, mengisahkan tentang masa pasca ampuhan kedua. Era beberapa generasi setelah Lumimuut dan Toar-leluhur awal Minahasa, tepatnya di masa Opo (leluhur) Mamarimbing dan Opo Makawulur. Ketika itu terjadi rentetan peristiwa yang kemudian mengubah kehidupan tou Malesung di masa itu. Dalam ingatan kisah para tetua, cerita ini berawal dari sebuah pertempuran yang dikenal tou Malesung dengan ‘Perang Kapataran Pertama’.

 

Petunjuk Dari Wanarou

Ketika hari mulai senja, tiba-tiba sejumlah tou Malesung yang mendiami Kasosoran-tampa ba nae, sebuah pemukiman tua yang berada di lembah sebelah selatan Motoling sekarang-melihat sebuah cahaya terang yang panjang, jatuh dari langit ke arah Watu Tiwa, Tu’ur In Tana’-sekitar Pinaesaan, Tompaso Baru sekarang ini. Pemandangan itu benar-benar menghadirkan rasa penasaran yang sangat di benak mata-mata yang menyaksikannya. Walaupun demikian, mereka tak berani untuk pergi melihat secara langsung. 

Saat itu, tampillah Opo Makawulur-leluhur Minahasa yang menguasai gunung-gunung. Sebutan ini dikenakan kepada Opo Makawulur, sebab dia adalah seorang waraney atau ksatria, pemimpin perang di masa itu, yang berperang dari gunung ke gunung-menawarkan diri untuk melihat secara langsung hal apa sebenarnya yang terjadi di Tu’ur In Tana’.

“Nanti kita pigi lia mar musti ada orang yang mo iko sama-sama. Supaya, kalu jadi apa-apa kamari, ada yang mo kase kabar pa orang-orang di Kasosoran deng Karondoran,” kata Opo Makawulur.

Karondoran adalah pemukiman tumpukan Opo Mamarimbing, Walian tua tou Malesung saat itu. Lokasinya kini berada di wilayah Motoling Mawale.

Berangkatlah Opo Makawulur ke lokasi yang dimaksud. Ketika mendekati Watu Tiwa’, berkatalah Opo Makawulur kepada orang-orang yang ikut bersama dengan dia, ”Tunggu jo di sini ngoni, biar kita yang trus ka sana. Nanti, kalu jadi apa-apa ngoni langsung pi se kabar pa dorang di Kasosoran deng Karondoran,” pinta Opo Makawulur.

Saat berada di tempat itu, Opo Makawulur bertemu dengan sejumlah makhluk yang katanya berasal dari ‘Wanarou’. Sebuah tempat yang sangat jauh. “Menurut para tua-tua, se-Wanarou dianggap bukan manusia, bukan jiwa-jiwa para leluhur dan bukan Tuhan,” kata budayawan Minahasa, Fredy Wowor, 9 Oktober 2010. 

Setelah bercakap-cakap cukup lama dengan makhluk yang katanya pernah mendiami tempat itu sebelumnya, Opo Makawulur langsung menuju Karondoran dan menjumpai Walian Mamarimbing dan menjelaskan informasi yang baru saja ia peroleh. 

Banya tu Wanarou da bilang pa kita mar tu paling pokok kata, torang musti ba jaga-jaga deri ada tu mo jadi pa torang,” kata Opo Makawulur kepada Opo Mamarimbing dan sejumlah tou Malesung yang ada di Karondoran.

Beberapa purnama kemudian, tanda-tanda seperti yang dijelaskan Wanarou mulai terlihat. Melalui ‘keak makasa’, sang manguni, tou Malesung diberitahu bahwa akan ada ancaman dari selatan. Mereka harus bersiap, karena musuh sangat kuat. Saat itu memang mulai terdengar kalau orang-orang di sekitar Lilinowan-tampa da ta kumpul akang aer-yang lokasinya kini di sekitar Danau Moat sampai ke wilayah orang-orang yang berada di dekat pantai sebelah sendangan Lilinowan, sudah mulai berkelahi. Mereka menunjukkan kehebatan masing-masing agar ditakuti. Orang-orang dari sekitar Lilinowan pun mulai bergerak mundur ke arah Karondoran, karena tidak tahan dengan ancaman yang ada. 

Tu orang-orang Malesung di sana kwa so ta campur kong so ta iko deng tu ‘Pasengkotan’ timu pe cara. So nda ada kesetaraan lei torang. Samua tu tiwa’ tua-tua dorang so nda ja iko,” kata orang-orang dari Lilinowen yang datang ke Karondoran.

Rinto Taroreh dan lesung masaru di Tompaso Baru (Foto Rinto Taroreh, 2010)

Rinto Taroreh dan lesung masaru di Tompaso Baru (Foto Rinto Taroreh, 2010)

 

Pembuatan Lesung Masaru Pertama

Setelah membaca tanda-tanda manguni, para tou Malesung di bawah pimpinan Opo Mamarimbing dan Opo Makawulur, mengadakan perundingan. Selesai berunding, dibuatlah sembilan-angka simbol kesempurnaan bagi tou Minahasa-lesung masaru dengan sebuah lesung utama. 

Lesung utama itu diukir dua tubuh manusia yang sedang sumempung, meminta kekuatan dari Empung Ririmpuruan. Ukiran ini merupakan simbol Toar dan Lumimuut, yang diyakini selalu bersama-sama dengan mereka yang setia menjalankan patokan hidup yang telah disumpahkan di Watu Tiwa’. Tiwa’ itu diyakini berasal dari Empung Wailan Wangko, makanya tou Malesung percaya mereka akan dilindungi. 

Lesung itu diarahkan ke arah musuh, sesuai petunjuk arah yang diberikan manguni. ‘Rembet ne Wailan’-’Ikat Pinggang Tuhan’ yang merupakan sebutan untuk ular berkepala dua di Minahasa’- diikatkan di lesung masaru dan abu yang berasal dari tempat pemakaman orang diletakkan di dalam lesung. 

Saat itu, sebuah ritual digelar. Dalam ritual ini, jiwa-jiwa para leluhur diundang untuk berperang bersama. Tou Malesung berperang untuk mempertahankan ta’ar atau janji para leluhur, makanya leluhur ikut diminta untuk bersama-sama dalam perang ini. Sebagaimana segala sesuatu yang diletakkan di dalam lesung akan hancur, demikian pula dipahami bahwa sekuat apapun musuh pasti akan dikalahkan.

Lubang lesung yang dihadapkan ke lokasi musuh, dalam ritual digambarkan bagaimana jiwa-jiwa para leluhur akan diarahkan ke para musuh yang sedang mendekat ke lokasi pertahanan tou Malesung. Jadi, leluhur telah pergi berperang lebih dahulu sebelum para waraney

Jiwa para leluhur nantinya akan menakut-nakuti para musuh, membuat mereka tersesat (mo kase lulu). Namun musuh yang berhasil tiba ke lokasi pertahanan dianggap memiliki kekuatan lebih dari yang lain. Di situlah peran para waraney untuk mempertahankan tanah Malesung. Saat itu dada berhadapan dengan dada.

 

Pecahnya Perang Kapataran

Rinto Taroreh dalam Pa’lampangan ne Tou Malesung yang ditulis tahun 2011, mengisahkan, ketika musuh semakin mendekat, tou Malesung yang berada di Karondoran dan Kasosoran siap menyambut serangan. Di Kasosoran, di bawah pimpinan sang panglima perang Opo Makawulur, tou Malesung siap dengan pedang dan tombak di tangan. Sementara itu, di Karondoran, tou Malesung yang dipimpin Opo Mamarimbing juga siap bertempur demi kehidupan selanjutnya. 

Pasukan campuran orang-orang dari Lilinowan dan ‘Pasengkotan’, akhirnya berhadap-hadapan dengan pasukan Opo Makawulur. Perang itu pecah di Kapataran-tanah datar, tanah yang diyakini merupakan wilayah Tompaso Baru kini -Tu’ur in Tana’, dekat lesung masaru, di samping Sungai Ranoyapo. 

Perlawanan luar biasa dari pasukan musuh terjadi sejak fajar mulai menyingsing, hingga mentari bertengger tegak tepat di atas kepala kedua pasukan yang bertarung. Banyak korban dari kedua belah pihak berjatuhan, namun pihak musuh mencatat lebih banyak korban. Orang-orang Pasengkotan yang merasa kalah, akhirnya lari pontang-panting ke arah selatan. 

Mayat yang bertaburan di mana-mana kemudian dikumpulkan pasukan tou Malesung dan ‘ba ator akang’, agar supaya jiwa mereka bisa tenang. Setelah itu semua mayat, baik musuh maupun kawan, dikuburkan di tempat yang terpisah.

Perang ini benar-benar membawa banyak perubahan bagi kehidupan tou Malesung. Lokasi pemukiman penduduk mengalami perubahan, terutama yang berada di wilayah Kasosoran. 

“Tempat-tempat tinggi namun bertanah datar di wilayah Kasosoran menjadi pemukiman-pemukiman padat. Banyak pemukiman baru tercipta di wilayah Kasosoran, hingga wilayah Karondoran, di mana tumpukan Opo Mamarimbing berada,” tulis Taroreh. 

Sebagai orang yang paling dituakan di wilayah Karondoran, Opo Mamarimbing tampil sebagai seorang walian yang memimpin semua ritual yang dilaksanakan di wilayah itu. Sedangkan seluruh wilayah Kasosoran menjadi benteng pertahanan. Opo Makawulur yang dituakan di tempat itu, tampil menjadi pemimpin. Di masa itu, tou Malesung menjadi sangat kuat. Berbagai serangan sering dilakukan oleh orang-orang Pasengkotan, namun tak pernah menggoyahkan pertahanan tou Malesung.

Peta situs di seputaran Tu'ur in Tana' yang dibuat Rinto Taroreh tahun 2011.

Peta situs di seputaran Tu’ur in Tana’ yang dibuat Rinto Taroreh tahun 2011.

 

Masa Tua Opo Mamarimbing dan Opo Makawulur

Waktu terus berjalan dan kedua tokoh legendaris yang sangat dikenal di masa itu, Opo Mamarimbing dan Opo Makawulur, akhirnya memasuki usia senja. Untuk melindungi anak-anak keturunan Lumimuut-Toar, atas kesepakatan bersama, tumpukan Opo Mamarimbing yang berjumlah kurang lebih 80 persen tou Malesung saat itu, bergerak mundur ke arah Wasian. Sebuah tempat yang dekat dengan Danau Bulilin. 

“Tempat itu dekat dengan wilayah Gunung Karema. Wilayah Tombatu kini yang kemudian menjadi tempat perhentian terakhir Opo Mamarimbing. Tumpukan yang kebanyakan anak-anak itu, dianggap akan lebih aman jika diungsikan semakin jauh dari wilayah musuh,” tutur Bitu Koraag, tua-tua Minahasa yang juga masih menyimpan tentang kisah ini. 

Sementara itu, tumpukan Opo Makawulur tinggal menjaga benteng pertahanan. Agar lebih aman, Opo Makawulur kemudian memilih wilayah di balik Gunung Lolombulan, wilayah Tondey sekarang, sebagai tempat strategis untuk bertahan. Lokasi ini dipilih untuk memudahkan pengawasan atas pergerakan pasukan Pasengkotan yang diketahui terus membangun kekuatan dan merancang strategi untuk menyerang. 

“Sebab, di saat itu mulai terdengar kabar kalau orang-orang Pasengkotan mulai mempersiapkan serangan dari arah pantai, di seberang Lolombulan. Di daerah Tondey sekarang, di daerah inilah Opo Makawulur meninggal,” kata Taroreh. 

Sebagai bentuk penghormatan, Opo Makawulur dikuburkan di Tu’ur In Tana’. Semasa hidup, dia memang sering tinggal di wilayah Tu’ur In Tana’, tepatnya di ‘Wale Watu’ yang berada di Nietakan.

 

Perang Pakinilowen

“Setelah di daerah Kapataran atau Tompaso Baru, lesung masaru kembali dibuat di daerah pertahanan yang baru ini, di daerah Tondey. Tetap dibuat sembilan buah dan satu di antaranya adalah lesung utama,” kata Fredy Wowor. 

Di masa itu, seluruh tou Malesung yang berada di sana berjanji akan terlibat perang bersama-sama. Baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, akan saling bahu-membahu melawan musuh. 

Setelah menggelar ritual di lesung utama, mereka kemudian mengikrarkan janji itu. “Makanya, di lesung masaru utama yang kini berada di Tondey, ke arah timur terukir dua sosok manusia, laki-laki dan perempuan yang merupakan simbol leluhur Toar dan Lumimuut, yang memiliki makna kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Sementara ke arah barat terukir manusia yang sedang kumeter atau memohon dengan penuh kesungguhan kepada Empung Wailan Wangko,” kata Taroreh.

“Tangan simbol leluhur itu saling terhubung. Kemudian tangan bagian luar, yang satu menghadap ke atas dan satu menghadap ke bawah. Gambaran bagaimana mereka menyatukan kekuatan dari atas dan dari bawah,” sambung Wowor. 

Saat mendengar tanda dari manguni dan melihat pergerakan orang-orang Pasengkotan, tou Malesung mulai bersiap untuk bertempur. Saat itu, pasukan Pasengkotan dari selatan yang memang sudah terlatih, dengan kekuatan yang jauh lebih banyak dari sebelumnya, maju menyerang tou Malesung. 

Perang itu dikenal dengan ‘Perang Pakinilowen’ atau ‘bage sapu rata’, sebab pasukan Malesung yang kalah jumlah telah terkepung hingga akhirnya menerapkan strategi serangan membabi buta. 

“Menurut para tua-tua, strategi inilah yang kemudian meloloskan sejumlah tou Malesung dari kepungan musuh saat itu,” terang Taroreh.

Perang Pakinilowen juga memakan korban yang tidak sedikit. Pasukan tou Malesung yang diserang pasukan Pasengkotan akhirnya terpukul mundur hingga ke daerah Makasili. Di daerah Makasili mereka juga tak mampu bertahan dari serangan musuh, sampai akhirnya memilih mundur sampai ke daerah Tenga. 

Dari tempat ini, tou Malesung tumpukan Makawulur terpecah menjadi dua kelompok. Sebagian menuju Wasian, di mana tumpukan Mamarimbing tinggal dan sebagian terus bergerak mundur menyusuri pantai hingga menaiki wilayah pegunungan di wilayah Sonder kini. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan ‘Tou Ure’ atau ‘orang lama’. ‘Tou Ure’ merupakan sebutan tumpukan Mamarimbing terhadap tumpukan Makawulur yang mereka jumpai di kemudian hari.

Lesung Masaru di Roong Tondey (Foto diambil Budayawan Minahasa, Denni Pinontoan, Januari 2011)

Lesung Masaru di Roong Tondey (Foto diambil Budayawan Minahasa, Denni Pinontoan, Januari 2011)

 

Lesung Masaru di Daerah Gunung Karema

Untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah selatan, saat berada di Wasian-daerah Tombatu kini-Opo Mamarimbing dan pasukannya maju ke daerah Gunung Karema-seputaran Mopolo dan Kalait sekarang-dan kembali membuat lesung masaru. Proses pembuatan hingga pelaksanaan ritual, dibuat sama seperti di saat mereka membuat lesung masaru pada perang Kapataran. Namun, perang yang coba diantisipasi ini memang tak pernah terjadi.

Atas petunjuk manguni, tumpukan Opo Mamarimbing yang kebanyakan petani, kemudian kembali tumani. Sebagian bergerak ke arah Gunung Tonderukan dan sebagian lagi ada yang bergerak ke arah Danau Bulilin. 

Tou Malesung yang mendiami wilayah Tonderukan inilah yang kemudian hari berjumpa kembali dengan tou Malesung tumpukan Makawulur yang mereka sebut dengan ‘Tou Ure’. Saat itu, tumpukan Makawulur telah mendiami daerah Sonder kini. Kemungkinan besar, tumpukan Makawulur inilah yang nanti disebut dengan ‘Tountemboan Sumonder’ dan tumpukan Mamarimbing dikenal dengan ‘Tountemboan Tumompaso’.

 

Lesung Masaru Menurut Tou Minahasa Saat Ini

Lesung masaru adalah sebuah batu berbentuk lesung, namun jika dicermati lesung seperti ini tidak mungkin digunakan untuk menumbuk padi. Sesuai dengan kisah-kisah yang masih terekam dalam ingatan tou Minahasa kini, biasanya lesung itu dibuat sembilan buah di tiap tempat. 

“Sesuai dengan cerita para tua-tua, lesung masaru pernah dibuat di tiga tempat. Pertama, di wilayah Tompaso Baru, kedua di wilayah Tondey, Motoling dan ketiga di sekitar Gunung Karema di kecamatan Toluaan,” tutur Taroreh.

Lesung yang diceritakan para tetua itu, kini bisa ditemukan di daerah-daerah tersebut, kecuali yang berada di wilayah Gunung Karema. Menurut Rinto Taroreh, lesung masaru di daerah Gunung Karema masih akan dicari dia dan komunitasnya, Waraney Wuaya. Informasi yang telah diperoleh, kemungkinan besar lesung itu kini berada di wilayah hutan antara Ratatotok, Liandok, Mopolo dan Kalait.

“Kisah tentang lesung masaru di Gunung Karema itu menjadi petunjuk awal kami untuk mencarinya. Sudah ada beberapa lokasi di wilayah Tonsawang yang teridentifikasi, kemungkinan besar adalah Gunung Karema yang dimaksud. Ada satu yang biasa tua-tua Tonsawang sebut Gunung Ema’. Kalau direstui leluhur, pasti kelak akan ditemukan,” ujar Hendra Mokorowu, penulis yang juga dikenal sebagai budayawan Tonsawang, 9 Februari 2013.

Di beberapa tempat di mana lesung masaru ditemukan, kini ada begitu banyak cerita. Di daerah Tompaso Baru, tepatnya di belakang roong Torout, sekitar 1 kilometer ke arah utara dari Watu Tiwa’, di bawah Gunung Payung, lesung masaru dikenal masyarakat dengan ‘Batu Kapala Yaki’. Masyarakat di sana sangat takut untuk mendekati batu tersebut, karena dianggap akan menderita sakit. 

Bagi tou Minahasa, tempat-tempat tertentu yang dianggap kapelian-dari asal kata peli yang berarti tabu atau tidak boleh dilanggar-memang harus dihormati dan diperlakukan secara khusus. Namun ketika kekristenan masuk, stigmatisasi seperti itu muncul agar tou Minahasa tidak lagi beraktivitas di tempat seperti itu. 

“Ini upaya untuk menjauhkan tou Minahasa dari kepercayaan tua yang diwariskan para leluhur,” kata teolog dan sejarawan, Yonatan Kembuan.

Sementara itu, di Tondey, lesung masaru sering disebut orang sebagai batu lesung atau ‘Batu Lutau’ (tembak/tembakan). Menurut cerita masyarakat, batu ini mengeluarkan bunyi tembakan setahun sekali pada saat terjadi pergantian tahun atau ketika ada orang Tondey di perantauan terkena musibah. 

Batu utama itu masih berdiri tegak di Roong Tondey Dua, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan. Batu yang kedua terdapat di roong Tondey Induk, tepatnya di perkebunan Mawale. Dulu perkebunan ini adalah bekas pemukiman masyarakat Tondey sebelum mereka pindah ke wilayah di mana roong ini berdiri sekarang. Batu yang ketiga ditemukan di kawasan persawahan di roong Tondey Dua. Namun keadaannya sudah rusak. Tapi masih berdiri tegak.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *