CULTURAL
Musik Tawa’: Pemanggil Sukacita Wanua

13 Oktober 2025
“Musik tawa’ masih terus hidup karena banyak nilai hidup tersimpan di dalamnya. Nilai-nilai keminahasaan yang tetap menghidupkan. Para pemain masih tetap eksis, karena musik tawa’ juga menghidupkan.”
Penulis: Rafael Wuaya Taroreh
KEHADIRAN orang-orang Eropa di tanah Minahasa, telah memberi banyak pengaruh. Buah perjumpaan itu dapat disaksikan saat ini. Salah satunya lewat musik. Musik Tawa’, misalnya. Musik rakyat yang kental dengan pengaruh Barat. Kini ia bisa ditemukan di sejumlah kampung di Minahasa.
Di Desa Kembes, Kecamatan Tombuluan, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, hidup beberapa grup musik Tawa’. Sabtu, 26 Maret 2022, saya bersama para peneliti, Rikson Karundeng, Denni Pinontoan dan Josua Wajong, melakukan perjalan dari Tomohon, menuju Desa Kembes. Kami berjumpa, kemudian mewawancarai seniman di kampung itu.
Singkat cerita, kami tiba di sebuah rumah sederhana. Di tempat itu, kami berjumpa dengan pria bernama Joseph Walujan. Ia ditemani sang istri, Femmy Liey. Partner pentingnya saat bermain musik.
Joseph Walujan dikenal sebagai seniman yang memiliki keterampilan memainkan bermacam-macam alat musik. Selain itu, dia juga terampil dalam membuat alat-alat musik. Terutama yang biasa ia mainkan sehari-hari.
Tak heran, saat di rumahnya kami boleh menyaksikan satu demi satu alat musik andalannya. Ada gitar, juk (ukulele), tambur, string bass dua dawai dan marakas dari tempurung ala kampung Kembes, hingga biola. Alat-alat musik ini biasa dimainkan bersama dalam musik tawa’.
Kemampuan luar biasa Joseph Walujan, membuat ia percaya diri untuk mendirikan sebuah grup musik tradisional di kampung itu. Grup musik Tawa’ yang diberi nama “Esa Genang Kembes”.
Belum lama berdiskusi, datang seorang pria bernama Franky Mamuaja. Seorang tetua kampung yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Desa dan Pejabat Hukum Tua (Kepala Desa) Kembes. Dia banyak tahu tentang bagaimana eksistensi bermusik di desa itu. Dalam ceritanya, keterampilan bermusik Joseph Waluyan itu diwarisi dari ayah dan kakeknya.
“Setahu kami, kakeknya juga pemusik luar biasa. Setelah itu diwariskan kepada anaknya yang bernama Pailah, dan dilanjutkan oleh dia (Joseph Walujan). Kakeknya itu eksis di tahun 1950-an. Ayahnya pada tahun 1960-an. Baru beralih ke dia sejak tahun 1970-an,” tutur Mamuaja.
Dalam ingatan masyarakat, jejak musik Tawa’ di desa Kembes sudah ada sejak tahun 1940-an. Alat-alat musik yang digunakan kebanyakan peninggalan sejak era Belanda hingga Jepang. Menariknya, ada alat-alat musik masa lampau itu yang kemudian ditemukan oleh tentara Permesta sekira tahun 1950-an.
“Tahun 1940-an, cerita yang kita dapat dari Utu Siwi, seorang penulis sejarah desa Kembes, yang mengisahkan bahwa di masa pergolakan Permesta, tentara Permesta sempat menemukan peninggalan Jepang. Peninggalan itu berupa alat-alat musik yang menggunakan tali,” sebut Mamuaja.
Pasca peristiwa itu, minat masyarakat untuk bermain musik kembali berkembang. Salah satunya ayah dari Joseph Waluyan, bernama Pailah. Pada waktu itu ia memainkan musik yang terbuat dari bambu. Cara mainnya diketuk-ketuk. Karena bambu itu dibuatnya dalam bentuk bilah-bilah yang menghasilkan nada.
“Awalnya sekitar tahun 1950-an, bermain musik menggunakan bambu yang diketuk-ketuk. Mirip dengan tetengkoren (alat musik khas Minahasa) yang nada-nadanya itu mereka buat,” tutur Mamuaja.
Seiring berjalannya waktu, terjadi perkembangan musik di desa Kembes. Di tahun 1960, musik Orkes Kolintang mulai berkembang. Di masa itu, Pailah Walujan sudah dikenal sebagai seorang pemain biola. Biola yang ia mainkan sering dipadukan bersama dengan musik Kolintang.
“Setelah perkembangan Kolintang, ia mulai bermain biola dan sering berkolaborasi dengan Kolintang. Mereka bermain di berbagai acara, termasuk pesta rakyat,” jelas Mamuaja.
Pergeseran Makna Musik Tawa’
Perkembangan zaman telah membuat eksistensi musik Tawa’ terancam. Salah satu dampak buruknya, terjadi pergeseran nilai. Di satu masa, masyarakat seperti memahami bahwa musik Tawa’ ini identik dengan makan tawa’ (lemak babi).
“Ketika diundang tampil di sebuah acara, para pemain musik Tawa’ ini pasti katanya akan memakan tawa’ babi. Jadi kalau melihat pemain musik Tawa’ lewat, ada orang yang biasa bercanda dan mengatakan, ‘cepat jo, tawa’ so ba tunggu!’,” ucap Joseph Walujan dengan nada prihatin.
Menurutnya, musik Tawa’ sebenarnya berasal dari kata tumawa’. Masyarakat etnis Tombulu, mengartikan kata itu ‘memanggil’.
Kata itu melekat pada grup musik Tawa’, karena dalam sebuah pesta pernikahan dan pesta syukur lainnya di desa Kembes, alunan musik Tawa’ menjadi pengingat bagi para tamu undangan. Ketika musik ini mulai berbunyi, itu pertanda pesta akan segera dimulai. Masyarakat yang mendengarnya, pasti akan segera bergegas ke lokasi pesta syukur itu.
“Kalau pesta pernikahan, biasanya sebelum ke gereja, kami harus hadir lebih awal dan bermain. Tujuannya untuk memanggil, mengajak orang yang akan terlibat ke gereja. Kami akan mengiringi perjalanan rombongan mempelai dan keluarga. Demikian juga setelah selesai dari gereja, kita akan mengiringi rombongan ke lokasi pesta. Di pesta, jika kami sudah mulai bermain, itu juga tanda pesta akan segera dimulai,” jelas Walujan.
Musik Tawa’ sering dimainkan lebih dari sepuluh orang. Masing-masing akan memainkan alat musik sesuai dengan keahlian. Ada yang bermain gitar, ukulele, tambur, biola, serta string bass.
Musik Tawa’ adalah penanda sebuah kebahagiaan, kemeriahan dan rasa syukur keluarga yang akan menyatukan anak-anak mereka dalam sebuah ikatan pernikahan. Satu hari sebelum hari “H”, grup musik Tawa’ bahkan sudah dipanggil untuk menghibur di rumah keluarga yang akan menggelar pesta.
“Ada juga dalam acara pernikahan, sehari sebelum acara, kami selalu tampil di tempat acara. Kalau orang Sanger menyebutnya ‘malam ba kupas’,” kata Walujan.
Di malam sebelum pesta pernikahan digelar, mereka bermain hanya tiga jam. Lagu-lagu yang dimainkan saat itu biasanya lagu daerah Minahasa hingga pop Manado.
“Kami main hanya tiga jam. Namun, sebenarnya tujuan kami tampil itu juga sekaligus untuk memastikan waktu ke gereja besoknya pukul berapa,” aku Waluyan.
Pilihan Utama Saat Pesta Dansa
Di suatu pesta syukur, ada salah satu momen yang sangat dinanti para undangan. Biasanya setelah resepsi, makan malam, meja makan akan dipindahkan. Tuan dan nyonya pesta akan menyediakan ruang kosong untuk menjadi tepat bagi para tamu berdansa.
Seiring berkembangnya teknologi, di sejumlah kampung di Minahasa, dansa polines tak lagi diiringi dengan musik Tawa’. Lagu-lagu dansa hanya diputar melalui ‘disco’ atau speaker aktif secara berulang.
Joseph Walujan bersyukur, di desa Kembes, dansa yang akan mengawali pesta masih diiringi dengan musik Tawa’. Grup musik tawa’ dalam pesta dansa akan bermain berjam-jam secara non stop. Lagu-lagu yang mereka mainkan akan dibawakan secara medley.
“Kami bermain dalam satu paket. Biasanya dari pertama ada sepuluh lagu. Itu Kami bermain terus tanpa henti. Tak peduli walaupun sudah dipenuhi keringat,” kata Waluyan.
Dalam mengiringi pesta dansa, musik Tawa’ selalu memainkan lagu-lagu khas dansa. Pola petikan sudah di ‘luar kepala’ para pemain. Misalnya di saat seorang pemimpin mengisyaratkan mars, para pemain langsung memainkan lagu mars.
“Biasanya kalau mengiringi dansa, ada pemimpin. Di saat dia sebut mars, kami harus bermain semua lagu yang beritme mars. Sama juga yang terjadi kalau pemimpin menyebut waltz, samua langsung bermain waltz,” jelasnya.
Joseph Waluyan memastikan, musik Tawa’ masih terus hidup karena banyak nilai hidup tersimpan di dalamnya. Nilai-nilai keminahasaan yang tetap menghidupkan. Para pemain masih tetap eksis, karena musik Tawa’ juga menghidupkan. Ia berharap, musik Tawa’ warisan para pendahulu ini akan tetap bertahan walau digempur arus globalisasi. Tetap menjadi pemanggil kegembiraan dan sukacita di wanua (desa).
